Humor sering kali memberi
kekuatan terselubung, lebih dari sekadar membuat orang tertawa, ada sentakan
alam bawah sadar yang kadang kita abaikan. Betapa kita sebenarnya “biasa”
melakukan kebodohan dan kebegoan -- dengan atau tanpa sadar -- namun kadang
menyangkal: kita tak merasa bodoh atau bego karena ego!
Oleh ROHYATI SOFJAN
♥ DATA BUKU : Babi
Ngesot: Datang Tak Diundang, Pulang Tak Berkutang
♥ PENULIS :
Raditya Dika
♥ PENERBIT :
Bukuné, Jakarta
♥ Cetakan : Kedua, Mei 2008
♥ Tebal :
viii + 240 Halaman
NAMUN Raditya
Dika dalam Babi Ngesot: Datang Tak Diundang, Pulang Tak Berkutang,
berani menelanjangi polah laku-dirinya dengan polos dan blak-blakan, meski
kepolosannya diwarnai semangat hiperbolik -- ditambahi semacam “bualan”
kekanakan.
Keberanian
yang patut kita hargai sebab ia telah menertawakan kehidupan dengan gaya ala Forrest Gump. Bahkan pede saja
dicap penulis Indonesia terbodoh saat ini, kala terlalu banyak “kepintaran”
justru membosankan.
Pun
filosofi pemilihan judulnya yang nyeleneh, Hantu emang gak datang tanpa
diundang atau tanpa sebab. Kecuali Jelangkung versi film bokep: datang
tak diundang, pulang tak berkutang. Terus Babi Ngesot? Ya, semacam
itulah kira-kiranya.
Simak
saja bagian pengantarnya: “Banyak hal yang gue takutkan: perang, hantu,
dan gosok gigi pakai deodoran. Dari semua phobia ini, kuburan
adalah yang paling gue takutin. Gue pernah sekali berdua ke kuburan, dan temen
gue bilang dengan wajah penuh kengerian, ‘Lo cium itu? Itu bau kejahatan dan
kematian.’ Gue bales, ‘Wow, seperti bau celana dalam gue.’
Anehnya
ketakutan-ketakutan selalu seru untuk diceritakan. Maka, gue persembahkan
sebuah buku tentang ketakutan gue terhadap segala hal yang ngebuat gue jerit
sampai ngesot, tentunya dengan gaya komedi. Ini adalah buku Babi
Ngesot: Datang Tak Diundang, Pulang Tak Berkutang. Ini adalah buku yang bisa
ngubah hidup kamu semua, terutama kalo abis baca buku ini kamu ngerampok bank,
ketangkep, dan dihukum gantung!”
Wah, jika
bagian pengantar saja sudah heboh, bagaimana isinya? Dan Raditya Dika sah-sah
saja menuangkan 17 cerita pendek pengalaman pribadinya secara aneh-tapi-nyata,
dengan gaya bahasa pop dan khas anak muda banget.
Meski
isinya tak melulu soal horor bagi kita pembacanya, namun barangkali bagi
Raditya sendiri kepolosan polahnya cukup menghororkan kehidupan yang telah ia
jalani. Kita boleh menyebutnya sebagai ketegangan, lucunya Raditya
memaparkannya dengan cara superkonyol bin kocak. Maka, berhati-hatilah bagi
yang punya kebiasaan buruk berupa membaca sambil makan atau sebaliknya, bisa
jadi di bagian tertentu kita sontak ngakak sampai tersedak.
Lebih
baguslah jika cuma masuk puskesmas bukan bui (sebagaimana Mark Chapman,
pembunuh John Lennon, kala ditangkap konon sedang duduk-duduk di trotoar sambil
baca The Catcher in the Rye J.D. Salinger -- yang ditahbiskan sebagai
kitabnya para pembunuh).
Jika
Forrest Gump (Gramedia, Juni 1995) memaparkan keluguannya sebagai orang
idiot dalam memandang dan memaknai kehidupan secara ringan namun mendalam, plus
seru dan gila-gilaan, tak masuk akal namun tak berlebihan.
