Oleh Rohyati Sofjan
SUATU kata yang kerap
pemakaiannya dalam masyarakat merupakan kata populer. Kata demikian, tak peduli
apakah berasal dari serapan asing atau daerah, seolah telah mewakili identitas
penutur bahasa yang berstrata.
Pamper,
misalnya, yang merupakan merek diaper bayi telah masuk KBBI edisi keempat. Hanya
karena merupakan produk yang pertama populer (sama halnya dengan odol yang
merupakan merek pasta gigi), kekerapan pemakaiannya mau tak mau menggeser
popok. Barangkali karena pamper dianggap lebih praktis daripada menyebut popok
kertas sekali pakai.
Selain
popok ada lampin sebagai padanannya, namun lampin dalam KBBI bermakna kain alas
bayi. Sedang untuk yang bukan dari bahan kain harus disebut apakah namanya?
Bahasa,
mau tak mau, mengikuti arus besar perubahan dalam masyarakat penuturnya.
Modernisasi yang disokong industrilisasi telah mengubah bahasa masyarakat,
terutama di perkotaan, dalam kosakata yang dianggap simpel dan mewakili.
Alhasil, pemakai popok kertas sekali pakai lebih memilih menggunakan pamper
untuk merujuk diaper merek apa pun.
Dalam
diskusi seru yang panjang utasnya di group Facebook
Ibu-ibu Doyan Nulis, Anna Farida,
sang juru gawang EYD Hari ini mengawali diskusi dengan menemukan kata baru:
tergemap!
Dalam
KBBI gemap, tergemap berarti [v] tercengang; tertegun; kaget dan bingung. Lema
itu boleh jadi merupakan kata yang tenggelam karena sudah ada padanan lain.
Namun masih banyak kata yang perlu dan harus ditimbulkan dari ketenggelamannya
dalam jutaan lema KBBI sendiri. Kata yang diperuntukkan sebagai padanan istilah
asing.
Calir,
misalnya, merupakan sediaan air di kosmetik untuk produk yang mengandung bahan
dasar air atau berbentuk cair. Seperti calir bibir, calir raga, calir cukur,
calir antinyamuk. Maka alangkah baiknya jika kita bisa menimbulkan kata
tersebut dari dasar timbunan kata
terpendam agar bahasa Indonesia yang sebenarnya kaya ragam dan warna tidak
dimiskinkan penggunaan kosakatanya.
Ada
yang ironis, barangkali benar juga
ucapan Remy Sylado, “Hanya penyairlah dalam puisi yang
sekarang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahkan pejabat
negara pun bahasa Indonesianya tidak atau kurang baik karena sok nginggris.”
Maka seorang kawan, Ujianto Sadewa, yang memberi tahu soal pernyataan
Remy pada saya pun konsisten berpuisi, menggali khasanah bahasa Indonesia yang
unik dan jarang dipakai padahal berterima. Tak peduli apakah karyanya yang
mengekplorasi bahasa terpendam tersebut diterima media atau pembaca. Dan dengan
bahagia ia memilih judul “Ganda Rasa Pramusiwi”.
Ganda rasa berarti rasa
sedap yang ditimbulkan oleh makanan, kata tersebut merupakan makhluk langka.
Dan Ujianto Sadewa mengikuti jejak segelintir penyair untuk terus menggali demi
majas sinestesia yang diinginkannya.
Sinestesia
dalam KBBI: metafora berupa ungkapan bersangkutan dengan indria yang dipakai
untuk objek atau konsep tertentu, biasanya disangkutkan dengan indria lain.
Misal, sayur itu pedas, untuk
kata-kata yang sangat pedas.
Untuk
pramusiwi, orang lebih suka menyebutnya baby
sitter. Di sinilah tugas kita sebenarnya agar masyarakat mengenal jati diri
bahasanya sebagai bagian dari kesadaran berbangsa.
Puisi,
karena sifatnya yang leluasa dalam mendedah alur pikir dan rasa, membuat
penyair tertantang menggali momen puitik mereka dari timbunan kata arkais atau
sinonim yang jarang dipakai namun dirasa mewakili. Upaya demikian merupakan
pencarian bentuk puitika mereka, sekaligus menguntungkan khasanah sastra
Indonesia.
Selain
puisi, prosa pun .***
Cipeujeuh, 22 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D