Murung adalah kata
sifat yang kembali menyergap, kemudian memancar melalui paras wajah dan sorot
matanya. Ia seolah kembali pada masa sebelum menikah: kesepian. Kana, istrinya
mulai tak betah. Dan ia serba salah.
Cerpen Rohyati Sofjan
SEANDAINYA ia
punya rumah sendiri, rumah yang cukup
memadai untuk membina keluarga dari hasil pernikahannya, barangkali segala
kekacauan itu tak perlu terjadi. Namun ia seolah dihempaskan pada keterbatasan
pilihan; tetap tinggal bersama ibunya, lebih tepat nenek dari pihak ibu, yang
telah membesarkannya selama 28 tahun. Dalam rumah panggung berdinding gedek
sederhana yang digerogoti hama kayu sehingga setiap hari selalu saja debu-debu
kayu mengotori beberapa bagian. Merusak penampilan sekaligus mencemaskan.
Dan ia sadar hidupnya seolah kayu yang
digerogoti hama kecemasan. Hantaman masalah yang membuatnya risau. Mengapa sih orang lain harus usil dan ikut
campur dalam kehidupan perkawinan mereka yang belum seumur jagung?!
Belum genap sebulan pernikahan mereka,
Nini, adik neneknya, meminjam uang. Katanya untuk membayar utang ke bank. Ia
bingung sebab tak punya uang sama sekali. Modal warung kecil-kecilan yang
dikelola bareng istrinya berasal dari uang Kana sendiri. Uang dari sisa
sumbangan pernikahan di rumah Kana. Itu pun tidak cukup, hanya 350 ribu rupiah.
Dan Kana telah menambahkan 100 ribu lagi uang simpanan pribadi untuk ke dokter
gigi.
Ia pikir tak akan ada masalah sama
sekali ketika bilang sejujurnya tidak punya uang. Namun ternyata bermasalah
karena Nini ingin pinjam cincin mahar, padahal cincin itu telah dijual atas ide
Kana agar mereka tak berutang: untuk menambah modal warung dan makan.
Nini bilang cincin itu akan dikembalikan
dalam waktu sebulan. Nini minta agar ia menyampaikan permintaannya pada Kana.
Itulah fatalnya. Malamnya ketika ia
membicarakan itu pada Kana dan jalan keluarnya tentang cincin yang telah
dijual.
“Kita bilang saja pada Nini bukan tak
mau membantu tapi bagaimana bisa membantu jika barangnya tidak ada, Sayang.” Ia sungguh tak tahu kalimat apa
yang harus disampaikan pada adik neneknya yang masih merupakan istri uwak
sepupu Kana.
“Aku jadi menyesal, Tama. Mestinya kita
tak jual itu, tapi kita ‘kan tak ingin berutang.” Suara Kana ikut muram. Namun
Kana menyanggupi untuk menyampaikan hal itu esok harinya sepulang dari
rutinitas belanja meski menolak adalah pekerjaan berat.
Namun esok hari adalah petaka. Nini
kembali mendatangi Tama untuk bertanya, dan tak ada pilihan bagi lelaki itu
selain menjelaskan perihal cincin yang telah lama dijual. Nini malah
tersinggung dan tak percaya. Dan beban itu menghimpitnya. Sikap Nini sekeluarga
jadi berubah sinis.
Kana tidak menyadari perubahan itu
karena terlalu sibuk dengan urusan belanja dan pekerjaan rumah tangga, tetapi
Tama tidak tahan untuk curhat pada istrinya.
“Haruskah kita berutang agar cincin itu
tidak dijual? Bukankah kita tak ingin berutang apalagi membebani orang lain?”
Kana bersandar di punggung suaminya, mengusap rambut Tama, mencoba menyerap
kesedihan itu agar tak membebani suaminya. Dan ia tahu, usapan dan penghiburan
dari sang istri adalah sesuatu yang paling dibutuhkan para suami agar bisa
melabuhkan kegelisahan menuju muara tenteram.
“Kita harus segera kumpulkan uang agar
bisa menebus kembali cincin yang telah dijual.” Ia menghela napas. Begitu
berat.