Raditya
Dika cenderung tipikal khas anak muda urban masa kini yang membebaskan
imajinasinya untuk berani sinting, menentang pakem “norma-normal”, meski pada
akhirnya kadang ia kesandung juga.
Entah
apakah Raditya terinspirasi novel karya Winston Groom itu, sebab ada beberapa
bagian yang seakan mengingatkan pada perjalanan Gump, seperti digencet kakak
kelas (“Asal Jangan Jadi Perkedel”).
Gue
juga belajar hal yang paling krusial dalam bertahan hidup dari siksaan senior,
Hukum Kabur I: jika kamu dikejar senior, kamu tidak perlu berlari
lebih cepat daripada dia. Kamu hanya perlu berlari lebih cepat daripada temen
kamu. Kebenaran hukum ini dipraktikkan sewaktu gue dan kedua temen gue: Reno
dan Hugo, berjalan cepat melintasi lapangan basket yang ditongkrongi anak kelas
tiga. Begitu kita menyeberang, ada satu anak kelas tiga langsung nafsu ingin
menarik kita untuk ikutan nongkrong. Gue, yang paling belakang, langsung
menyalip Hugo dan Reno. Hasilnya urutan kabur jadi terbalik: gue, Hugo, baru
Reno yang paling belakang. Reno pun langsung ditarik sama kelas tiga. Gue sama
Hugo berhasil kabur naik bajaj.
‘Reno gimana? Reno gimana?’ Hugo berteriak di
dalam bajaj. Kita berdua berasa lagi kabur sewaktu perang Kemerdekaan ketika
salah satu teman kita ada yang baru aja diculik sama orang Belanda. (Hlm. 16)
Lalu
masa kuliah (“Gosip”). Sebagai anak FISIP UI yang moody, kala bosan
Raditya minta izin pada dosennya, Eep Saefulloh Fatah, untuk cabut dulu dan
membisikkan alasan bahwa tantenya melahirkan. Eh, Mas Eep malah mengira bahwa
istrinya yang melahirkan. Sehabis memberi izin, pakai acara mengajak doa
bersama, satu kelas segala! Akibatnya, keesokan hari urusan malah runyam bagi
Raditya.
YA
AMPUN! Mas Eep kok jadi salah denger gini. Pantesan aja dia sampe nepok pundak
gue, dia pasti mikir, ‘Gila nih mahasiswa gue, istrinya melahirkan tapi
sempet-sempetnya ikut kuliah gue. Keren juga gue.’ (Hlm. 72)
Atau
kelucuan kala membentuk ben semasa kuliah di Australia dan ikut Terbaik Band
Competition (“Kucing Jawa”). Ada band yang lagunya juga bagus,
mainnya juga rapi, tapi gitarisnya seperti kelebihan kafein. Gitarnya diputer
kayak helikopter. Muter ke sana-sini. Lalu dia loncat sambil teriak, ‘WAAAAW!’
Heboh abis. Dia juga pake celana kulit ketat banget sampai-sampai semua orang
tahu kalau dia udah disunat. (Hlm. 157)
Lalu
jelang pilpres 2009, Raditya enak saja berandai-andai untuk mencalonkan dirinya
sebagai presiden (“Radith for President”). Membuat press release
konyol. Mengingatkan pada kekonyolan Gump kala dicalonkan untuk jadi presiden
Amerika.
Jika
Gump sempat berkenalan dengan seorang master catur, Mister Tribble dan ikut
kompetisi catur segala. Raditya cukup diperkenalkan dengan seorang Master
Hapkido, Master Kim, guru bela diri Harianto teman sekelasnya, kala dapat tugas
bikin feature article, ditemani Sabrina. Lalu di lain saat ia baru tahu
kalau sang master ternyata merangkap koki di KIM’S BBQ kala makan bareng
Sabrina. Konyolnya mereka malah berdebat kusir segala soal Master Kim yang jadi
koki. Sabrina yang tidak tahu nama sang master hapkido itu malah mengira Master
Kim yang koki terkenal di televisi dan teriak-teriak tidak mungkin (“Itu Kan”).
KITA?
Mestinya KAMI!
