Senja itu seperti biasa
Tristan Jones duduk di atas kursi rodanya. Mengamati panorama senja di balik
jendela kaca kamarnya yang terpentang lebar ke arah lautan, dengan debur ombak
tak henti bergulung disapu angin kencang. Kapal-kapal beragam ukuran berlayar
dengan latar bola merah raksasa di arah barat memberkaskan cahaya aneka warna
yang menyapu isi dunia.
Cerpen Rohyati Sofjan
BEGITULAH
jarak yang ditempuh cahaya melalui atmosfer
menentukan warna matahari. Pada saat matahari terbenam seperti itu, cahayanya
menempuh jalur lebar di atmosfer dengan sudut tajam dan melewati daerah padat
partikel. Kemudian partikel-partikel itu menghamburkan warna cahaya yang
mempunyai riak gelombang panjang sehingga matahari berubah warna dari kuning, jingga,
sampai merah tua seperti sekarang.
Ia selalu
terpesona pada panorama demikian. Betapa tak bosan-bosannya memandang saat-saat
menjelang matahari terbenam ke arah ufuk seharusnya sesuai rotasi bumi. Seolah
ada Tangan Raksasa yang telah mengatur semua itu dengan cermat dan konstan.
Namun ia menanti sesuatu setiap senja tiba, sesuatu yang membuat matanya
berkaca-kaca: kumandang azan magrib dari suatu masjid nun mengalun, menembus
relung-relung cahaya senja sebelum lenyap ditenggelamkan malam. Ia selalu takjub
pada harmonisasi panorama senja yang perlahan memudar diiringi lengking nyaring
azan magrib membelah langit Kota Phuket yang sudah lama ia diami. Begitu damai.
Maka jiwanya bergetar dalam remang-remang perpaduan panorama senja dan azan.
Betapa tenteram.
Tristan,
lelaki dalam usia senjanya itu seolah disadarkan akan makna pencarian yang
telah lama ia lakukan. Telah tibakah ia di batas temu bahwa hidupnya bukanlah
sesuatu yang semu? Puluhan tahun ia mencari sesuatu yang bernama “temu” dengan
mengarungi lautan, terkadang sendirian, agar dahaganya akan temu itu
terpuaskan. Sebab ia seorang petualang, lebih tepatnya musafir yang memilih
jalur pelayaran sejak usianya 14 tahun sampai 68 tahun lalu, tak lelah
menuntaskan hasrat dan kecintaannya akan lautan dengan semangat berkobar-kobar,
mengenal selubung tipis keberanian dan ketakutan; sebagai sesuatu yang tak
terpuaskan!
Akan
tetapi, sekarang ia lelah. Lelah berlayar. Ia merasa kian lemah dalam ketuaan.
Waktu, siapa yang bisa menghentikan siklus kehidupan seseorang atau sesuatu
makhluk selain kematian. Dan Tristan merasa maut itu bukan lagi sesuatu yang
samar. Maka pada setiap kumandang azan -- dari subuh, siang, sore, magrib, dan
malam -- jiwanya selalu tergetar. Betapa harum untaian maut dalam hantaran azan.
Dan tiba-tiba ia berada di puncak ekstase kerinduan tak terpahamkan. Kerinduan
pada sesuatu yang abadi: TUHAN!
Sepanjang
hidupnya ia pernah berlayar sejauh 450.000 mil laut, 18 kali menyeberangi
Lautan Atlantik, 9 kali di antaranya seorang diri. Rekor yang luar biasa bagi
seorang lelaki pemberani sepertinya. Yang berlayar tanpa mengenal banyak jeda
demi kecintaannya akan lautan. Dari Samudra Arktik atau Kutub Utara yang
menggigilkan (meski ada petualang lain yang lebih “gila” mengarungi Kutub Utara
tersebut tanpa bantuan peralatan yang memadai seperti duet Ranulph Fiennes dan
Mike Stroud pada tahun 1988 yang sesama orang Inggris dan kalangan militer);
lalu laut yang paling rendah macam Laut Hitam, seolah Tuhan hendak menunjukkan
variasinya dalam mencipta lautan; sampai melayari danau yang paling tinggi di
Peru: Danau Titicaca. Semua itu telah ia arungi dengan gejolak pengalaman yang
beragam. Tujuh puluh negara telah ia kunjungi. Belasan judul buku yang ia tulis
sebagai monumen petualangannya, telah diterbitkan dalam 7 bahasa. Dari Wayward
Sailor, Incredible Voyage, Somewhere of East Suez, Ice, dan lain-lain.
