Setiap orang membawa garis nasib untuk
melalui beragam siklus kehidupan dengan masing-masing penafsiran. Dan Dian
Hartati menafsirkan takdir demikian sebagai bagian dari upacara kehidupan yang
harus ia lakoni, lalu memuisikannya dalam antologi puisi Upacara
Bakar Rambut.
Oleh Rohyati Sofjan
ADA tiga siklus kehidupan yang ia lakoni
dalam usia jelang 30 tahun: kelahiran, pernikahan, dan kepergian. Maka 30 puisi
berupaya merangkum semua yang telah ia alami agar rasa itu bisa mengabadi
sebagai pondasi bagi langkah berikutnya.
Bukan sekadar mengumpulkan remah
kenangan semata, puisi adalah cerminan refleksi diri dalam menyikapi kehidupan.
Pun kelahiran atau kematian. Pertemuan dan perpisahan. Kebahagiaan dan cabikan
luka.
Dian menulis dalam kata pengantarnya, “Puisi bagi saya merupakan media kebahagiaan
diri, apa pun tema yang saya tulis, apa pun apresiasi yang hadir dari pembaca.
Tiga puluh puisi dalam Upacara Bakar Rambut merupakan simbol waktu bagi saya yang memasuki usia berkepala tiga.
Tiga tahap kehidupan yang pernah saya lalui: kelahiran, pernikahan, dan
kepergian. Tiga waktu yang membawa saya ke ruang-ruang tunggu berikutnya.”
Tiga bagian dalam simbol waktu Dian terdiri
dari: Rumah Tuna, Laki-laki Bermata Merah, dan Kelahiran Ketiga. Masing-masing
10 puisi. Meski Dian memuisikannnya dengan bahasa yang biasa tanpa bermain
dengan rima atau metafora rumit, namun bukan berarti tiada makna.
Justru Dian kukuh pada kesederhanaannya
dalam membahasakan puisi. Lebih terpaku pada saripati kehidupan daripada
bermain majas atau gaya bahasa. Setiap penyair memang membawa cetakan diri dari
alam bawah sadarnya.
Dian mengangkat keseharian dalam puisi,
tentang apa yang ia rasa dan pikirkan, tentang diri sendiri, almarhum suaminya,
orang lain, alam sekitar, balutan sejarah, aneka upacara, sampai aroma mistik
yang kental.
Dalam “Tembang Sri Tanjung”, Dian
mengangkat legenda dari cerita rakyat tentang asal mula Banyuwangi. Sesuatu
yang panjang bisa diurai secara singkat dalam puisi.
Sri Tanjung sebagai perempuan berupaya
keras mempertahankan kesucian dan kesetiaan diri kala ditinggal suaminya
bertugas, selalu berbekal pisau untuk berjaga dari gangguan raja yang merupakan
atasan suaminya. Segala bujuk rayu raja tidak mempan, sampai difitnahlah ia
sehingga suaminya malah mengabaikan.
Aku
merintih rindu/ bertanya/ wahai semesta, kapan suamiku dipulangkan/ kandungan
semakin besar/ air mata terbatas jumlahnya/ semesta, lindungi suamiku dari segala
keliaran/ di tanah ini/ hutan-hutan begitu menakutkan/ laut menggelorakan
auman/ dan langit/ tempat yang tak mungkin kudatangi// kau dengar, sidopekso/
aku bersenandung/ melagukan waktu dengan penuh keriangan/ doa adalah
nyanyianku/ pijakan paling rawan//
Kerinduan Putri Sri Tanjung begitu
membuncah namun prasangka buruk dari suaminya akibat hasutan raja yang dengki
telah membuatnya lantak dan terusir. sidopekso,
aku mengandung anakmu/ berdoa untuk segala kebaikan/ lihatlah/ kau akan
menyesal// bunga-bunga akan bertumbuhan di sepanjang sungai/ mengalir hingga ke
laut/ aromanya akan membuatmu/ gila!//
Begitulah Dian, dari beberapa buku
kumpulan puisi lainnya, sejarah atau babad selalu dipuisikan secara memikat.
Seakan ia bicara bahwa tiga siklus kehidupan yang dipuisikan bukan hanya
mengenai dirinya semata.
Meski telah terpisah jarak dan jasad
dengan suami tercinta, Dian lebur dalam kesadaran tentang kehilangan, setiap waktu kau mengikuti/ menjagaku
melalui bahasa cinta yang lain/ melebihi dahulu// (“Wangi Bunga yang
Mengikuti”)
Atau bagaimana ia memandang bumbu
masakan merupakan saripati bumbu kehidupan sendiri, tempat kita belajar
perumpamaan. Sesuatu yang biasa ada dalam keseharian ternyata merupakan simbol
untuk kita baca dan cermati. Dari bawang putih, bawang merah, ketumbar, kemiri,
merica, kunyit, jahe, lengkuas, daun jeruk, serai, dan garam. (“Rasa Bumbu
Kuning”)
Jika hidup serupa rangkaian upacara,
maka Dian berusaha merangkai semua dalam Upacara
Bakar Rambut. Dalam puisi berjudul
demikian, kita akan tahu ada tradisi upacara bakar rambut untuk memulai
kehidupan baru.
Bandung adalah tempat kelahirannya, dan
Banyuwangi adalah kota persinggahan yang sarat upacara bagi sejarah hidupnya.
Untuk mengantarkan menuju kekinian, setelah alami prosesi kehilangan karena
kepergian.***
Cipeujeuh,
4 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D