Oleh Rohyati Sofjan
PERTAMA
kali saya membaca istilah resensor di Facebook,
sebuah penerbit indie membuat
pengumuman di media sosial yang populer tersebut; dicari 100 resensor untuk
membedah novel seorang penulis produkif.
Pada
mulanya saya tak ngeh dengan kata
resensor. Sepintas lalu bagi orang kuper, kurang pergaulan karena telinga tak berfungsi
macam saya (disabilitas),
seakan isilah itu ada kaitannya dengan sensor.
Jadi,
re- yang kerap disandingkan dengan regenerasi (penggantian generasi tua kepada generasi muda/peremajaan),
rekonstruksi (penyusunan [penggambaran]
kembali),
rehabilitasi (pemulihan kepada keadaan semula), reinkarnasi (penjelmaan
kembali), revitalisasi (perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali),
dan sebagainya; adakah kaitannya dengan sensor ulang?
Suatu
kata, tanpa disadari, kerap membawa kita pada pemahaman yang sudah diakrabi. Dan
ketika makna yang dimaksud ternyata berbeda jauh sebagai semacam istilah baru
yang dipaksakan, jadi bingunglah kita.
Saya
pikir penerbit tersebut hanya khilaf, pekerjaan meresensi buku yang disebut
resensor dirasa tidak tepat. Dalam KBBI 3,
resensi bermakna pertimbangan atau pembicaraan tentang buku, ulasan buku (atau
bisa juga film).
Namun
dalam KBBI dimuat juga lema resensor sebagai bahasa cakapan: pengawasan dan
pemeriksaan kembali tentang surat-surat atau sesuatu yang akan disiarkan.
Dengan contoh kalimat: apabila hasil
resensor masih juga dirasakan tidak
baik, kita tolak saja film itu beredar.
Coba
perhatikan kalimat pengawasan dan pemeriksaan KEMBALI. Sengaja saya
kapitalkan kata kembali untuk
menegaskan dengan re-. Re- sebagai bentuk terikat yang bermakna sekali lagi,
kembali (contoh: reformasi, formasi ulang). Atau bisa juga belakang, ke belakang
(contoh: regresi, mundur atau urutan terbalik ke belakang).
Sensor
bermakna pengawasan dan pemeriksaan surat-surat atau sesuatu yang akan
disiarkan atau diterima (berita,
majalah, buku, film, dsb). Sensor juga bermakna elemen yang mengubah sinyal
fisik menjadi sinyal elektronik yang dibutuhkan komputer.
Jadi,
dua pemaknaan di atas tentang sensor yang sudah kita akrabi sebagai bahasa umum
ketika disandingkan dengan resensor sebagai bahasa tidak umum (namun seakan
dipaksakan sebagai istilah “yang lagi keren”), terasalah janggal.
Sebagai
penutur bahasa yang baik dan bertanggung jawab, kita harus hati-hati ketika
mencomot suatu kata atau istilah baru
untuk ikut “dipopulerkan”, karena ternyata di media sosial tersebut penamaan
resensor merupakan istilah “wajar” untuk pekerjaan meresensi buku Seolah resensor disandingkan
dengan eksekutor (pengeksekusi), atau
negosiator (penegosiasi), dan sejenisnya.
Tentu
berbeda!
Yang
tepat untuk orang yang meresensi bukanlah resensor, maknanya sangat berbeda
jauh. Mengapa kita tidak mengacu pada istilah pelaku dengan menggunakan awalan
pe-? Bukankah peresensi lebih tepat dan berterima?
Sebagaimana petani, pedagang, peternak, petarung, pelempar, dan sejenisnya
untuk merujuk yang mengerjakan sesuatu atau profesi.
Menurut
Tendy K. Somantri, kawan saya ketika dimintai pendapatnya 13 Juni 2015 lalu,
“Saya baru pulang dari sidang pembentukan istilah di Badan Bahasa. Semangatnya
sekarang adalah membentuk istilah pelaku dengan menggunakan awalan pe-. Namun,
andai istilah dengan awalan pe- terasa janggal, lihat bentuk aslinya, apakah dalam bahasa asing ada bentuk
‘resensor’, ‘mobilator’ dll. Itu?”
Tentu ada kaidah untuk penulisan pelaku dengan akhiran
–or. Ambil contoh auditor untuk orang yang melakukan pekerjaan mengaudit, atau
disebut juga pengaudit. Audit bermakna: 1. pemeriksaan pembukuan tentang
keuangan (perusahaan, bank, dsb) secara berkala; 2. pengujian efektivitas
keluar masuknya uang dan penilaian kewajaran laporan yang dihasilkannya.
Jadi, jika pelaku suatu pekerjaan tertentu seperti
meresensi buku jadi resensor, apakah ada kaitannya dengan kekerapan pemakaian
bahasa asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia? Lantas meniru akhiran
bunyinya begitu saja tanpa peduli sudah tepatkah?
Ambil contoh, koruptor sebagai kata serapan dari
(pelaku) corrupt ‘buruk’ atau
‘korup’. Corruption bermakna
kecurangan atau korupsi. Kekerapan kata koruptor dalam pemakaian bahasa kita
seolah menjadi patokan untuk menyebut pelaku pada pekerjaan lainnya untuk
beroleh akhiran –or.
Simak kaidah: provokator (orang yang memprovokasi/memanas-manasi
dengan hasutan); stimulator (alat untuk menstimulasi/merangsang pada sesuatu);
simulator (alat untuk menyimulasi/menjelaskan sesuatu); kompetitor (saingan);
administrator (pemimpin di bidang pelaksanaan peraturan).
Saya tidak tahu bagaimana mulanya kata kerja atau
sifat beroleh akhiran –or secara serampangan seperti kasus resensor di atas.
Mari kita telaah ebook Ejaan Bahasa Indonesia 2015 yang bisa
diperoleh secara cuma-cuma di internet:
Dalam perkembangannya bahasa
Indonesia menyerap unsur
dari berbagai bahasa,
baik dari bahasa daerah, seperti
bahasa Jawa, Sunda, dan Bali;
maupun dari bahasa asing, seperti bahasa Sanskerta, Arab,
Portugis, Belanda, Cina,
dan Inggris. Berdasarkan
taraf integrasinya, unsur serapan
dalam bahasa Indonesia
dapat dibagi menjadi
dua kelompok besar.
Pertama, unsur asing yang belum sepenuhnya terserap ke
dalam bahasa Indonesia, seperti force
majeur, de facto, de
jure, dan l’exploitation
de
l'homme par l'homme.
Unsur-unsur itu dipakai
dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi
cara pengucapan dan penulisannya masih mengikuti cara asing.
Kedua,
unsur asing yang
penulisan dan pengucapannya
disesuaikan dengan kaidah
bahasa Indonesia. Dalam hal
ini, penyerapan diusahakan
agar ejaannya diubah
seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan
dengan bentuk asalnya. (hlm. 35)
Mungkin
kita harus merenungkan ulang pendapat
bijak Yeni Maulina, staf teknis Balai Bahasa Provinsi Riau, dalam tulisannya yang dimuat ALINEA
Riau Pos (Nol atau Kosong, 27/4/2014): Kebiasaan orang dalam mengukur kebenaran
dengan jumlah peserta/pengikut yang banyak) justru harus diakhiri. Ukuran
kebenaran adalah aturan/kaidah/norma, bukan yang lain.***
#Cipeujeuh,
2015
~Gambar hasil paint sendiri~
#Resensor #Resensi #Peresensi ##UlasBahasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D