Oleh Rohyati Sofjan
AKU mengenal Pak
Joko sebagai tetangga yang baik. Ia jualan mie tek-tek di halaman rumahnya dari
sore sampai malam. Ibu bilang Pak Joko tidak jualan keliling karena cape.
Kadang-kadang aku beli mie tek-teknya, entah rebus atau goreng, rasanya enak.
Selain mie biasa, Pak Joko juga melayani pembeli yang ingin mie tek-tek goreng
campur nasi yang dibawanya sendiri. Tapi biasanya aku lebih suka mie tek-tek
yang direbus, kuahnya berasa nikmat dengan taburan ayam, bawang goreng, dan
merica bubuk.
Pak Joko gendut, perutnya buncit seperti ibu-ibu hamil.
Sosoknya juga besar. Mungkin karena obesitasnya itu ia tak kuat jualan
keliling, padahal aku yakin ia bisa lebih makmur jika jualan mienya ngider,
soalnya meski ada yang beli tapi tak sampai laris manis. Paling tetangga
sekitar sampai RW lain di gang kami.
Suatu pagi, aku lewat depan rumah Pak Joko, sekalian
hendak main dengan Mia anaknya yang sebayaku. Ini Minggu pagi yang
menyenangkan, dan aku heran melihat teman-temanku sedang merubung di depan
rumah Pak Joko. O, ternyata Pak Joko ngewarung kecil-kecilan di atas meja yang
biasa digunakan sebagai tempat memotong kol untuk mie tek-teknya.
Mia tak kulihat. Teman-temanku asyik jajan. Ada banyak
jajanan. Pisang goreng, bala-bala, gehu pedas, cireng, cilok, basreng, kerupuk,
makaroni goreng, juga sirop selain minuman dingin. Dan jenis jajanan lainnya
yang tak kuperhatikan, yang jelas tak sebanyak warung Ceu Asih. Tapi sepertinya
Pak Joko ingin meningkatkan taraf hidupnya agar lebih baik.
Pak Joko menyambutku hangat. “Ayo, mau jajan apa, Ika?”
Aku bengong. “Mia ada?” Aku sungguh tak berpikir untuk
jajan, sebelumnya.
“Mia lagi keluar, nanti akan kembali. Mau jajan? Ayo,
jangan sungkan!” kata Pak Joko ramah.
Aku mendekati meja Pak Joko dan tersenyum. Kulihat Heri
sedang asyik menyedot limun dari stick-nya, itu buat es yang belum
dibekukan. Pak Joko tak punya kulkas seperti warung Ceu Asih yang lebih
lengkap.
“Mau?” tawar Heri. Aku menggeleng. Ia lebih kecil
daripadaku tapi kukenal sebagai anak yang tak pelit berbagi hingga Heri disukai
kami.
“Ini limun Jepang,” kata Heri sambil menunjuk limunnya
yang berwarna kuning dan masih terisi separuh. Aku tertawa. Pagi-pagi aku tak
ingin minum limun seperti Heri dan anak lelaki lainnya, aku memilih gehu pedas
gopean satu dan membayarnya. Aku duduk di samping Heri sambil mengunyah gehuku
setelah sebelumnya menawarkan pada yang lain.
“Kenapa kamu tadi bilang limun Jepang segala, Ri?”
tanyaku iseng.
“Tanya Pak Joko, tuh.” Heri malah menunjuk Pak Joko yang menoleh
ke arah kami. Pak Joko mengacungkan jempol, lalu mengambil bungkusan isi limun
yang berwarna-warni.
“Yang kuning negara Cina, hijau Amerika, oranye Belanda,
ungu Jerman, putih Jepang, merah Indonesia.” Kata Pak Joko lucu. Kami semua tertawa.
Diam-diam aku kagum pada Pak Joko, ia kaya imajinasi,
mengibaratkan limun sebagai “negaranya”. Sebagai pedagang ia rupanya kreatif,
mencoba melengkapi kekurangan dengan keramahan dan obrolan menyenangkan agar
kami betah jajan di sana.
Omong-omong, mengapa merah harus Indonesia?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D