Akan tetapi, Kana adalah Kana,
sepertinya tidak peduli pada perhiasan, uang sisihan diambil untuk tambahan
modal warung mereka yang mulai menipis. Keuntungan warung tidak seberapa. Ia
tahu itu, belum lagi ongkos ojek pulang-pergi ke pasar yang 10 ribu sudah
memberatkan. Mereka berdagang cuma untuk bertahan. Ya, sampai ia beroleh
pekerjaan.
Namun rupanya Ibu tidak mau tahu. Wanita
tua yang selalu tampak kasar terhadapnya dan berwajah masam pada siapa saja,
malah mencela mereka. Ia dimarahinya. “Teganya kamu tidak mau bantu Nini!”
Kata-kata itu seolah diucapkan orang asing pada orang asing lain. Memberi rasa
nyeri pada jiwanya.
Ia coba menjelaskan, namun Ibu tidak mau
tahu. Begitu keras mencela dan begitu keras kepala merasa benar. Sehingga
kebenarannya adalah harus memusuhi cucu dan menantunya. Ia gerah, Ibu selalu
marah-marah. Barang pemberian dan sikap baik Kana pun tak digubrisnya. Kana
tidak tahu soal kemarahan Ibu. Ia tentu tak mengira mertuanya akan sepicik itu
ikut campur dalam urusan keuangan mereka, lebih tepatnya uang Kana pribadi.
Kana terganggu dengan sikap uwaknya
ketika suatu siang ia bilang soal bubur peuyeum
yang tadi pagi diberikan pada Sepupu Dana, anak uwaknya. Uwak malah menjawab
ketus dan dingin, “Duka!”
Kaget Kana menjelaskan bahwa bubur
buatan ibunya itu merupakan peuyeum gagal
yang terpaksa dimasak menjadi bubur manis. Namun uwak tetap menjawab singkat, “duka” yang berarti tidak tahu dengan
tambahan seru plus ketus.
Ia tahu istrinya kecewa dan heran ketika
Kana mengadu, ia mendengar dialog itu dari dalam rumahnya yang berdampingan
dengan rumah Nini. Ia sendiri memendam kerisauan sehingga berlaku seolah tak
menanggapi. Dan itu membuat Kana marah karena mengira tak peduli. Memilih tidur
di rumah ibunya yang beda dua RT.
“Kamu tidur di rumah ibumu, aku akan ke
sana jam delapan. Ada yang harus dibicarakan dan tidak di sini sekarang!”
Putusnya tegas, sebab selalu ada yang belanja sampai malam.
“Gak
boleh! Kamu di sini saja, aku di sana.”
Ia tahu Kana hanya ingin menggoda. Dan
malamnya ketika ia datang, Kana menyambutnya dengan dandanan seksi, membuat
hasrat kelelakiannya (yang kata Kana masih menganut asas pandangan hidup:
memandang baru “hidup”) berkobar, lupa sedang dilanda masalah yang meruwetkan.
Di kamar atas barulah ia berterus terang
pada istrinya tentang perubahan yang harus mereka atasi. Segala gumpal
kekecewaan ia muntahkan, dan disimak Kana dengan sesal sekaligus sabar.
“Maafkan aku, Sayang.”
Ia tahu istrinya berduka. Ia seolah
berhadapan dengan seorang perempuan yang sedang mengupas bawang. Ialah bawang
itu. Segala duka hidupnya dikupas sampai istrinya, yang jarang dan benci
menangis, mencucurkan air mata.
Ia jelaskan sikap ibunya, sikap keluarga
Nini, dan soal cincin mahar yang menjadi petaka bagi mereka. Yang mengejutkan
adalah, “Kalau begitu kita kumpulkan semua uang kita untuk dipinjamkan pada
mereka agar ibumu tidak marah-marah lagi. Dan tolong jelaskan pada ibumu soal
berapa penghasilan kita ini. Ibumu harus tahu kenyataan yang sebenarnya.”
Ia seolah melihat kebesaran jiwa
istrinya, istri yang coba mengalah agar bisa menyadarkan kekeraskepalaan
ibunya. Ia jadi malu ketika Kana bilang malu karena mereka tidak tahu malu
memusuhi yang tak bisa meminjamkan uang.
Uang mereka, lebih tepatnya uang modal
untuk belanja hanya 263 ribu. Masih kurang dengan cincin seberat 1,5 gram
seharga 300 ribu dipotong 7.500 rupiah kala dijual.
