Oleh Rohyati Sofjan
ADA hal menarik dari tema yang diusung
Djenar Maesa Ayu, kecenderungannya untuk memaparkan masalah seksual, semacam
kompleks kejiwaan dan selalu dialami seorang [anak] perempuan.
Itulah yang akan saya
bahas di “Menyusu Ayah”, salah satu Cerpen Terbaik versi Jurnal Perempuan
2002 yang masuk antologi cerpen Jangan Main-main (dengan Kelaminmu).
Antologi cerpen terbitan Gramedia yang provokatif dengan sampul merah menyala dan
seolah menantang pembaca untuk menyelaminya.
Saya cenderung memandang
karya Djenar sebagai semacam letupan-letupan yang mengasyikkan. Bahwa ia dengan
tokoh-tokohnya seolah mengobrak-abrik tatanan moral yang penuh hipokrisi. Dan
efek repetisi (perulangan) adalah semacam “bius” agar pembacanya bisa trance
ke alam lain.
Blak-blakan, memang. Namun
bukankah dalam realitas sekitar pun hal itu bukanlah sesuatu yang asing?
“Menyusu Ayah” terasa
absurd alurnya. Namun absurditas itu tidaklah kental nuansanya. Rada mild.
Kalau dibidik dari sudut pandang psikologis, tokoh aku-anak terasa
“dewasa” dalam kenaifannya. Matang secara seksual sejak usia dini bukanlah hal
ajaib lagi. Orang boleh saja merekanya sebagai fiksi, namun bukan mustahil apa
yang dipaparkan Djenar sebenarnya merupakan sudut gelap dari kehidupan anak.
Kita jadi ikut
berandai-andai sebab pengandaian Djenar terasa menabrak pakem “tabu” namun
mengena. Kalaupun tokoh utamanya terasa eksistensialis dan sibuk bergulat
dengan pemikiran tentang dirinya di antara orang lain, itu merupakan pemikiran
“asli” Djenar yang subjektif dan khas. Sesuatu yang disebut “warna jiwa” dalam
bahasanya.
Makanya saya tak keberaan
dengan seksualitas yang diusung Djenar karena waktu kecil dulu pernah nyaris
jadi korban pedofilia. Memang tidak parah karena waktu itu cuma dipangku kawan kakak
perempuan saya, orang dewasa sekira 25-an.
Waktu itu kami di kamar
yang sepi, siang hari, dan kakak saya ada di kamar mandi. Tak tahu mengapa ia
demikian, bersikap akrab atau apa, namun tindakannya terasa tidak wajar. Main
pangku dan elus kepala segala, lalu pelukan dan elusannya terasa aneh, jadi
saya buru-buru cabut darinya sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Alhamdulillah,
selamat.
Ini hanyalah salah satu
contoh nyata, banyak contoh lain yang saya persaksikan. Antara fiksi dan fakta
memang tipis selubungnya. Namun imajinasi pengarang menentukan peran: bagaimana
popularitas sampai esensi cerita itu akan dicerna pembaca. Di sanalah Djenar
memainkan psikologi tokoh-tokohnya dengan gaya tutur “saya” agar pembaca pun
turut serta berperan sebagai tokoh utama atau memahami ada saya-lain
yang tak terkira.
Begitulah Djenar,
memainkan karakter tokoh-tokohnya secara naif, lugas, keras kepala dengan
prinsip hidupnya. “Menghardik” masyarakat yang punya pakem gelap-gelapan dalam
hal moral dengan menyodorkan moral-lain versi dirinya. Terlepas dari
tidak setujunya saya dengan prinsip demikian, namun yang menarik adalah hal
tersebut bisa jadi merupakan fakta. Lalu, haruskah Djenar dikecam karena
memilih angle macam itu dalam versinya?
Bagian mana yang menarik
dari cerpen itu?
Kekuatan perempuan!
Perempuan yang selama ini
diposisikan sebagai “korban” bisa mengambil alih permainan selaku “pemeran”,
terutama menghadapi lelaki berikut sesama kaumnya sendiri, baik secara personal
maupun kelompok.
Ketika direpresi, ia punya
imajinasi akan kendali yang diyakininya untuk memutarbalikkan keadaaan atau
setidaknya melunakkan tekanan dengan prinsip keras kepalanya bahwa ia bukanlah
makhluk lemah. Orang lain boleh menganggap apa tubuhnya, ia sebagai pemilik
tubuh punya hak akan memberi “jiwa” macam apa pada tubuh tersebut.
Lalu Nayla pun dengan
keras kepala meyakini prinsip dasar yang dianutnya:
Nama saya Nayla. Saya
perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak
mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot
air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah.
Saya mengenakan celana
pendek atau celana panjang. Saya bermain kelereng dan mobil-mobilan. Saya
memanjat pohon dan berkelahi. Saya kencing berdiri. Saya melakukan segala hal
yang dilakukan anak laki-laki.
