Jumat, 05 Januari 2018

Menimbulkan Kata



Oleh Rohyati Sofjan


SUATU kata yang kerap pemakaiannya dalam masyarakat merupakan kata populer. Kata demikian, tak peduli apakah berasal dari serapan asing atau daerah, seolah telah mewakili identitas penutur bahasa yang berstrata.
Pamper, misalnya, yang merupakan merek diaper  bayi telah masuk KBBI edisi keempat. Hanya karena merupakan produk yang pertama populer (sama halnya dengan odol yang merupakan merek pasta gigi), kekerapan pemakaiannya mau tak mau menggeser popok. Barangkali karena pamper dianggap lebih praktis daripada menyebut popok kertas sekali pakai.
Selain popok ada lampin sebagai padanannya, namun lampin dalam KBBI bermakna kain alas bayi. Sedang untuk yang bukan dari bahan kain harus disebut apakah namanya?
Bahasa, mau tak mau, mengikuti arus besar perubahan dalam masyarakat penuturnya. Modernisasi yang disokong industrilisasi telah mengubah bahasa masyarakat, terutama di perkotaan, dalam kosakata yang dianggap simpel dan mewakili. Alhasil, pemakai popok kertas sekali pakai lebih memilih menggunakan pamper untuk merujuk diaper merek apa pun.
Dalam diskusi seru yang panjang utasnya di group Facebook  Ibu-ibu Doyan Nulis, Anna Farida, sang juru gawang EYD Hari ini mengawali diskusi dengan menemukan kata baru: tergemap!
Dalam KBBI gemap, tergemap berarti [v] tercengang; tertegun; kaget dan bingung. Lema itu boleh jadi merupakan kata yang tenggelam karena sudah ada padanan lain. Namun masih banyak kata yang perlu dan harus ditimbulkan dari ketenggelamannya dalam jutaan lema KBBI sendiri. Kata yang diperuntukkan sebagai padanan istilah asing.
Calir, misalnya, merupakan sediaan air di kosmetik untuk produk yang mengandung bahan dasar air atau berbentuk cair. Seperti calir bibir, calir raga, calir cukur, calir antinyamuk. Maka alangkah baiknya jika kita bisa menimbulkan kata tersebut dari dasar timbunan  kata terpendam agar bahasa Indonesia yang sebenarnya kaya ragam dan warna tidak dimiskinkan penggunaan kosakatanya.
Ada yang ironis, barangkali  benar juga ucapan Remy Sylado, “Hanya penyairlah dalam puisi yang sekarang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahkan pejabat negara pun bahasa Indonesianya tidak atau kurang baik karena sok nginggris.”
Maka seorang  kawan, Ujianto Sadewa, yang memberi tahu soal pernyataan Remy pada saya pun konsisten berpuisi, menggali khasanah bahasa Indonesia yang unik dan jarang dipakai padahal berterima. Tak peduli apakah karyanya yang mengekplorasi bahasa terpendam tersebut diterima media atau pembaca. Dan dengan bahagia ia memilih judul “Ganda Rasa Pramusiwi”.
Ganda rasa berarti rasa sedap yang ditimbulkan oleh makanan, kata tersebut merupakan makhluk langka. Dan Ujianto Sadewa mengikuti jejak segelintir penyair untuk terus menggali demi majas sinestesia yang diinginkannya.
Sinestesia dalam KBBI: metafora berupa ungkapan bersangkutan dengan indria yang dipakai untuk objek atau konsep tertentu, biasanya disangkutkan dengan indria lain. Misal, sayur itu pedas, untuk kata-kata yang sangat pedas.
Untuk pramusiwi, orang lebih suka menyebutnya baby sitter. Di sinilah tugas kita sebenarnya agar masyarakat mengenal jati diri bahasanya sebagai bagian dari kesadaran berbangsa.
Puisi, karena sifatnya yang leluasa dalam mendedah alur pikir dan rasa, membuat penyair tertantang menggali momen puitik mereka dari timbunan kata arkais atau sinonim yang jarang dipakai namun dirasa mewakili. Upaya demikian merupakan pencarian bentuk puitika mereka, sekaligus menguntungkan khasanah sastra Indonesia.
Selain puisi, prosa pun .***
Cipeujeuh, 22 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D