“Apakah kamu ikhlas, Sayang?”
“Aku ikhlas, Tama. Perkawinan kita lebih
berharga daripada harta.”
Ia tidak tahan melihat istrinya tambah
bersimbah air mata, ia ikut menangis meski sedikit saja keluar air mata. Toh, kesedihan coba dihapus pasangan
suami istri yang baru belajar pengalaman berumah tangga itu ternyata tak mudah,
dengan seks. Seks adalah penyatuan bagi mereka, jiwa dan raga. Dan terutama
bagi Kana yang selalu suka bersetubuh dengan suaminya untuk alasan “aneh”:
bukan orgasme semata, dia begitu bahagia jika tubuh mereka menyatu. Baginya
Tuhan adalah pencipta detail Paling Sempurna!
Masalah itu telah beres. Esok paginya ia
pulang dan menjelaskan soal uang pada neneknya. Wanita itu terpaksa sadar dan
bilang tak akan mengusik uang mereka lagi. Ia lega. Pun ketika ia hendak
serahkan uang itu pada Nini berikut penjelasan istrinya semalam, Nini kaget dan
malu. Terpaksa bilang telah dapat pinjaman.
Ia membatin gusar, jika telah dapat
pinjaman mengapa harus diributkan? Dasar perempuan! Serba membingungkan!
Namun benar kata Kana, perempuan adalah
makhluk paling membingungkan. Lidah mereka setajam pedang. Dan lidah itu
kembali melukainya setelah sebulan pernikahan. Entah siapa yang mulai, ada
gosip menyebar, ibu Kana dikabarkan suka membicarakan orang. Dan kali ini ialah
yang jadi “korban” sang menantu yang dianggap mengecewakan karena pengangguran.
Harga dirinya kembali dilukai! Ia tak mengira mertua yang dikenalnya baik dan
suka memberi itu jadi penyebar keburukan dan bersikap riya.
Itu bermula dari kebiasaan istrinya yang
mondar-mandir antara rumah mereka dan rumah ibu Kana. Ia tak keberatan, ibunya
juga, apalagi ibu Kana. Namun entah mengapa harus ada tetangga yang keberatan
padahal Kana hanya mencuci pakaian mereka sebagai bagian tugas rumah tangga
(rumah mereka tak dilengkapi sumur dan kamar mandi pribadi), istirahat,
menonton TV, makan dan minum, baca-baca, mandi, memenuhi panggilan alam, kadang
juga tidur siang.
Perempuan itu tidak pernah macam-macam
apalagi berkumpul dengan tetangga untuk bergunjing. Justru digunjingkan.
Kebiasaan membawa makanan dari rumah ibunya pun jadi perkara. Banyak tetangga
yang melihat, dan kebetulan saat keluar ibunya ikut keluar, lalu ditanya
tetangga. Ibunya tanpa maksud apa-apa hanya bilang memberi makanan buat
putrinya.
Ucapan itu diputarbalikkan, oleh entah
siapa, bahwa ia dianggap riya kala memberi pada anaknya dan hal itu terdengar
oleh mertua Kana kala hendak ke rumah Bi Dede keponakannya. Dari teras rumah
Sepupu Annisa, terdengar gunjingan ibu-ibu yang seolah sengaja dimulai agar
didengar ibu Tama bahwa besannya bla-bla-bla. Itu membuat murka sang mertua,
tidak mau lagi mencicipi pemberian besannya. Membuka perkara bab dua.
Ia tahu komunikasi adalah hal penting
dan mendasar dalam perkawinan. Kana selalu bilang agar mereka saling terbuka.
Dan ia pernah dipetuahi abang Kana agar menjalin komunikasi dalam pernikahan
dengan baik. Ia telah terbuka. Kana coba mengklarifikasi. Menanyai ibunya soal
kebenaran gosip. Ibunya membantah karena tak merasa. Untuk apa menyebarkan soal
pemberian pada anak sendiri jika pada orang lain saja tidak? Demikianlah
argumen sang ibu.
