Oleh Rohyati Sofjan
KENAPA, sih, kamu junkie?
Pertama kali aku melihatmu di acara opsek kala kita
sama-sama dipelonco para senior yang sok itu, aku tak punya bayangan siapa kamu
sebenarnya selain anak culun yang
sering dihukum ke depan kelas karena (sengaja) bikin ulah melulu.
Saking
seringnya kamu setor muka, entah untuk menyanyi atau push up, aku lebih
hafal sosokmu di antara puluhan anak lain.
Tinggi, kurus, kulit kuning, mata sipit dan
berkesan rada oriental, alis melengkung tebal, dahi lebar, muka lonjong
jerawatan, ada tahi lalat sebesar kismis di tulang pipi kirimu yang tirus,
rambut lurus belah tengah yang tebal, sudah pakai seragam putih-abu dibanding
kami yang masih putih biru, dan ransel jelekmu Alpina merah marun melulu.
Kamu tak tampak keren meski seragammu rapi, namun
kamu juga tak jelek-jelek amat. Aku belum tahu siapa nama aslimu. Tak ada
urusan untuk kenalan dengan anak lain di kelas perpeloncoanku, aku hanya kenal
beberapa. Kamu duduknya di baris kiri ke empat paling belakang, aku baris kanan
pertama paling depan. Jadi kita jauh.
Lagi pula, kita terlalu sibuk dibebani tugas konyol
para senior yang over acting main bentak. Semisal bawa pisang satu
sisir. Dasar lugu, aku beneran bawa
sesisir pisang, padahal kalkulasi mereka cuma sebatang pisang plus sisir rambut
doang. Huh, untung aku tak dihukum
jadi monyet dadakan dengan menghabiskan itu semua!
Sebagai cewek
aku masih mujur dibanding kamu. Cuma sekali nyaris koit gara-gara tugas surat cinta yang kutulis untuk seorang senior.
Suratku rupanya sangat mengena sebab anak kelas dua itu membawanya ke depan dan
nyaris saja harus kubacakan kalau tak ada campur tangan Pak Kuswendi, Wakasek
yang kenal siapa aku.
Ah,
siapakah aku? Hanya alien nyasar yang kebetulan kedua telinganya tak berfungsi
dan nekat berjibaku di sekolah umum tanpa pernah memakai alat bantu dengar.
Sesuatu yang sudah kujalani sejak SD sampai SMP.
Kamu
pasti tak sangka akan mengenalku, sebagaimana aku tak sangka akan sekelas
denganmu lagi di I-3. Bulan pertama aku tetap tak tahu siapa namamu sampai pada
suatu hari harus membagikan kartu SPP lain yang kuterima bareng kartuku.
“Siapa Abdul Yazid?” tanyaku pada Ai Nurrohmah di
luar kelas sambil melihat deretan angka lunas SPP selama 6 bulan. Pasti anak tajir.
“Ada di dalam, tuh,” tunjuk Ai.
Aku masuk kelas dan menghampiri sekumpulan cowok duduk ngerumpi di bangku mereka.
“Yang mana Abdul Yazid?” seruku sambil melambaikan
kartu SPP. Tak dinyana kamu menghampiriku, aku agak kaget dan gugup. “Punyamu?”
“Terima kasih,” kamu bilang sambil mengangguk
dengan kepala agak merunduk pada kartu itu. (Kelak aku akan suka gayamu,
tinggiku cuma sampai bahumu.)
Huh, perkenalan kita tampaknya harus dengan cara
itu. Setidaknya aku jadi tahu namamu. Namun kita tetap jauh. Aku duduk seperti
dulu, di baris kanan pertama bangku paling depan, dan kamu baris kiri ke empat
bangku paling belakang.
Waktu itu kamu, sebagaimana kebanyakan anak lain, tak
tahu aku tuli. Tahunya kala aku bertugas mencatat pelajaran di papan tulis dan tak
dengar pertanyaanmu sampai Ai tampil ke depan untuk menjelaskan perihalku. Aku tak
nyaman. Kamu dan yang lain tercengang, namun sorot matamu kurasakan semacam
pemakluman yang menyenangkan.
Kala ada jeda setelah pelajaran tadi usai, aku
sedang menyalin hasil catatan tadi dari buku Ai di bangkuku dan Ai entah ke
mana, tahu-tahu kamu sudah duduk di sampingku.
Aku kaget. Spontan menjerit, “Ha!” Lalu mengusirmu
dari bangku, padahal kamu cuma bilang hai saja. Kamu bengong, namun senyummu tak
hilang, malah cengar-cengir sebab semua perhatian tertuju pada kita.
