Cerpen Rohyati Sofjan
SENJA itu, sepulang kerja
di atas pukul lima, kutemui sosokmu yang menepati janji di lapangan parkir
Stasiun Kiaracondong, menyaksikan ibu-ibu bermain voli. Tampaknya seru sekali.
“Hai!”
sapaku begitu kamu menoleh ke belakang, seolah hafal dengan irama
detak sepatuku, atau nalurimu saja yang mengabarkan
kehadiranku. Aku duduk di sampingmu, di pembatas lapangan parkir yang
disemen. Langsung kubuka bungkusan majalah yang sedianya akan
kupinjamkan padamu sebagai janji atas penawaranku di senja
kemarin pertemuan kita.
Namun
kamu malah ingin bercerita tentang gadis berkerudung cokelat di seberang yang
sejak pukul tiga kamu perhatikan. Mataku langsung menyapu sosoknya. Anggun
benar ia dengan tunik dan rok panjang serta jilbab lebar, sayangnya aku juga
tidak tahu siapa ia dan di mana tinggal.
Kamu
ingin kenal. Aku tertawa begitu kamu bilang langsung jatuh hati pada pandangan
pertama. Betapa mudahnya kamu demikian. Dan betapa beruntungnya kamu punya
kekasih yang pengertian, nun di Madura sana, yang mengizinkanmu punya pacar
lagi tanpa diminta dengan syarat pada akhirnya hanya ia yang kamu nikahi saja.
Lantas
kita tinggalkan lapangan voli, mencari sudut yang tenang untuk kita
cengkeramai. Begitulah, aku tak pernah menghitung pertemuan kita ke berapa
dalam setiap senja. Pada mulanya aku tak mengerti mengapa kamu betah nongkrong
di lapangan tersebut, sementara aku hanya akan melewatinya saja; langsung
pulang, kadang mampir dulu ke wartel yang ditongkrongi temanku untuk mengobrol
atau pinjam koran.
Aku
sibuk dan lelah. Namun kupikir tak ada salahnya bercengkerama denganmu, meski
akibatnya jadwalku berantakan. Sebab kamu seolah bisa lupa waktu. Magrib lewat.
Kita bolos salat atau salat magribmu telat. Dan sehabis itu aku buru-buru memeriksa
apa keran air PDAM dekat rumah Pak RT masih ngocor.
Aku
jadi malu pada Iqbal karena dalam surelku, aku berkoar-koar soal kesibukanku
berikut mengaji Quran sebagai jadwal harian setiap malam, sehingga ia bergeleng
kepala membaca surelku dan bertanya di jajaran Kartini modern manakah aku
diletakkan. Namun aku lebih malu pada Tuhan, kurasa jadwal tadarusku sebaiknya
diubah menjadi sehabis salat subuh -- itu jika subuhku tak bolong.
Kadang
kunikmati percakapan kita dengan pendar cahaya senja sebab sebelumnya aku tak
pernah demikian. Bukankah hal gila bagiku jika duduk sendirian di bawah tangki
air raksasa hanya untuk mengagumi panorama senja, seolah tak ada hal lain yang
perlu kulakukan.
Sebab
aku berpikir betapa gilanya kaum lelaki, meromantisasi senja sedemikian rupa
dengan dramatisasi berlebihan. Barangkali kamu termasuk jenis lelaki yang
demikian, dan butuh kawan untuk menghayati senja tidak hanya seorang diri
semata. Lalu aku jadi korbannya hanya karena kita sekecamatan atau mungkin
malah sekelurahan.
Kamu seorang lelaki penyair. Pembaca Gibran
sekaligus pemujanya. Sementara aku perempuan yang masih malu-malu untuk menjadi
penyair, malah enggan mengenal lebih jauh siapa dan bagaimana Gibran hanya
karena seorang lelaki yang pernah kukenal menganggapnya sastrawan pop dan lebih
suka Muhammad Iqbal -- penyair-pemikir/pemikir-penyair asal India yang
lewatnyalah gagasan negara Pakistan terbentuk.
Dalam
setiap intermezo, atau kamu malah menafsirkannya lebih jauh sebagai kencan (?),
aku sadar betapa bertolak-belakangnya kita. Kamu kadang membuatku kesal karena
malah curhat melulu soal cinta seolah tak ada hal lain di dunia yang lebih
menarik dari itu. Tidak diskusi dan perdebatan.
Kupikir
Gibran telah menertawakanku dengan membentuk sosok sepertimu. Cinta, bagi kamu
adalah sesuatu yang sangat memabukkan; sementara aku sebagai seorang mantan
pecinta mabuk kepayang pada seseorang yang tak lekang, menganggap cinta adalah
sesuatu yang tak terjangkau dan kadang tak masuk akal.
Seperti
menghadirkan kegilaan, sesaat!
Begitulah
kamu dan aku. Senja demi senja digelar. Kata-kata berhamburan. Dan sesekali
orang-orang memerhatikan seolah kita laiknya sedang pacaran. Hatiku riang,
membayangkan seandainya aku tidak sedang dengan kamu, aku dengan seseorang yang
nun di seberang kenangan.
Akan
tetapi, apa boleh buat kita malah sering bertemu, maka otomatis perkawanan kita
pun tidak sekadar kenal sekelebatan.