Namun
sudah cukupkah semua petualangannya jika titik temu itu masih belum ia rengkuh?
Ia
gelisah. Menanti detik-detik azan yang seolah berabad-abad lamanya. Langit
masih terang menyulam warna senja. Magrib selalu mengingatkannya akan
metamorfosis kematian. Masa mudanya yang segar dan gemilang, sampai usia
senjanya yang renta dan suram. Kapankah seseorang datang dari seberang lautan,
sesama pelayar yang mengerti makna gelombang, membawa cahaya dan kabar gembira
mengenai agama penuh salam?
Ia
merindukan seseorang yang bisa menuntunnya memasuki relung azan dalam
peribadatan. Terlalu lama ia berada di luaran tanpa seseorang pun yang
mengajaknya memasuki pintu yang sudah lama ingin ia masuki: ISLAM!
Tristan
terisak. Dadanya serasa mampat.
Ia
mengingat masa-masanya yang telah lewat. Sisi kelam yang sempat menyinggahinya.
Sampai batas kesadaran akan soul searching, ‘pencarian jiwa’. Belum
terlambatkah ia? Ia berdoa dengan cara yang diyakininya, agar Tuhan tak
membiarkan sisa usianya dalam kesia-siaan. Ia menanti seorang tamu, tamu yang
bisa menuntunnya; bukan tamu-tamu yang biasa menemuinya, mengajak bercakap akan
hal-ihwal yang dulu membuatnya bersemangat namun kini dirasa kering dan
menjemukan.
Entah
mengapa ia menginginkan orang Indonesia. Ada memori tersendiri di hatinya.
Negeri itu bukanlah tempat asing baginya, begitu pun orang-orangnya. Ia pernah
tinggal cukup lama dan bergaul dengan mereka. Menyaksikan tata cara peribadatan
mereka yang beragama Islam. Sampai ucapan salam yang serupa doa. ‘Assalammualaikum’
dan ‘Waalaikummussalam’, begitu dalam perjumpaan di antara sesama
muslim, sesuatu yang membuatnya heran sebab adakalanya mereka tak saling kenal.
Ia terkesan pada keramahan dan silaturahim orang-orang Indonesia yang pernah
dikenalnya, juga pertolongan yang ikhlas diberikan kala ia diterjang berbagai
kesulitan dalam pelayarannya.
Akan
tetapi, ia menetap di Phuket, Thailand. Kota pantai yang indah dan dipenuhsesaki
oleh turisme sampai prostitusi. Menyepi di sebuah rumah berpemandangan ke arah
lautan; kiblat yang ia cintai. Dengan penjaga, dan anjing galak yang siap
menyalak demi keamanan dan privasi dari sekian gangguan tak diinginkan. Adakah
“kawan” Indonesia yang akan datang?
Sepi itu
kian menggumpal.
Matahari
perlahan karam seolah ditelan lautan.
Tiba-tiba
azan berkumandang.
***
HIDUP adalah
semacam pencarian. Itu yang diyakininya. Masa-masa muda telah lewat, kelebat
ingatan sesekali membawanya pada penyesalan. Ia bukan orang lurus, tak
sepenuhnya lurus. Namun ia ingin mencoba lurus.
Tristan
kini tak lebih dari seonggok daging tanpa kaki meluncur di atas kursi rodanya.
