Jumat, 05 Januari 2018

Negara Limun




Oleh Rohyati Sofjan


AKU mengenal Pak Joko sebagai tetangga yang baik. Ia jualan mie tek-tek di halaman rumahnya dari sore sampai malam. Ibu bilang Pak Joko tidak jualan keliling karena cape. Kadang-kadang aku beli mie tek-teknya, entah rebus atau goreng, rasanya enak. Selain mie biasa, Pak Joko juga melayani pembeli yang ingin mie tek-tek goreng campur nasi yang dibawanya sendiri. Tapi biasanya aku lebih suka mie tek-tek yang direbus, kuahnya berasa nikmat dengan taburan ayam, bawang goreng, dan merica bubuk.
Pak Joko gendut, perutnya buncit seperti ibu-ibu hamil. Sosoknya juga besar. Mungkin karena obesitasnya itu ia tak kuat jualan keliling, padahal aku yakin ia bisa lebih makmur jika jualan mienya ngider, soalnya meski ada yang beli tapi tak sampai laris manis. Paling tetangga sekitar sampai RW lain di gang kami.
Suatu pagi, aku lewat depan rumah Pak Joko, sekalian hendak main dengan Mia anaknya yang sebayaku. Ini Minggu pagi yang menyenangkan, dan aku heran melihat teman-temanku sedang merubung di depan rumah Pak Joko. O, ternyata Pak Joko ngewarung kecil-kecilan di atas meja yang biasa digunakan sebagai tempat memotong kol untuk mie tek-teknya.
Mia tak kulihat. Teman-temanku asyik jajan. Ada banyak jajanan. Pisang goreng, bala-bala, gehu pedas, cireng, cilok, basreng, kerupuk, makaroni goreng, juga sirop selain minuman dingin. Dan jenis jajanan lainnya yang tak kuperhatikan, yang jelas tak sebanyak warung Ceu Asih. Tapi sepertinya Pak Joko ingin meningkatkan taraf hidupnya agar lebih baik.
Pak Joko menyambutku hangat. “Ayo, mau jajan apa, Ika?”
Aku bengong. “Mia ada?” Aku sungguh tak berpikir untuk jajan, sebelumnya.
“Mia lagi keluar, nanti akan kembali. Mau jajan? Ayo, jangan sungkan!” kata Pak Joko ramah.
Aku mendekati meja Pak Joko dan tersenyum. Kulihat Heri sedang asyik menyedot limun dari stick-nya, itu buat es yang belum dibekukan. Pak Joko tak punya kulkas seperti warung Ceu Asih yang lebih lengkap.
“Mau?” tawar Heri. Aku menggeleng. Ia lebih kecil daripadaku tapi kukenal sebagai anak yang tak pelit berbagi hingga Heri disukai kami.
“Ini limun Jepang,” kata Heri sambil menunjuk limunnya yang berwarna kuning dan masih terisi separuh. Aku tertawa. Pagi-pagi aku tak ingin minum limun seperti Heri dan anak lelaki lainnya, aku memilih gehu pedas gopean satu dan membayarnya. Aku duduk di samping Heri sambil mengunyah gehuku setelah sebelumnya menawarkan pada yang lain.
“Kenapa kamu tadi bilang limun Jepang segala, Ri?” tanyaku iseng.
“Tanya Pak Joko, tuh.” Heri malah menunjuk Pak Joko yang menoleh ke arah kami. Pak Joko mengacungkan jempol, lalu mengambil bungkusan isi limun yang berwarna-warni.
“Yang kuning negara Cina, hijau Amerika, oranye Belanda, ungu Jerman, putih Jepang, merah Indonesia.” Kata Pak Joko lucu. Kami semua tertawa.
Diam-diam aku kagum pada Pak Joko, ia kaya imajinasi, mengibaratkan limun sebagai “negaranya”. Sebagai pedagang ia rupanya kreatif, mencoba melengkapi kekurangan dengan keramahan dan obrolan menyenangkan agar kami betah jajan di sana.
Omong-omong, mengapa merah harus Indonesia?***

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D