Soal menganggur saja bukankah ibunya tak
pernah mengungkit pekerjaan Tama sebab tahu menantunya juga bekerja mengelola
warung bersama anaknya. Demikianlah sang ibu membela diri. Bukankah dulu
sebelum menikah ia pernah menghibur Tama, jangankan yang baru, yang lama saja
masih menganggur.
Ia tahu kebenaran adalah hal membingungkan.
Istrinya sendiri sudah bingung dan ada pekerjaan yang harus ditanganinya:
menjadi narasumber untuk mengisi mata kuliah imajinative writing, berbagi pengalaman proses kreatifnya dalam
menulis di Kampus Unpas, Bandung, atas undangan sahabat yang juga menjadi dosen
sana.
Ia bangga pada istrinya, sekaligus risau
dan kasihan. Kana kehilangan fokus dan geram pada penyebar gosip sebab ikut
kena getahnya: seolah tambah dijauhi mertua. Bahwa ada bagian dari bab satu
yang belum usai benar.
Dan sekarang, di malam yang dingin
berhujan ini, ia kangen pada istrinya. Kana sengaja tidur di rumah ibunya. Ia
tak bisa melarang, istrinya punya alasan; harus belajar dan membaca banyak
literatur demi persiapan presentasi nanti agar tak mengecewakan. Rumah itu toh masih rumah Kana, si bungsu yang
seolah anak tunggal, Abang Kana sudah punya rumah sendiri di Ciamis. Bisa jadi
kelak akan jadi milik Kana sebab pernah ikut andil dalam membeli tanah dan
merenovasi rumah.
Sedang ia, apakah ia? Yatim piatu yang
kadang sadar dirinya seolah insan buangan. Terikat utang budi sepanjang hayat
pada sang nenek. Itulah perbedaan antara anak yang dibesarkan orang tua
kandung: berdasarkan kewajiban. Ia dibesarkan atas dasar, barangkali, kasihan.
Dan itu membebaninya.
Kana adalah segalanya. Perempuan itu
memahaminya. Namun tak bisa menjangkau lebih dalam bagian paling intim jiwanya.
Ia tak bisa sepenuhnya berbagi pada Kana, kadang ia bingung sendiri, dan kadang
itu membuat Kana uring-uringan karena menganggapnya tak berpendirian dan lekas
berubah pikiran.
Ia menyadari istrinya memiliki lompatan
pemikiran tak terjangkau. Bahasanya pun berada di tingkatan yang cuma dipahami
orang-orang seprofesi. Dan kadang ia minder, seolah tak mampu menjangkau dunia
istrinya. Namun Kana membutuhkannya, ia tahu itu. Perempuan itu mencintai dan
mengasihinya tanpa syarat. Kana berbeda dengan Laela pacar masa lalu yang telah
menorehkan luka perih. Laela dengan cinta palsunya adalah kenangan usang. Namun
bagaimana jika perkawinan mereka harus berakhir berantakan?
Dan di kamar berkelambu dengan beberapa
bagian dari dinding gedek yang bolong-bolong kapurnya, ia melihat dunia sebagai
kenyataan yang apa adanya bukan seharusnya. Mereka baru menikah sudah dihantam
masalah, dan orang lainlah yang bikin ulah. Ia merasa istrinya kian hari kian
lelah. Wajah itu telah berubah: seperti dipaksa menyerah namun bersikeras tak
ingin menyerah.
Dan ia merasa bersalah. Seandainya ibu
berubah lebih ramah mungkin Kana akan betah. Namun jangankan Kana, ia sendiri
tidak betah. Selalu ada keinginan meninggalkan rumah. Rumah yang telah dibangun
dari awal dengan tangannya, bahkan dari segi pembiayaan. Ibunya keluar 6 juta,
dan ia 4 juta. Itu pun masih kurang. Mereka pernah terpaksa berutang demi
membangun rumah sederhana di tanah harapan. Kana dan ibunya banyak membantu di
saat sulit selama masa pacaran mereka yang cuma lima bulan saja.
Ia tahu terlalu banyak hal
dipertaruhkan. Ia telah meninggalkan tanah kelahiran di Lampung demi masa depan
yang diharapkan lebih baik di tanah leluhur. Apakah salah jika ia butuh
kedamaian dari pernikahan?