Bukan lagi lelaki pemberani yang bebas bergerak ke sana kemari dengan lincah
dan mandiri. Menantang maut di lautan berbagai benua mahaluas telah lama
dilakoninya. Akan tetapi, ia melakukannya bukan sebagai kesombongan lagi.
Setiap detik dalam pelayarannya kala diterjang badai, kesulitan, dan musibah
membuatnya begitu dekat dengan malaikat kematian. Dan ia mengenal gentar
sekaligus syukur kala semua usai, bahwa nyawa masih lekat dengan raga.
Sekaligus tanda tanya.
Namun
bukan berarti ia tak pernah mengenal masa-masa gelap dalam hidupnya. Lelaki
Inggris itu pernah tiga kali bertugas di Angkatan Laut negaranya demi
pengabdian. Tiga kali kapalnya ditembak dan ditenggelamkan torpedo kapal selam
Jerman. Ia terpaksa pensiun pada tahun 1952 karena luka yang dideritanya. Luka
itulah yang membuat pembuluh darahnya di kakinya tersumbat sehingga harus
diamputasi satu demi satu agar nyawanya tetap selamat.
Dan ia
tenggelam dalam kepedihan. Juga kemarahan. Butuh waktu lama agar bisa menerima
kenyataan dengan tegar. Berusaha melanjutkan kecintaannya pada lautan dengan
kembali berlayar. Cacat kakinya tak dirasa menghalangi meski ada keterbatasan
yang membuatnya harus tahu dan sadar kapasitas diri. Namun ia tidak kurang akal
untuk meyiasati. Ia telah menerima semua itu dengan keikhlasan total. Bahwa
semua digerakkan oleh Rencana Besar. Maka pelan-pelan ia bermetamorfosis untuk
mengenal siapa pengatur alam ini. Terlalu banyak kebesaran yang ia saksikan
dalam pelayaran.
Tidakkah
Tristan sadar dan haqqul yaqin akan kekuasaan Tuhan, juga dinul yang
ingin ia kenal lebih dalam. Dinul dari Tuhan dengan perantaraan seorang lelaki
dari tanah Arab bernama Nabi Muhammad. Agama yang berbeda dari agama-agama lain
yang dikenalnya sebab hanya menyembah Yang Satu.
Selama
ini ia berusaha mengenal Islam lewat bacaan. Beberapa di antaranya bernada
memojokkan. Namun itu tak berpengaruh, malah kian besar keinginannya untuk
memasuki agama tersebut. Karena itu ia menunggu seseorang dari seberang lautan.
Seseorang yang bisa memahami gejolak perasaannya agar ragu itu hilang.
Betapa
ironis, Thailand (atau Siam, mestinya) negeri yang mayoritas penduduknya
beragama Budha dihuni seseorang seperti Tristan Jones, orang asing yang ingin
jadi muslim.
***
LALU saat itu
tiba. Dua bulan sudah ia sengaja mengasingkan diri dari dunia luar dan tak
menerima tamu. Sepasang suami istri paruh baya mencoba mengunjunginya. Namun di
pintu gerbang terpampang pengumuman: “Tidak menerima tamu, kecuali dengan
perjanjian, telefon, atau teleks.”
Mereka
tidak menyerah. Kepada penjaga, lelaki paruh baya berambut perak dan berkulit
gelap terbakar matahari namun masih tegap itu memperkenalkan diri dan sang
istri sebagai Tuan dan Nyonya Ahadiat dari Indonesia. Mereka telah berlayar
sejauh 4.000 mil khusus untuk menemui Tuan Tristan Jones, serta memberi tahu di
mana kapalnya berlabuh. Menyerahkan kartu nama dan pesan akan kembali pukul
13.00. Lalu mereka pergi untuk suatu urusan.
Pada hari
kedatangan sepasang tamu itu, entah mengapa Tristan dihantam firasat yang
menggelisahkan. Ia sedang di ruangannya, menulis buku ketika kartu nama itu
segera diserahkan penjaga berikut pesan lisan sang tamu. Gemetar ia membaca
kartu itu dengan haru. Ia harus berbuat sesuatu.