Apakah
humor harus diperlakukan hati-hati jika dituangkan ke dalam buku? Sebab bisa saja
nuansa humornya hilang. Raditya barangkali tak terlalu peduli. Ia liar saja
menyintingkan polah laku-dirinya secara hiperbolik.
Hal
yang bisa jadi tak lucu bagi orang lain malah jeli ditangkap momennya. Semacam mischief.
Modal yang membuatnya tetap kreatif. Toh, ia telah sukses menerbitkan
buku serupa yang diterbitkan Gagas Media, Kambingjantan: Sebuah Catatan
Harian Pelajar Bodoh (blog pertama yang dibukukan), Cinta
Brontosaurus, dan Radikus Makankakus.
Jika
horor saja bisa dihumorin, seperti pocong bagi Raditya tak perlu
ditakuti, ambil saja sudut bidik lain: Udah didandanin kayak permen, gak
punya tangan pula. Tinggal dijorokin dikit juga guling-guling. (“Merinding
Disko”, hlm. 162) Benar-benar enteng meski rada inkonsisten dengan bagian
pengantar soal fobia pada hantu.
Babi
Ngesot-nya Raditya Dika sangat beragam isinya. Namun inti dari semua
itu adalah bagaimana memperlakukan dunia yang sinting dengan perspektif yang
sinting pula. Bahwa ketegangan pun menyimpan parodi, tinggal bagaimana kita
memperlakukan diri sendiri dan orang lain sebagai bagian tak terpisahkan dari
kehidupan yang kaya warna.
Maka,
cerita lain seperti “Ingatlah Ini Sebelum Meminta Dipijit”, “Prince of”,
“Panduan Singkat Menghadapi Cewek”,
“Surup-Menyurup”, Pentingnya Membawa Babi Bersayap Sewaktu Kencan Buta”,
“My Heart is Like in Jail”, “Ketekku, Bertahanlah!”, “Kawin, Kapan?”,
“Pertanyaan untuk Tabib”, “Babi Ngesot”, dan “Celana Cokelat Itu”; adalah
semacam ejekan bagi kita yang menganggap hidup kelewat berat dan serius
sehingga terlalu “normal”.
Akan
tetapi, entah mengapa hal-hal yang bisa saja bagi orang lain dianggap porno,
bagi Raditya tak masalah. Yah, sebagai anak muda dengan libido (menulis?) yang
tinggi, film bokep (bentul/BF) atau caci-maki khas anak muda
merupakan gaya hidup kosmopolitan masa kini.
Yang
mengganjal dari kesempurnaan buku itu adalah penggunaan kata KITA untuk yang
mestinya di-KAMI-kan. Sayang memang jika kosmopolitanisme sendiri telah memamah
makna bahasa sehingga harus melenceng dari yang dimaksud agar keren atau apa.
Padahal, bagi penerbit sekelas Bukuné yang juga menerbitkan majalah senama
(dengan moto think fun, think books), haruskah ikut memeriahkan
kebingungan awam?
Kalaupun
kata KAMI yang dipakai bukan KITA (yang memang tidak dimaksudkan sebagai
pronomina pertama jamak tetapi yang berbicara bersama orang lain -- tidak
termasuk yang diajak berbicara), saya rasa tidak akan mengganggu kesempurnaan
buku itu.
Sebab,
haruskah kita mengikuti kaidah orang kebanyakan (yang lebih banyak salahnya),
daripada kaidah yang sudah dari dulu ditentukan oleh pakar bahasa agar bahasa
Indonesia tak kacau balau?
Meskipun
demikian, salut untuk kerja keras dan kejelian orang di balik layar, Windy
Ariestanty (editor), Dewi Fita dan Mala Aprilia (proof reader), Yasinta
Mutiara Aini (penata letak dan desain sampul), sampai Adriano Rudiman
(ilustrasi).
Babi
Ngesot hadir dengan sempurna dan tanpa cela. Tak ada kesalahan ketik
dan ejaan (kecuali “mengguman” yang mestinya “mengumam”), cukup apik dalam
gramatika (guyuber juga?), dan penampilan luar-dalamnya menjanjikan.
Sesuatu yang mestinya menjadi perhatian para penerbit muda. Juga penulis
Indonesia.
#Cipeujeuh,
30 Juli 2008