Dan
saking bersemangatnya akan cinta, kamu sering geerin aku dengan menyebut sekian nama lelaki yang kamu kira istimewa
dalam hidupku secara berulangkali, seperti Keanan. Padahal kamu tidak tahu
dengan siapa sebenarnya aku merasa. Bagiku Keanan hanya sekadar kawan.
Gila!
Kuanggap kamu makhluk melankolis dan sok romantis yang berbahaya untuk
bercengkerama. Aku sempat berpikir tak ingin punya kekasih yang penyair, sebab
mengenalmu seolah melihat jendela rumah penyair yang
sebenarnya,
Aku
perempuan realis. Malah imajinasiku menjurus kalkulatif dalam tatanan
matematis. Segala sesuatu harus kuperhitungkan, dan aku lupa bagaimana caranya
agar imajinasiku kembali liar tanpa beban.
SENJA
tadi kamu mengajak seorang kawanmu yang dulu pernah bertemu denganku di acara
Pameran Buku Bandung, dua tahun lalu, Fauzi namanya. Aku pangling melihatnya.
Ia berubah seperti seniman muda lainnya dengan penampilan agak bohemian. Ia
cakep, tentu saja. Lebih cakep dengan potongan rambut yang melewati batas
telinga.
Kuanggap
ia sama seperti kawan lelaki lainnya. Namun kamu benar-benar gila. Kukira nama
depanmu yang berinisial A itu adalah Asmarawan. Sebab kamu malah menggoda kami
yang sama-sama sorangan seolah layak
membentuk unikum, sampai ia
menyebutmu Germotanpa kuveto, dan kamu pasang tampang
ditekuk karena tak terima adakah tampang germo dalam dirimu.
Kamu
lucu. Jahil. Usil. Sayangnya kamu terlalu asmarawan. Dan apakah karena itu
kekasihmu tergila-gila padamu. Ah,
beruntungnya kamu.
Dan
seperti biasanya magrib itu lewat tanpa terasa. Senja menghilang. Malam
digelar. Nyamuk-nyamuk di atas kepala merubung dengan dengung panjang.
Pembicaraan mesti usai, asmara sampai sastra barangkali bisa kita sambung lagi
kapan-kapan.
Kalian
hendak ke rumah Kang Erwan Juhara di Sukapura untuk suatu pertemuan mengenai
acara Pameran Buku Bandung yang akan datang. Namun entah kapan kamu berubah,
tak usah mendongeng soal cinta yang bagiku antah-berantah. Adakah hidup hanya
fokus pada cinta melulu?
Sementara
itu Fauzi pengagum Rumi dan sedang berproses mencintai-Nya serta mengenal
hakikat-Nya dengan jalan terus menulis, meski aku bilang sangat tidak mudah
mencintai Tuhan dengan sepenuh penyerahan total; sebab beginilah hidup, penuh
godaan dan cobaan sebagai batu ujian.
Ah,
apakah di senja lain kamu akan mengajak sekian lelaki lain untuk diperkenalkan
padaku sembari menikmati perbincangan dan “kencan” dalam panorama senja? Dan
kamu memang pecinta yang berbahaya. Germo yang gila. Barangkali Fauzi merasa
dikerjai juga.
Namun
aku tidak sedang ingin pacaran. Aku benar-benar ingin memaknai arti hijrah,
seperti dalam cerpen Fauzi yang pernah kubaca di koran Galamedia, yang kini menumpuk di rumahku nun di Balubur Limbangan.
Jangan
katakan berjilbab adalah hal mudah. Selalu saja ada aral untuk istiqamah sebagai muslimah yang kaffah. 27 tahun adalah fase di mana aku
ingin berubah lebih baik daripada yang sudah-sudah. Bagiku hidup adalah
anugerah. Dan takdir adalah pilihan yang kutemui dengan jalan bergerak.
Sebagaimana
rotasi bumi yang senantiasa menghadirkan panorama senja di belahan dunia ini,
sampai gelap berlayar dan malam digelar. Lalu kita berpisah dengan salam dan sobahul lail di tanah lapang, tempat di mana masa kanak-kanakku pernah
riang berkejaran; bermain kasti, voli, layang-layang, atau menjelajahi gerbong
kereta-barang kosong.
Sementara
itu siapa tahu maut diam-diam tengah mengintai, seolah mengisyaratkan bahwa
senja tak sepenuhnya lagi milik kita yang abadi, tidak juga puisi. Meski
panorama senja bisa memasuki bingkai jiwa penyair mana saja yang tergugah
akannya.
Adakah
yang abadi di muka bumi? Kenangan yang kita goreskan siapa tahu kelak hanya
tinggal sejarah usang, di sudut ruang dan waktu yang kelak mungkin terlupakan.
Aku
hanya kawanmu. Selalu ingin jadi kawanmu. Tak peduli aku sedang taaruf dengan lelaki lain, kamu akan
tetap kawanku, seseorang yang mengajak berjemur dan berbincang dalam hamparan matahari
senja. Meski kadang aku enggan dan mengangankan lelaki itu adalah seseorang
dalam kenangan yang telah usai***
Kamar, 29 Juli 2003, 00.30
WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D