Ia merindukan sentuhan istrinya. Terlalu
menyakitkan ketika seseorang yang kau yakin kau cintai tiba-tiba ingin menjauh
dengan alasan masuk akal. Ia sungguh kedinginan. Tak ada tambahan selimut hidup
di sampingnya yang bisa memeluk dan dipeluk. Atau mengelus-elus kumis di atas
bibirnya yang ia tumbuhkan demi menyenangkan istri, tidak tebal tetapi cukup
jantan. Bahkan ia sengaja membiarkan dagunya tak dicukur.
Ia merindukan sapaan istrinya seperti
tadi siang sepulang dari salat Jumat, “Hai, Tampan!” Ia mendadak ingin bercinta
dengan gaya seperti malam kemarin. Ia begitu bahagia ketika berhasil
membuat istrinya orgasme sungguhan untuk
pertama kalinya. Kana nikmat sekaligus kesakitan di bagian bawah dari perutnya,
beberapa senti dari pusar, meremas bantal dan tidak tahan. Ia tidak tega untuk
melanjutkan. Kana kaget dengan gaya baru mereka. Biasanya mereka hanya main
gaya konvensional: ia di atas, Kana di bawah, dan saling berhadapan. Kana biasa
menganggap orgasme itu kenikmatan yang bisa membuatnya tersenyum jika Tama main
cepat.
Dan tiba-tiba ia ingin marah pada Kana,
tidak semestinya mereka tidur terpisah. Ah,
andai mereka punya rumah. Namun kapan? Ia belum punya pekerjaan yang bisa
menghasilkan banyak uang. Hanya seorang petani yang tak memiliki tanah
pertanian.
Di Lampung ia punya tanah perkebunan
yang dibeli atas hasil keringatnya sendiri. Tidak seluas tanah milik ibunya
namun lumayan memandirikan. Tanah itu telah dijual bersama tanah ibunya demi
pindah ke kampung ini, namun ia belum beroleh uang hasil penjualan tanah
miliknya secara utuh. Ibunya malah memercayakan agar tanahnya pun ikut
dijualkan oleh abang tirinya. Dan sampai sekarang belum dibayar lunas juga. Ia
baru beroleh 3,5 juta dari 10 juta uangnya. Dan uang itu digunakan untuk biaya
pernikahan. Ia geram, menganggap ibunya bodoh, memercayakan sesuatu yang bahkan
bukan miliknya pada orang tak tepercaya atas dasar pilih kasih.
Ia merasa dunia kejam dan tidak adil.
Namun Kana bilang bukan dunia yang kejam melainkan hidup yang kadang tidak adil
untuk lebih mendewasakan dan mematangkan kita. Dan ia coba memercayai nasihat
istrinya.
Ia pernah mengeluh pada Kana, kurang apa
aku dalam memperjuangkan hidup jika ibuku lebih menyayangi abangku. Ya, abang
beda ayah yang sama sekali tak peduli bahkan membencinya. Pernah pula nyaris
membunuhnya. Ah, begitu pahit
kenangan itu. Hidup tanpa orang tua kandung. Terikat utang budi sepanjang
hayat. Sekeras apa pun ia coba menyenangkan hati ibunya, bahkan dalam hal uang,
tetap saja dianggap kurang. Suatu waktu, pada Kana, ia pernah dengan kesal
bilang, “Bukan aku yang menumpang pada ibu tapi ibu yang menumpang padaku!”
Itulah faktanya. Ia bosan berada dalam
situasi serba salah. Tak membantah ibunya yang digerogoti penyakit darah tinggi.
Ia sudah terbiasa dengan suasana hati ibunya yang mudah berubah-ubah, tetapi
Kana tidak dan selalu khawatir ada yang salah hingga tak betah.
Ia khawatir pada Kana yang makin kurus.
Tadi istrinya cuma makan sedikit nasi sisa kemarin yang agak basi sebab enggan
menyentuh yang baru ditanak Ibu. Alasannya sayang jika memubazirkan beras.
Mereka kehabisan beras, kebanyakan dipinjam Nini. Kana tadi masak sayur sebab
tidak suka masakan terlalu asin yang biasa dimasak mertuanya. Lidah
Sunda-Jawanya tidak menyukai citarasa terlalu pangsit. Namun kemudian tidak
makan siang, malah jelang sore minta izin untuk menginap di rumah ibunya. Ia
tak bisa melarang meski enggan dan kehilangan. Kana mulai tidak nyaman dan
harus fokus belajar.