Napa aku norak
gitu?! Malu-maluin saja, ‘kali bikin kamu malu juga! Lalu kamu terpaksa
pindah ke bangku belakang bareng Tati dan Kokom karena aku terus mendorongmu
dari bangku, “Sana, sana. Aduh, jangan di sini!” selama entah berapa menit
sebab kamu sempat bergeming.
Akibatnya hampir semua anak menertawakan kita,
lebih tepatnya menertawakanku yang panik abis.
Anehnya, tak tampak raut ketersinggungan di wajahmu. Kamu cuma cengengesan,
ganti menggoda Kokom dan Tati untuk kenalan sambil ngeliatinku. Aku malah rada cembokat
dan menyesal.
Ada apa denganku? Bego! Aku ngeper didekati cowok
yang menarik perhatianku! Padahal pada kawan cowok lain aku tak mokal menyapa mereka yang dikenal.
Setelah insiden itu kupikir kamu akan antipati,
sebaliknya aku malah lupa bagaimana mulanya kita jadi dekat sebagaimana aku
lupa bagaimana permulaan kedekatan pada
anak lain. Yang jelas kamu selalu menyapaku, “Hai,” dengan ekspresi dan
lambaian konyol yang lama-lama kusukai.
“Abu, besok Minggu pagi jam 8 ikut karate di
sekolah, ya? Nggak bayar kok,” ajakku kala duduk di sado yang
belum berangkat di Pasar Limbangan; dan kamu, dengan tampang konyolmu,
menaikkan sebelah kaki sambil merentangkan kedua lenganmu di tiang sado seolah ingin
ikut namun tak berani minta (apalagi aku tak berani mengajak mengingat bokapku yang streng!).
Kamu cengengesan, lalu menggeleng kuat-kuat
sehingga poni di rambutmu menutupi mata. Aku merengut kesal sekaligus salting. Aku ingin kamu ikut karate
juga. Paling tidak, bisa ketemu terus dari Senin sampai Minggu. Dan itu ajakan
ke sekianku.
Waktu itu bubar sekolah dan kita beda jurusan
pulang. Aku ke Timur naik sado, lalu disambung ke kampungku di Utara naik mobil
omprengan, yang suka mengangkut kambing, jenis colt bak terbuka dengan
bangku panjang di kedua sisinya dan atap terpal berangka besi tempat nongkrong
anak cowok.
Kamu ke Selatan naik mobil omprengan juga,
barangkali sama mengangkuti kambing selain manusia dan harus belajar
gelantungan ramai-ramai di belakang atau nongkrong di atap. Benar-benar suasana
lazim khas kampung.
Kamu anak Jakarta dengan logat Betawi. Anak
terakhir yang tak dibebani hal macam-macam selain belajar, namun dijeblosin ortu untuk mondok di pesantren daerah Cibiuk, nyambi belajar di sekolah swasta SMU Al Fatah. Ada banyak budak bangor lainnya yang kayak kamu di sekolahku, kebanyakan berasal dari keluarga kaya
namun sengaja diberi bekal pas-pasan sehingga tak sekeren anak kota.
Kamu sama sekali tak kayak santri, penampilanmu malah nge-grunge. Darimu aku kenal
dan suka (teks) lagu Green Day yang urakan. Betapa bedanya kita dan kawan-kawan
dengan remaja sekarang di Limbangan. Banyak yang bisa tampil keren sembari
menenteng ponsel. Gaya kita cenderung back to ‘70’s dan bersahaja. Itu
tahun 1994 sampai 1997.
Kita sering pulang bareng. Kadang duduk bareng di
bangku paling belakang sejak kamu pindah ke barisanku. Setidaknya sampai kelas
dua (sebab di kelas tiga aku sengaja cari suasana untuk pindah ke Sos Dua).
Berbagi banyak hal, dari kecengan
sampai jerawat yang menyebalkan, sampai hal-hal yang kadang tak terpahamkan.
Sebagian anak bahkan guru diam-diam atau
terang-terangan menuduh kita pacaran, dan aku sering ngeles bahkan di hadapanmu tanpa beban. Begitu terus sampai kelas
tiga juga, kala jam istirahat kita sedang duduk di koridor ngomongin cewek kelas dua
yang menurutmu cakep, dan menurutku punya rambut panjang yang bagus di balik
kerudungnya. Namun lucunya kamu tak berani mendekatinya kala aku tanya kapan
jadiannya.
Lalu Pak Didin, guru Akuntansi, lewat sambil
meledek, “Bobogohan, haha…!”
Ha! Yang benar saja.
“Bukan, Pak!”
seruku sambil berdiri. Namun Pak Didin malah meneruskan tawanya.
Kamu cuma diam. Terang beliau menyangka kita
pacaran gara-gara duduk ngedempet gitu. Aku tak sadar bahwa hal itu
“terlarang”, contoh buruk dari senior yang ogah jadi siswa teladan.