“Tolong
segera sampaikan bungkusan ini kepada mereka.” Pesannya pada penjaga tersebut.
Dan ia
menunggu.
***
TERPANA Ahadiat
ketika menerima bungkusan itu di kapalnya. Sebuah buku The Venture Further
karya Tristan Jones berikut pesan di sampulnya: “Anda datang tepat waktunya.
Silakan datang.”
“Alhamdulillah,
kita diundang, Bu…,” ucapnya sarat perasaan, pada sang istri yang setia
menemani selama pelayaran dari pelabuhan Cirebon sampai Thailand, berdua saja
dengan kapal mereka yang diberi nama TRISTAN!
***
MAKA
pertemuan itu berlangsung juga. Penuh keharuan. Padahal sebelumnya mereka tidak
ada ikatan batin, semacam komunikasi lewat surat, misalnya. Namun mengapa
seolah bertemu saudara yang lama berpisah?
Bagi
Ahadiat, Tristan adalah guru dan inspirator, untuk ikut berlayar mengarungi
lautan. Terkadang ditemani istri saja, atau orang lain, atau cukup seorang
diri. Pelayaran panjang melelahkan dan mendebarkan itu terinspirasi dari kisah
petualangan Tristan yang ia anggap sebagai guru “jarak jauh”. Kapal mereka cuma
yacht mungil sederhana bermesin 12 PK dan sering rusak selama pelayaran
panjang penuh gelombang tak terduga.
Betapa
pertemuan dengan sang guru sudah lama Ahadiat nantikan.
“Terima
kasih telah datang,” Tristan dicekat keharuan sambil memeluk bahu Ahadiat.
Erat.
“Kamilah
yang berterima kasih bahwa Anda bersedia menerima kami.” Ahadiat tak kalah
haru, sementara sang istri hanya termangu.
Kemudian
mereka berbincang sambil duduk dan menikmati hidangan ringan. Tristan
mempersilakan kedua tamunya bercerita mengenai pengalaman pelayaran mereka.
Maka panjang lebarlah Ahadiat menceritakan romantika pelayarannya dari Cirebon,
Pulau Rakit di Ujung Indramayu, Toboali di Pulau Bangka, Kualatungkal, Tanjung
Balaikarimun, Kolong; memasuki wilayah Malaysia di Kukup, Muar, Malaka, Port
Dickson, Port Kelang, Lumut, Penang, Langkawi; lalu wilayah Thailand di
Terutao, Pakbara, Ko Liang, Ko Lanta Hyai, Krabi, dan berakhir di Phuket.
“Itu pelayaran
yang sangat jauh,” gumam Tristan kagum.
“Tidak
sebanding dengan apa yang telah Anda lakukan,” Ahadiat merendah. Bagaimanapun,
Tristan Jones adalah legenda di kalangan petualang laut. “Kami berencana untuk
membelah Terusan Suez kelak, jika pelayaran ini berjalan lancar.”
“Semoga
lancar.” Harap Tristan hangat dan simpatik. “Akan tetapi, adakah hal lain dan
khusus dari pelayaran Anda dari Cirebon ke sini? Ia masih haus akan cerita,
cerita yang lebih spiritual.
Sejenak
Ahadiat berpikir, matanya menerawang mengingat kilas balik pelayarannya.
“Rasanya banyak sekali, Tuan Tristan. Dari kerusakan mesin; kehilangan jangkar
karena diembus angin kencang; menabrak perahu motor ikan yang membuat kami
harus membayar ganti rugi sebesar 50 ringgit; tidak mudahnya menyusuri Pantai
Port Dickson karena banyak lumpur, sero, bagan, dan jaring penangkap ikan;
sampai diperlakukan sedikit keras oleh polisi Malaysia berkaitan dengan para
penyelundup asal Indonesia yang membawa rokok kretek ke wilayah mereka….” Ahadiat
berhenti sejenak. Ia capai dan haus bicara panjang lebar. Tristan
mempersilakannya mengambil minuman.
