Jumat, 05 Januari 2018

Pertemuan Senja



Cerpen Rohyati Sofjan


SENJA itu, sepulang kerja di atas pukul lima, kutemui sosokmu yang menepati janji di lapangan parkir Stasiun Kiaracondong, menyaksikan ibu-ibu bermain voli. Tampaknya seru sekali.
“Hai!” sapaku begitu kamu menoleh ke belakang, seolah hafal dengan irama detak sepatuku, atau nalurimu saja yang mengabarkan kehadiranku. Aku duduk di sampingmu, di pembatas lapangan parkir yang disemen. Langsung kubuka bungkusan majalah yang sedianya akan kupinjamkan padamu sebagai janji atas penawaranku di senja kemarin pertemuan kita.
Namun kamu malah ingin bercerita tentang gadis berkerudung cokelat di seberang yang sejak pukul tiga kamu perhatikan. Mataku langsung menyapu sosoknya. Anggun benar ia dengan tunik dan rok panjang serta jilbab lebar, sayangnya aku juga tidak tahu siapa ia dan di mana tinggal.
Kamu ingin kenal. Aku tertawa begitu kamu bilang langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Betapa mudahnya kamu demikian. Dan betapa beruntungnya kamu punya kekasih yang pengertian, nun di Madura sana, yang mengizinkanmu punya pacar lagi tanpa diminta dengan syarat pada akhirnya hanya ia yang kamu nikahi saja.
Lantas kita tinggalkan lapangan voli, mencari sudut yang tenang untuk kita cengkeramai. Begitulah, aku tak pernah menghitung pertemuan kita ke berapa dalam setiap senja. Pada mulanya aku tak mengerti mengapa kamu betah nongkrong di lapangan tersebut, sementara aku hanya akan melewatinya saja; langsung pulang, kadang mampir dulu ke wartel yang ditongkrongi temanku untuk mengobrol atau pinjam koran.
Aku sibuk dan lelah. Namun kupikir tak ada salahnya bercengkerama denganmu, meski akibatnya jadwalku berantakan. Sebab kamu seolah bisa lupa waktu. Magrib lewat. Kita bolos salat atau salat magribmu telat. Dan sehabis itu aku buru-buru memeriksa apa keran air PDAM dekat rumah Pak RT masih ngocor.
Aku jadi malu pada Iqbal karena dalam surelku, aku berkoar-koar soal kesibukanku berikut mengaji Quran sebagai jadwal harian setiap malam, sehingga ia bergeleng kepala membaca surelku dan bertanya di jajaran Kartini modern manakah aku diletakkan. Namun aku lebih malu pada Tuhan, kurasa jadwal tadarusku sebaiknya diubah menjadi sehabis salat subuh -- itu jika subuhku tak bolong.
Kadang kunikmati percakapan kita dengan pendar cahaya senja sebab sebelumnya aku tak pernah demikian. Bukankah hal gila bagiku jika duduk sendirian di bawah tangki air raksasa hanya untuk mengagumi panorama senja, seolah tak ada hal lain yang perlu kulakukan.
Sebab aku berpikir betapa gilanya kaum lelaki, meromantisasi senja sedemikian rupa dengan dramatisasi berlebihan. Barangkali kamu termasuk jenis lelaki yang demikian, dan butuh kawan untuk menghayati senja tidak hanya seorang diri semata. Lalu aku jadi korbannya hanya karena kita sekecamatan atau mungkin malah sekelurahan.
 Kamu seorang lelaki penyair. Pembaca Gibran sekaligus pemujanya. Sementara aku perempuan yang masih malu-malu untuk menjadi penyair, malah enggan mengenal lebih jauh siapa dan bagaimana Gibran hanya karena seorang lelaki yang pernah kukenal menganggapnya sastrawan pop dan lebih suka Muhammad Iqbal -- penyair-pemikir/pemikir-penyair asal India yang lewatnyalah gagasan negara Pakistan terbentuk.
Dalam setiap intermezo, atau kamu malah menafsirkannya lebih jauh sebagai kencan (?), aku sadar betapa bertolak-belakangnya kita. Kamu kadang membuatku kesal karena malah curhat melulu soal cinta seolah tak ada hal lain di dunia yang lebih menarik dari itu. Tidak diskusi dan perdebatan.
Kupikir Gibran telah menertawakanku dengan membentuk sosok sepertimu. Cinta, bagi kamu adalah sesuatu yang sangat memabukkan; sementara aku sebagai seorang mantan pecinta mabuk kepayang pada seseorang yang tak lekang, menganggap cinta adalah sesuatu yang tak terjangkau dan kadang tak masuk akal.
Seperti menghadirkan kegilaan, sesaat!
Begitulah kamu dan aku. Senja demi senja digelar. Kata-kata berhamburan. Dan sesekali orang-orang memerhatikan seolah kita laiknya sedang pacaran. Hatiku riang, membayangkan seandainya aku tidak sedang dengan kamu, aku dengan seseorang yang nun di seberang kenangan.
Akan tetapi, apa boleh buat kita malah sering bertemu, maka otomatis perkawanan kita pun tidak sekadar kenal sekelebatan.
Dan saking bersemangatnya akan cinta, kamu sering geerin aku dengan menyebut sekian nama lelaki yang kamu kira istimewa dalam hidupku secara berulangkali, seperti Keanan. Padahal kamu tidak tahu dengan siapa sebenarnya aku merasa. Bagiku Keanan hanya sekadar kawan.
Gila! Kuanggap kamu makhluk melankolis dan sok romantis yang berbahaya untuk bercengkerama. Aku sempat berpikir tak ingin punya kekasih yang penyair, sebab mengenalmu seolah melihat jendela rumah penyair yang sebenarnya,
Aku perempuan realis. Malah imajinasiku menjurus kalkulatif dalam tatanan matematis. Segala sesuatu harus kuperhitungkan, dan aku lupa bagaimana caranya agar imajinasiku kembali liar tanpa beban.
                                      