Entah siapa yang lebih dulu ngedempet, kamu atau aku, tak kepikiran.
Kita biasa duduk cara itu dengan siapa saja. Cuma denganmu aku merasa nyaman
dan tak berjarak. Kamu sama sekali tak mengubah posisimu setelah ledekan itu,
dan aku terpaksa duduk cara semula.
Namun waktu itu aku sedang sibuk naksir cowok lain
di kelas sebelah yang sama ikut karate, cowok yang itu-itu juga sejak pertama
kali melihatnya kala opsek, lebih dulu dari kamu. Lalu kamu malah yakin naksir
cewek yang itu-itu juga, Sophie sahabatku, entah mengapa ataukah semacam cara
agar tetap dekat denganku, padahal aku tak pernah menghalangimu dengan siapa saja
meski rasa cembokat itu ada.
Mengapa kita tak pacaran saja? Toh, cowok yang kutaksir
dan sampai sekarang kuyakini sebagai subjek cinta platonis jilid IV,
gonta-ganti cewek melulu tanpa pernah
akrab denganku. Sophie malah pacaran dengan cowok
lain.
Entahlah, aku tak tahu apa mauku. Aku menyayangimu
namun takut untuk “mengikatmu”. Kamu juga tak tegas menyatakan perasaan selain
menjalani kebersamaan, atau kamu takut ditolak lalu kita renggang? (Aku juga
takut ditolak!)
Lagi pula, aku tak tahu apa fungsi utama pacaran
karena takut kebablasan. Bagiku lebih nyaman berkawan, bisa dekat secara apa
adanya dan tak uring-uringan. Atau sifat introferku yang menghalangi? Ada
banyak segi yang kututupi, sebagaimana ada segi lain hidupmu yang tak kamu
bagi.
Namun kamu junkie.
Itu segi yang kamu bagi kala kelas dua kita
berbincang lewat tulisan di bangku belakang. Alasanmu cuma ikut-ikutan kawan ngeganja sejak kelas 6 SD dan sampai
sekarang masih pakai meski jarang.
Aku kecewa namun tak berhak menghakimi. Aku terlalu
menyayangimu dan menunjukkannya dalam bentuk empati. Tak bisa blak-blakan
karena takut bikin kita renggang. Atau perasaanku saja yang berlebihan?
Perasaan yang mungkin membuatmu ragu untuk menjadikanku pacarmu karena sama
nyamannya untuk berkawan? Meski kalau jalan bareng kamu suka menggandeng bahuku
sampai pernah kutepiskan karena di depan ibu-ibu yang melintasi lapangan dan
pandangannya gimana gitu.
Kamu sering madol.
Begitu seringnya sampai bikin Kosasih sang KM uring-uringan bin pusing kala
mengabsen. Aku terpaksa duduk di bangku semula bareng Ai. Itu hanya permulaan,
aku lupa persis kapan kamu mulai berubah. Kalaupun masuk kelas kamu selalu
tampak sakit dan itu membuatku cemas. (Bertahun kemudian aku tahu sakitmu tanda
sakau!)
“Ada apa dengan lo?
Udah ke dokter?” kusentuh kening dan
lehermu yang demam.
Kamu menggumamkan sesuatu yang tak kupahami, lantas
menenggelamkan kepalamu ke dalam lengan yang disilangkan di bangku. Aku heran bagaimana
orang sakit tak sembuh-sembuh juga, sampai berhari-hari, malah kumat melulu.
Kalau sudah demikian, aku suka membagi Vitacimun-ku. (Aku sering berbagi permen
itu denganmu sampai kelas tiga juga.)
Aku marah jika kamu lebih sering absen daripadaku,
demi madol atau ngabur pada jam pelajaran tertentu. Catatanmu lebih sering tak
lengkap. Bahkan aku tak bisa “mencontek” tulisanmu jika guru mendiktekan pelajaran
sebab kamu sering ogah mencatat.
Pada akhirnya kita dilarang duduk sebangku oleh
guru mapel Agama. Alasannya haram sebab bukan mahram. Aku kecewa. Pindah duduk
bareng Sophie. Namun pada jam pelajaran lain jika aku merasa terganggu karena
harus duduk bertiga sejak Rini ikut duduk bareng, aku kembali duduk bareng kamu
di bangku belakang Sophie. Kadang pakai acara “mengusir” kawan lain yang
sebangku denganmu.
Kamu tak pernah menunjukkan ekspresi terganggu.
Kita sama cuek dengan ledekan anak
lain. Kadang sengaja kuacak-acak rambutmu hingga berantakan, kadang kamu marah
jika aku keterlaluan dan segera merapikan hasil obrak-abrik itu diiringi
tawaku. Cuma padamu aku berani demikian. Kali bikin jeles secret admirer kita tanpa kusadari.