“Selain
kesulitan, adakah bantuan dan hal-hal baik yang Anda temui?” ia mendesak, entah
mengapa ia harus mendesak. Untung kedua tamunya tak menangkap nada desakannya.
“Oh, di
Pakbara kami sempat bertemu sepasang suami-istri nelayan yang beragama Islam.
Mereka sangat baik. Sempat menginap dan makan bersama di sana. Yang paling
mengesankan dari kehidupan nelayan mereka adalah suami-istri sama-sama melaut
untuk menjaring ikan. Jadi, tak ada istilah berantem karena hasilnya kecil,
beda dengan nelayan di Cirebon.” Nyonya Ahadiat ikut nimbrung. Tristan dan
Ahadiat sama tersenyum.
“Di
Krabi, saya sempat jadi imam waktu salat Isya.” Gumam Ahadiat dengan pandangan
mengawang. Betapa dalam kesempitan Allah masih melapangkan jalan, bahkan
mengenal silaturahim dengan sesama muslim di Thailand.
Sementara
itu Tristan terpaku di atas kursi rodanya. Keramahan orang-orang muslim di
Pakbara dan Krabi bukanlah hal asing baginya, namun ketika Ahadiat bercerita
bahwa ia menjadi imam salat, ada sesuatu yang menyejukkan masuk dalam relung
jiwanya. Tidak salah lagi, merekalah tamu yang ditunggunya. Namun ia harus
menegaskan sesuatu.
“Anda
muslim?” tanyanya ragu.
Ahadiat
dan istri saling berpandangan, tak mengerti arah pertanyaan Tristan.
“Ya, kami
muslim.” Ahadiat berusaha berbaik sangka. Bagaimanapun, ia dan istri adalah
tamu dari seorang guru yang dikaguminya. Dilihatnya Tristan memejamkan mata dan
menarik napas lega.
Tristan
merasa sekaranglah saatnya. Kepada kedua tamu itu ia mencetuskan keinginan yang
lama terpendam. Juga bahwa ia bertahun-tahun menunggu seseorang yang datang
dari seberang lautan. Bukan orang kulit putih atau Thailand, melainkan
Indonesia negeri yang pernah dicintainya, seseorang yang bisa diajak bicara dan
memahami perasaannya.
“Saya
bukan orang religius. Namun, andaikata saya beragama, saya akan masuk Islam.
Maukah Anda menolong saya?” Suara itu penuh pengharapan. Harapan terpendam yang
sarat getar.
Kembali
terpana Ahadiat dan istri mendengar pengakuan Sang Guru yang dikaguminya. Lalu
pecahlah tangis haru campur bahagia di antara mereka bertiga. Betapa panjang
jalan hidayah itu, dan betapa pertemuan mereka tak dinyana diatur-Nya untuk
membukakan pintu hidayah seorang calon muallaf yang hendak hijrah. Subhanallah….
Ya,
Tristan telah menanti mereka demi saat itu. Penantian tak sia-sia dalam
detik-detik sisa hidupnya agar tak berkubang penyesalan. Maka syahadat pun
bergetar di dalam Masjid Ban Kung Ti, di hadapan imam masjid dengan Ahadiat dan
istri sebagai saksi. Dua kalimat syahadat itu sebelumnya telah diajarkan
Ahadiat sang murid sebagai syarat utama masuk Islam. Begitulah sang guru dan
murid berbagi pemahaman dengan cara mereka masing-masing, ketika alur hidup pilihan
mempertemukan mereka dalam makna silaturahim. Selalu ada kehendak bebas yang
harus siap dipertanggungjawabkan ke hadirat sang khalik.
Langit
Phuket pun bergetar. Angin laut bertasbih lirih. Menjadi saksi bukti cinta
seorang hamba yang sekian lama mencari temu bagi rindu. Rindu pelaut akan
pelabuhan akhir dari pelayarannya mengarungi samudra kehidupan.