Ia memikirkan pekerjaan. Musim panen
jagung tinggal 1-2 bulan lagi, barangkali ia bisa dapat uang dari bekerja
memanen dan menjadi buruh pikul jagung orang lain. Ia kurus karena kurang makan
dan banyak kerja. Kana pernah tanya apakah ia dan ibunya biasa makan enak.
Heran dengan jawaban bahwa ibunya tak pernah masak daging dan sejenisnya yang
enak-enak. Entah jika ia tidak ada. Justru dari Kanalah ia bisa makan ikan dan
daging. Ia kasihan pada Kana yang tampaknya harus menemani berperan sebagai
pihak yang berusaha menyenangkan orang lain sampai mengorbankan diri sendiri.
Akan tetapi, Kana adalah Kana. Tak
menuntut banyak. Perempuan mandiri yang tak peduli ucapannya agar bisa
mengambil hati sang ibu sebab siapa tahu mereka membutuhkan uangnya. Bagi Kana
berbuat baik itu penting, tetapi ia butuh keramahan bukan uang. Ia tidak peduli
uang mertua apalagi uang ibunya. Masa depan adalah sesuatu yang harus
diperjuangkan secara mandiri. Itu membuat ia iri pada istrinya. Tak peduli
perhiasan, materi, uang berkelebihan yang semestinya menjadi impian tiap
perempuan.
Ia tidak memahami ibunya. Baik pada
orang lain tetapi tidak pada dirinya, sang cucu. Apakah kebaikan itu harus
pilih-pilih dan dibedakan? Ibunya punya sawah yang baru dibeli seharga 25 juta
di kampung ini, dibeli dari adik lelakinya yang tinggal di Bandung, tetapi
sawah itu sebelumnya telah digadaikan anak lelaki dari adik perempuan ibunya
sebesar 2 juta pada pihak lain tanpa sepengetahuan adik lelaki ibunya. Sawah
itu mestinya dicabut saja sebab hasilnya tidak jelas dan sampai sekarang tidak
dikembalikan keponakan ibunya, sudah berbulan-bulan. Namun ibunya membiarkan
dengan alasan kasihan.
Ia heran ibunya lebih kasihan pada orang
lain daripada diri sendiri dan cucunya. Ia heran ibunya lebih ribut untuk
menolong orang lain saat ia dan istrinya yang berusaha mandiri mencoba tak
berutang malah dirongrong agar meminjamkan uang. Ia heran ibunya begitu keras
kepala seolah merasa paling benar dan tidak memaafkan besan yang merasa tidak
menyebarkan hal-hal tidak benar, sampai istrinya bilang, “Ibumu seperti
pendendam.”
Ia tahu Kana tidak nyaman. Ia sama tidak
nyamannya namun tidak tahu harus ke mana lagi tinggal. Ia mendiskusikan peluang
kerja di Tangerang sebagai buruh bangunan. Kana setuju meski keberatan soal 1
bulan tidak pulang. Kana bersikeras agar diperbolehkan menjenguk dan menginap
sebentar di mana saja. Tak ada perdebatan.
Namun sekarang, dalam kesunyian dan
kemarahan, ia sungguh takut perkawinan mereka akan bubar. Istrinya pernah
ajukan pertanyaan tentang perceraian. “Bagaimana seandainya jika kita
bercerai?” Ia bantah dengan tidak ada perceraian. “Bagaimana jika ibumu atau
siapa saja menyuruhmu menceraikan aku?” Tidak akan! Ia bilang, keras dan
tegas, tetapi ada rasa ragu diam-diam
menelusup jiwanya.
Dan keraguan itu seolah menguar di udara kamar yang lembap dan dingin sampai
sekarang.
“Allah benci perceraian!” Ia coba
gemakan ulang pernyataan itu sebagai jawaban kenapanya Kana, dalam jiwanya yang
basah oleh luka. Teringat janjinya pada malam pertama pernikahan mereka. Ia
ingin seperti kedua orang tuanya, saling mencintai sampai ajal memisahkan!***
Cipeujeuh, 29 Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D