Terkadang kupikir apa salahnya jika kita pacaran.
Setidaknya kita bisa lebih dekat daripada sekadar kawan. Dan aku bisa berbuat
sesuatu untuk mengubahmu. Ada yang sangat peduli padamu, membutuhkanmu,
selain menyuruhmu potong rambut.
Untuk hal terakhir kamu selalu menurut sebab aku
akan spontan memujimu dengan tulus jika rambutmu lebih rapi dan menarik.
Seperti saat hari pertama usai libur sekolah, di depan Terminal Limbangan, kamu
tiba-tiba melompat ke depanku, mengadang sambil cengengesan.
“Ha!” aku memekik melihat rambut gondrong berikut
celana jins belel ketat yang robek kedua lutut. 100% grunge abis. Kamu tampak kacau. Pasti baru
pulang dari Jakarta. Ranselmu memberati punggung.
“Hai!” sapamu. Sebulan liburan mengubahmu kayak
preman.
“Jelek, jelek! Potong rambut!” Semburku sadis, tak
memedulikan sekian tatap heran orang terminal.
Kamu senyum. Namun dari arah lain Ipih menghampiri
dan menarik lenganku agar segera menyeberang jalan. Meninggalkanmu sendirian.
Aku sempat kesal pada Ipih namun menurut sebab takut terlambat. Meski harus
kehilangan momen berbincang denganmu yang entah kenapa super-urakan.
Lalu esoknya kamu muncul dengan tampilan baru.
Rambutmu dipangkas rapi. Aku tak bisa menahan diri untuk menuji setelah kemarin
memaki. “Abu lebih cakepan sekarang.” Membuat senyummu mengembang dan seperti
biasa diiringi anggukan khasmu yang berulang.
Selain itu, aku ingin kamu belajar lebih tekun dan
rajin meski sekolah bikin boring. Barangkali juga mau mengajari
matematika sebab aku sangat payah angka daripada bahasa. Tak sering madol. Benar-benar berhenti ngejil atau ngeganja atau ngeboat
atau masuk barisan para narkober. Lenganmu sudah penuh jarum suntik, sih!
Namun aku tak melakukannya. Dan sekarang, untuk
waktu yang lama, saat ini aku tak tahu haruskah menyesal. Kita hilang kontak
sesuai waktu dan jarak. Tak pernah kucoba kirim surat, menelefon, ataupun
sekadar mencari namamu di google sampai friendster.
Terkadang di saat tertentu aku ingat kamu. Ya, jika
ada peristiwa kerusuhan, kebakaran, penggusuran, wabah penyakit, bahkan banjir
dan air laut pasang di Jakarta. Aku tak tahu masih hidupkah kamu. Kehidupan
yang bersih. Tak kuharapkan kamu malah terkapar sebagai penderita HIV yang
bermetamorfosis taraf AIDS, karena jarum suntik sampai gaya hidup negatif.
Tiga tahun kita telah berbagi hidup, saling
mewarnai. Aku menyukai ketenangan, kepolosan dan kecuekanmu. Tak pernah
sekalipun kamu bersikap negatif terhadapku atau membawa pengaruh buruk.
Itulah anehnya! Dengan anak lain aku bisa
bertengkar, terhadapmu tak ada yang harus dipertengkarkan. Katakan apa makna
perkawanan dan persahabatan? Yang kita jalani tak sesuai skenario film atau
sinetron.
Sebut aku hipokrit atau pemendam rasa nomor wahid.
Aku tak berpretensi mengubah si bad boy jadi orang baik secara karbitan,
sebab aku sendiri tak yakin cukup baik.
Namun bersamamu adalah hal terbaik dalam hidupku.
Tanpa kusadari aku telah melakukan penebusan, mencoba mengubah lelaki lain,
sahabatku, yang bukan junkie, ke arah yang lebih baik dalam dunia
penulisan. Bahkan sampai taraf melepasnya pada kehidupan lain. Kehidupan yang
sampai sekarang tak kutahu apakah baik ketika ia memilih menikahi perempuan
lain yang tak kukenal.
Aku seperti mengulang pola lama. Tiga tahun setelah
perpisahan kita, aku jatuh cinta secara pandangan pertama pada seseorang dan
menjadikannya subjek cinta platonis jilid V sampai sekarang. Namun pada
akhirnya, tiga tahun kemudian, aku tertarik pada seseorang yang lain,
bersahabat selama tiga tahun demi saling belajar dan mengajar, lalu mengambil
jalan masing-masing.
Karena aku si pasif dan pemendam rasa nomor wahid,
barangkali.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D