Dan
Tristan sadar sewaktu-waktu harus bersua dengan Yang Dirindukan, ingin
mewakafkan harta dan royalti menulisnya kepada Masjid Ban Kung Ti untuk menyantuni
anak cacat, yatim piatu, dan pendidikan agama.
Ahadiat
membantu menyampaikan maksud tersebut pada sang imam yang sama bersyukur. Pada
akhirnya ada yang ikut memakmurkan masjid ketika umat muslim menjadi minoritas
di suatu tempat yang sarat maksiat.
Maka
setiap senja menjelang Magrib, Tristan menanti azan dengan serbuk-serbuk
kebahagiaan. Pada akhirnya ia bisa memasuki relung azan dalam peribadatan.
Perahu sajadah pun terbentang dalam sembahyang. Jiwa Tristan tersungkur dalam
sujud penuh syukur. Bahwa ia telah diberi sapuan kehidupan yang kaya warna dan
tak karam dalam palung kesia-siaan.
***
NUN di
Bandung, sebuah buku One Hand for Yourself tanda mata Tristan yang
dipilih Ahadiat dan istri dari lemarinya, tersimpan rapi di rak buku mereka.
Tangan
Siapa lagi yang menggerakkan?***
Cipeujeuh,
7 Juli 2006
#Sumber
pustaka:
- Paragraf kedua yang miring dikutip dari kolom "Adakah yang Ingin Anda Ketahui", Majalah Intisari.
- Paragraf kedua yang miring dikutip dari kolom "Adakah yang Ingin Anda Ketahui", Majalah Intisari.
-
“Si Kakek Gila Kembali Berulah” karya Ahadiat
sebagai pengalamannya kala berlayar dari Cirebon menuju Malaysia dan Thailand. Intisari,
No. 355/XXX/Februari 1993.
-
Ada beberapa kalimat yang dikutip dari
artikel tersebut sesuai aslinya demi pertimbangan bahwa cerpen ini merupakan
pengembangan dari satu peristiwa, percampuran antara fiksi dan fakta. Semacam
epik.
Cerita yang sangat mendetail, dan menyentuh. Sebagai seorang muslim, tentunya akan bahagia bila bertambah saudara semuslim. Bapak Ahadiat sungguh beruntung bisa menjadi guru rohani bagi idolanya sendiri.
BalasHapusYa, alhamdulillah, Tristan Jones beroleh hidayah sebagai muslim. Sayang beliau sudah lama tiada. Dan blog mengenainya cuma satu. Dulu pernah ada blog yang khusus bahas mengenai Tristan Jones dan pembacanya bisa berkomunikasi. Sekarang tidak ada lagi. Saya harap semoga suatu saat kelak bisa baca karya-karya beliau. Sayang bukunya tidak diterjemahkan di sini.
HapusAdakah keturunan Bapak Ahadiat yang baca tulisan saya? :) Saya mengagumi beliau juga.
Sayang sekali saya juga tak tahu adakah keturunan beliau soalnya saya cuma menulis berdasarkan artikel Bapak Ahadiat di majalah "Intisari". Semoga saja keturunan beliau baca tulisan ini.
HapusSayang Anda tidak menyertakan nama dan alamat agar keturunan keluarga beliau bisa menghubungi. Saya juga tak tahu bagaimana kabar beliau setelah sekian lama.
Keren, rekor luar biasa banget. Mengenai saya yang belum bisa berenang ini :( Ingin rasanya merasakan berlayar dilaut gitu..
BalasHapusEndingnya saya suka-suka. Phuket, jadi teringat beberapa minggu yang lalu nulis wisata phuket. Memang apik banget pemandangan pantainya. Beruntung bisa tinggal disana.