Potongan rambut saya
pendek. Kulit saya hitam. Wajah saya tidak cantik. Tubuh saya kurus kering tak
menarik. Payudara saya rata. Namun saya tidak terlalu peduli dengan payudara.
Tidak ada pentingnya bagi saya. Payudara tidak untuk menyusui tapi hanya untuk
dinikmati lelaki, begitu kata Ayah. Saya tidak ingin dinikmati lelaki. Saya
ingin menikmati lelaki, seperti ketika menyusu penis Ayah waktu bayi. (Hlm. 36-37)
Dahsyat! Konsepsi
pemikiran Djenar lewat tokoh Nayla dan struktur bahasanya yang penuh repetisi
seakan hendak menegaskan keyakinan Sang Tokoh yang lugas dan tegas di balik
citra “lemah”.
Di sanalah Djenar bermain
dengan tanda penis, air mani, susu, payudara, kencing berdiri, rambut, kulit,
wajah, tubuh, dan sekian penanda lainnya; untuk mengingatkan bahwa hal tersebut
eksploratif sekaligus eksploitatif.
Lalu karakter Nayla,
secara psikologis ia telah bicara banyak dengan prinsip-prinsipnya. Di balik
keluguan, ia tengah mencerna hidangan pelajaran kehidupan. Dan perspektifnya
mengenyakkan kita. Betapa Nayla pun bisa “dewasa”.
Tapi tidak ada pesta
yang tidak usai. Kebahagiaan adalah saudara kembar kepahitan. Ternyata
orang dewasa lebih mampu berkhianat. Ternyata tidak semua orang dewasa
hanya mau menyusu. (Hlm.
40)
Siapakah pengkhianat itu?
Pelan-pelan kita dibawa
dalam setiap fragmentasi adegan dari halaman 41 s.d. 43. Ketika “menyusui”
berubah jadi perkosaan. Sosok teman-teman Ayah ternyata berubah wujud jadi Ayah
sendiri. Kita tak mengira bahwa pemerkosa itu ternyata harus orang yang dekat
dengan Sang Nayla; figur pengayom pun ternyata melakukan lebih daripada apa
yang dilakukan kawan-kawannya dalam hal “menyusui”. Di sana ada efek
ketidaksadaran, pada mulanya Nayla merasa asing lalu kemudian ia mengenal baik
siapa pelakunya: ayahnya sendiri!
Sosok tersebut seolah
ditampilkan dalam citraan “mimpi”, mula-mula samar lalu jelas setelah ada efek
kesadaran. Serba mengawang.
Di sana umpama tersebut
saya paparkan untuk memberi kebebasan; pilihan rasa apa yang di benak Nayla --
juga kita, pembacanya?
Yang menarik adalah Nayla
masih bisa melakukan perlawanan di akhir adegan perkosaan tersebut:
Tangan saya meraih
patung kepala kuda di atas meja dan menghantamkan ke kepalanya. Tubuhnya
mengejang sesaat sebelum ambruk ke tanah. Matanya masih membelalak ketika
terakhir kali saya menatapnya sebelum dunia menggelap. Pancaran mata itu, tidak
seperti pancaran mata teman-teman Ayah yang lain. Pancaran mata itu, sama
seperti pancaran mata Ayah. (Hlm.
43)
Ia telah kehilangan
kenikmatan menyusui. Dari “bayi”, ia berubah jadi gadis kecil yang didewasakan
keadaan. Pada usia berapakah peristiwa tersebut terjadi? Yang jelas barangkali
semasa akil balig, setelah masa menstruasinya, sebab pada akhirnya Nayla bisa
hamil. Itu absurd. Mengandung anak dari ayahnya. Inses dalam pandangan seorang
anak.
Bukankah absurditas hidup
itu kompleks? Sering kita temui dan baca hal macam itu. Namun Djenar
memaparkannya dengan struktur cerita dan bahasa yang lekas. Eksistensialisme
yang mandiri.
Nama saya Nayla. Saya
perempuan, tapi saya tidak lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap
puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu
Ibu. Saya menyedot air mani Ayah.
Kini, saya adalah juga
calon ibu dari janin yang kelak akan berubah menjadi seorang anak yang kuat,
dengan atau tanpa figur ayah. (Hlm.
43)
Getir namun optimis!
Demikianlah membaca Djenar
Maesa Ayu. Tema seksual tak bisa begitu saja dikategorikan amoral. Ia justru
memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan moral. Tatanan moral yang jungkir
balik dalam sisi gelap kehidupan. Sesuatu yang kita tolak dan sangsikan, namun
sebenarnya senantiasa mengintai.***
Cipeujeuh, 3 Januari
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D