SENJA tadi kamu mengajak seorang kawanmu yang dulu pernah bertemu denganku di acara Pameran Buku Bandung, dua tahun lalu, Fauzi namanya. Aku pangling melihatnya. Ia berubah seperti seniman muda lainnya dengan penampilan agak bohemian. Ia cakep, tentu saja. Lebih cakep dengan potongan rambut yang melewati batas telinga.
Kuanggap ia sama seperti kawan lelaki lainnya. Namun kamu benar-benar gila. Kukira nama depanmu yang berinisial A itu adalah Asmarawan. Sebab kamu malah menggoda kami yang sama-sama sorangan seolah layak membentuk unikum, sampai ia menyebutmu Germotanpa kuveto, dan kamu pasang tampang ditekuk karena tak terima adakah tampang germo dalam dirimu.
Kamu lucu. Jahil. Usil. Sayangnya kamu terlalu asmarawan. Dan apakah karena itu kekasihmu tergila-gila padamu. Ah, beruntungnya kamu.
Dan seperti biasanya magrib itu lewat tanpa terasa. Senja menghilang. Malam digelar. Nyamuk-nyamuk di atas kepala merubung dengan dengung panjang. Pembicaraan mesti usai, asmara sampai sastra barangkali bisa kita sambung lagi kapan-kapan.
Kalian hendak ke rumah Kang Erwan Juhara di Sukapura untuk suatu pertemuan mengenai acara Pameran Buku Bandung yang akan datang. Namun entah kapan kamu berubah, tak usah mendongeng soal cinta yang bagiku antah-berantah. Adakah hidup hanya fokus pada cinta melulu?
Sementara itu Fauzi pengagum Rumi dan sedang berproses mencintai-Nya serta mengenal hakikat-Nya dengan jalan terus menulis, meski aku bilang sangat tidak mudah mencintai Tuhan dengan sepenuh penyerahan total; sebab beginilah hidup, penuh godaan dan cobaan sebagai batu ujian.
Ah, apakah di senja lain kamu akan mengajak sekian lelaki lain untuk diperkenalkan padaku sembari menikmati perbincangan dan “kencan” dalam panorama senja? Dan kamu memang pecinta yang berbahaya. Germo yang gila. Barangkali Fauzi merasa dikerjai juga.
Namun aku tidak sedang ingin pacaran. Aku benar-benar ingin memaknai arti hijrah, seperti dalam cerpen Fauzi yang pernah kubaca di koran Galamedia, yang kini menumpuk di rumahku nun di Balubur Limbangan.
Jangan katakan berjilbab adalah hal mudah. Selalu saja ada aral untuk istiqamah sebagai muslimah yang kaffah. 27 tahun adalah fase di mana aku ingin berubah lebih baik daripada yang sudah-sudah. Bagiku hidup adalah anugerah. Dan takdir adalah pilihan yang kutemui dengan jalan bergerak.
Sebagaimana rotasi bumi yang senantiasa menghadirkan panorama senja di belahan dunia ini, sampai gelap berlayar dan malam digelar. Lalu kita berpisah dengan salam dan sobahul lail di tanah lapang, tempat di mana masa kanak-kanakku pernah riang berkejaran; bermain kasti, voli, layang-layang, atau menjelajahi gerbong kereta-barang kosong.
Sementara itu siapa tahu maut diam-diam tengah mengintai, seolah mengisyaratkan bahwa senja tak sepenuhnya lagi milik kita yang abadi, tidak juga puisi. Meski panorama senja bisa memasuki bingkai jiwa penyair mana saja yang tergugah akannya.
Adakah yang abadi di muka bumi? Kenangan yang kita goreskan siapa tahu kelak hanya tinggal sejarah usang, di sudut ruang dan waktu yang kelak mungkin terlupakan.
Aku hanya kawanmu. Selalu ingin jadi kawanmu. Tak peduli aku sedang taaruf dengan lelaki lain, kamu akan tetap kawanku, seseorang yang mengajak berjemur dan berbincang dalam hamparan matahari senja. Meski kadang aku enggan dan mengangankan lelaki itu adalah seseorang dalam kenangan yang telah usai***
Kamar, 29 Juli 2003, 00.30 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D