Aku merasa bahagia, ketika bertambah saudara seiman. Ini tulisan sengaja aku jadikan penghujung BW di BE. Sembari santai, baca ini. Serasa baca sebua novel dalam buku, ingin rasanya melanjutkannya. Penasarana akan kelanjutannya, Teh..hehe. Apakah akan ada kelanjutannya..
Saya juga gak bisa berenang dan pengen bisa berlayar, hehe.
HapusYa, Tristan Jones punya alasan mengapa memilih Phuket. Barangkali Inggris terlalu dingin jadi lebih suka yang tropis. Semoga suatu saat kelak Andi juga bisa berlayar dan mengembarai Phuket. Masukin dalam daftar list impian.
Duh, kalau lanjutin ini saya tak bisa. Tak punya sumber referensi lainnya tentang Tristan Jones. Maaf. Makasih telah apresiasi. :)
Kalau mau, di luar sana ada banyak buku karya beliau. Sayang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Nyata sekali. Tristan Jones yg terasa benar2 ada di dalam bayangan saya, dia sedang melakukan pelayaran demi mencari jari dirinya. Saya paling suka bagian dia menunggu waktu azan maghrib.
BalasHapusTeduh sekali rasanya. Saya nunggu azan maghrib aja cuma pas puasa. Terima kasih diingatkankembali pada sang Pencipta.
Endingnya pun epic, kak. Semoga bisa terus menulis cerita lagi. ❤️❤️❤️❤️❤️
Makasih apresiasinya Zakia. Tapi buku-buku karya Tristan lebih epic. :)
HapusWah, saya malah sangat merindukan bunyi azan lagi. Kerinduan itu malah tertuang dalam cerpen.
Ya, sama-sama. Saya juga ingin selalu ingat dan tak khilaf. :)
Keberanian yang dibungkus dalam pertanyaan. Hingga akhirnya dia tersadar bahwa ada sesuatu yang lemah dibalik keberaniannya.
BalasHapusSaya tenggelam dalam kata-katanya yang puitis. Salam kenal
Ya, kita mencari sesuatu karena ada pertanyaan besar paling mendasar.
HapusTerima kasih, salam kena juga.
Strong kali nih Tristan, seorang mantan angkatan perang Inggris yang mengagumi agama Islam. Endingnya uh puitis sekali
BalasHapusBagus sekali ya cerpennya. Salam kenal mba
Ada banyak insan yang beroleh hidayah dengan beragam cara. Tapi ngebayangin gimana ia melayari lautan luas, waduh, gak kebayang karena lom baca bukunya.
HapusMakasih apresiasinya.
Ada rasa haru yang membuat mata berkaca-kaca mbak dari cerpen ini. Suka sekali dengan cara mbak menulisnya, nggak bosen dibaca dan sederhana.
BalasHapusKisah pencarian yang bisa dibilang dialami oleh semua orang, dan akupun mengalaminya. Namun berbeda dari Tristan, alhamdulillah aku lahir dari keluarga yang telah mengenal Islam, setidaknya tinggal aku yang terus memperdalam dan menggali ilmu serta banyak kebaikan atas Islam
Terima kasih, Pit. Kita adalah insan pencari. Ada banyak insan pencari yang pada akhirnya beroleh hidayah karena Allah telah mengatur perantara. Seperti pada Tristan
HapusSemoga kita senantiasa beroleh keberkahan agar tak lepas hidayah. Aamiin. :)
Gak tahu kenapa kayak pernah denger nama Tristan, eh, gak taunya setelah diinget-inget itu kayak nama di sinetron Ganteng-Ganteng Serigalak wkwk.
BalasHapusCerpennya bagus sekali. Tapi, bahasanya cukup baku jadi ada beberapa yang aku bingung hehe. :)
Hehehe, ada banak nama Tristan. Tristan 'kan nama asli asal orang Barat. Film Legends of the Fall juga ada tokoh Tristan Ludlow.
HapusMakasih apresiasinya, soal baku yah moga gak kaku. Soal yang bingungin mungkin karena prosanya cenderung bertutur dengan permainan rima. Jadi rada nyastra.