Setiap pengarang berhak
menentukan cerita sesuai alur yang bermain dalam benaknya. Dan Kurniawan
Junaedhie (KJ) pun tahu itu. Ia piawai memainkan alur cerita menjadi sesuatu
yang konyol, aneh, absurd, surealis, sekaligus logis dalam dunia yang memang
sudah jungkir balik. Ia menjungkirbalikkan realita dalam fiksinya yang sarat
kejutan hingga layak ditertawakan sekaligus direnungkan. Ada begitu banyak
satir terang-terangan.
Oleh Rohyati Sofjan
·
DATA BUKU : Opera Sabun
Colek
·
PENULIS
: Kurniawan
Junaedhie
·
CETAKAN : Pertama,
November 2011
·
TEBAL : 107 +
iv halaman
·
PENERBIT : Kosa Kata
Kita
·
HARGA : 45.000
SENO Gumira Adjidarma menulis dalam kata pengantarnya, “Saya
kira KJ telah menulis ceritanya dengan sangat santai dan bebas, tidak mengejan
dan ceritanya tidak ‘dibagus-bagusin’. Tidak ada kompleks
beban ‘karya besar’ dalam cerita-ceritanya, tetapi justru dalam
semangat produktif tanpa beban itulah pembaca akan tersentak dan terkejutkan
oleh keajaiban. Ya, bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun keajaiban bukanlah
sesuatu yang asing -- tetapi hanya fiksi berpeluang menyampaikannya dengan
tuntas (hal 5).
Apakah Anda
sudah jenuh dengan realitas sehari-hari dalam hidup yang sebenarnya sering
konyol cuma kelewat dibebani keseriusan? Kurniawan Junaedhie dengan serius
mencipta tokoh laku-pikir yang mengejek pembaca untuk cengengesan. Itu jika
mereka masih punya selera humor di sudut terdalam lubang hitam jiwanya.
Dari judul
bukunya saja kita bisa menerka, KJ senang bermain plesetan kata sekaligus
peristiwa. Opera sabun (soap opera) dulunya kata itu populer di
tahun 1980-an, lewat acara televisi macam Dallas atau Dinasty.
Itu untuk cerita intrik berlarat-larat. Zaman sekarang istilah opera sabun
seolah raib dari rimba kehidupan, tergantikan istilah macam-macam yang sedang
tren sesuai musim berbahasa dan berbangsa di Indonesia.
KJ mungkin
sedang membayangkan runyamnya peristiwa yang biasa digembar-gemborkan media
massa seolah menjadi gawat, adalah opera sabun yang asyik untuk diimajinasikan.
Kasus mayat dalam koper, yang dimutilasi, tidak dibidik KJ dari angle
mengerikan, sebaliknya ia membidik hal lain, tokoh-tokoh di sekitar kematian
Juni Kurniawan (JK), artis muda berbakat, sahibul yang dimutilasi dalam cerpen
“Opera Sabun Colek”.
Alkisah, seorang
wanita muda menjadi korban mutilasi di Ragunan. Potongan tubuh korban ditemukan
hanya 5 meter dari Jalan Raya Kebagusan, Jakarta Selatan. Potongan tubuh
pertama yang berisi potongan tubuh dan kaki terbungkus travel bag hitam ditemukan
di samping SDN Ragunan 14 Pagi. Sementara itu, di lokasi kedua, di kebun yang
ada di seberang lokasi pertama ditemukan potongan kepala dan badan. Tidak
ditemukan identitas apa pun di lokasi penemuan potongan tubuh kecuali celana
jeans biru dan kaus merah. Menilik cara pembunuhan dan cara memotong mayat, si
pembunuh bukan orang sembarangan. Kalau tidak memiliki IQ yang sangat tinggi,
jelas dia adalah orang yang cerdik seperti kancil. Dan yang mengejutkan,
berdasarkan hasil visum et revertum, korban diketahui tengah berbadan
dua. Lalu yang membuat saya sempat tidak bisa tidur, korbannya adalah JK.
Bagi berita
biasa, hal itu niscaya tak akan membayangkan tokoh sial, yang kali ini jadi
aku-tokoh utama, sebaliknya media akan merekam apa yang ada di sekitar korban
dengan penuh spekulasi. Terlalu gegabah jika tak bermain investigasi dulu. KJ
lain lagi, dengan enteng ia bermain spekulasi, namun dengan tokoh-sial yang
berkarakter unik, ia dijadikan tersangka karena memiliki keterkaitan dengan korban JK
hanya sebagai seseorang yang mengenalnya begitu saja, padahal sudah divasektomi
jadi tak mungkin bisa menghamili JK. Dunia fiksi dibiarkan KJ berkecambah liar,
penuh berbagai kemungkinan yang mengejutkan, namun tidak menutup kemungkinan
nyata adanya.
KJ tidak
sekadar menulis cerpen, ia membiarkan dirinya disandera tokoh-tokoh dalam
cerpennya yang melompat-lompat dalam berbagai alur peristiwa. Tokoh utama macam
aku-tokoh tidak melulu orang baik atau cerdas, ia begitu manusiawi, menjadi
dungu sekaligus bajingan.
Begitu pun
tokoh diaan, tak ada bedanya. Seperti seorang pemuda yang lolos jadi anggota
parlemen padahal latar belakangnya adalah preman pasar yang sudah pernah
membunuh orang (“Seorang Pemuda Berambut Gondrong”). Terpilih menjadi hero
hanya karena pernah dikeroyok 10 orang hingga babak belur namun tidak keder.
Itu ironi adanya berbagai partai gombal. Sebaliknya pemuda itu, Joko Bodo, sama
sekali tak peduli dengan keriuhan di dalam rumahnya yang sedang hajat besar, sibuk
merayakan kemenangannya oleh orang-orang yang merasa berkepentingan, asyik
cengengesan dengan HP-nya. Apa jadinya jika negara kita dipimpin oleh preman?
Namun nyata adanya seperti yang sering termaktub dalam berita-berita tentang
anggota partai yang masuk parlemen. Beginilah Indonesia Raya. Indah dan penuh
duka cita.
Disadari
atau tidak, gaya penulisan Kurniawan Junaedhie cenderung antihero. Ia
membidik berbagai peristiwa, tokoh-tokohnya tidak sekadar boneka pengarang.
Manifestasi yang menarik karena realitas sendiri sering tumpang tindih, antara
kebenaran dengan rekayasa. KJ dengan pengalamannya sebagai jurnalis, mau tidak
mau memengaruhi gaya berceritanya.
Ada kekuatan
dari 12 cerpennya. Ia tidak cuma piawai memainkan alur pikir dan rasa
tokoh-tokohnya, latar tak diabaikannya sebagai penunjang cerita. Ada parodi
sekaligus kepahitan, ada misteri sekaligus sensualitas. Antitesisnya, tugas
pengarang tidak cuma menuliskan kebohongan menjadi kebenaran, seperti yang
ditulis KJ dalam “Pengarang yang Disandera Tokoh Cerpennya”.
Maka,
membaca kumcer Opera Sabun Colek, kita akan menyaksikan sahibul hikayat
riwayat yang tak sekadar dibaca untuk tamat, ada kenang yang akan menggenang.***
Cipeujeuh, 18 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D