(Foto diambil dari )
Esai Sastra
Senja yang Bercerita
(Renungan dari Sebuah Pertanyaan untuk Cinta,
Seno Gumira Ajidarma)
Oleh Rohyati Sofjan
Senja. Mengapa lelaki suka sekali menyebut
senja, terutama para pengarang (termasuk
penyair!), mereka pasti menulis senja. Lalu apa istimewanya senja? Adakah daya
magis dari kata yang seolah tak sederhana apalagi biasa? Mungkin senja itu luar
biasa, ya seluar-biasa keajaiban alam ciptaan Tuhan. Senja adalah proses
metamorfosis, antara terang dengan kegelapan, antara ruang yang melebar dan
menyempit, berikut aktivitas penghuni bumi; termasuk angin, air, dan gelombang
lautan.
|
Senja
ada karena bumi berputar pada porosnya mengelilingi matahari, rotasi semacam
itu menampilkan senja-senja yang selalu
hadir di belahan dunia mana. Namun Seno, mengapa sih ia senantiasa
bersenja ria? Kadang senja-nya memikat, kadang membosankan.
Semua suasana senja pasti masuk dalam
cerpennya. Entah “Nocturno”, “Dua Lelaki”, “Gelang untuk Kaki Seorang Wanita”,
“Senja di Balik jendela”, dan “Je t’aime” di antologi cerpen Sebuah
Pertanyaan untuk Cinta; sampai “Peselancar Agung” di Republika (Ahad, 21 Mei 2000).
Apakah Seno begitu tergila-gila pada senja,
atau senja memang menghanyutkan? Kalau sudah demikian, siapa yang lebih
melankolis, lelaki atau perempuan? Atau memang kedua-duanya saling memengaruhi?
Senja Seno di “Peselancar Agung” lebih
banyak berdeskripsi, dan terus terang itu agak membosankan meski iramanya
konstan. Ada apa sih dengan pemandangan alam yang tiba-tiba saja bisa
menjadi absurd? Atau memang dunia ini sudah begitu absurdnya, memaksa pembaca
memasuki ruang absurditas; meraba-raba mencari makna yang mungkin tak pernah
dikenalnya.
Seno mungkin hebat dalam mendeskripsikan
apa pun, menyeret pembaca untuk hanyut mengarungi jeram imajinasinya. Seorang
lelaki yang begitu matang dan berani, imajinya penuh kejutan yang menyentak. Ia
begitu liar sekaligus melankolis. Semua diksi yang ia ungkapkan selalu punya
kekuatan, ada roh yang menghidupkan.
Senja Seno dalam cerpennya tak selalu sama.
Suasananya memang senja, namun adegannya berbeda-beda. Bisa di beranda
menghadap pantai, di jantung Kota Jakarta, di sudut taman Kota Singapura, di
balik jendela, sampai di dalam mobil yang meluncur di atas jalan raya. Bahkan
di suatu kota di mana pelangi tak pernah memudar warnanya.
Namun semua senja yang Seno paparkan tak
sembarangan. Semua “senja”-nya selalu bercerita. Begitu puitis, mistis,
melankolis, romantis, ironis, sampai tragis.
Begitulah hidup. Ada tangis dan tawa,
seolah mereka kawan lama yang tak terpisahkan sampai kapan pun, meski bisa saja
mereka membosankan. Mungkin hidup harus demikian, harus ada kata bosan.
Bukankah jika kita bosan pada sesuatu,
bisa beralih pada hal lain yang dianggap baru dan tak membosankan. Ganti
suasana. Bosan lagi. Kalau sudah demikian, apa arti hidup?
Namun hidup selalu penuh kejutan.
Sebagaimana paparan di atas, Seno akan selalu mengejutkan. Elegan dan jantan,
sekaligus jahanam. Ia memotret senja dari berbagai angle. Memprosesnya.
Lalu membingkainya dalam berbagai frame.
Menghasilkan cerita yang bergambar atau gambar yang bercerita; bercerita banyak
tentunya. Untuk kau rasakan, untuk kau bayangkan, sampai tersimpan dalam alam
bawah sadar. Lalu keluar dari memori otak sekian mega byte-mu, kala kau
ingin mengenangnya kembali atau terkenang begitu saja tanpa disadari.
Senja adalah tamu tak diundang yang senantiasa ditunggu kehadirannya, saat
manusia lelah memburu hari dan senja mengisyaratkan untuk berhenti. Ia bisa
datang tiba-tiba pada waktu yang sebenarnya bisa diduga, namun lebih banyak
manusia lupa.
Apakah seorang wanita menunggui senja untuk
memutuskan sesuatu dalam hidupnya? Menikmatinya. Lalu disadarkan pada malam
bahwa ia harus pergi dan kembali jadi petualang. Namun untuk apa ia pergi?
Bertualang dari satu cinta ke cinta lain, mencari cinta dari setiap lelaki yang
ia jumpai, sampai lupa dan asing akan maknanya. Untuk mimpi atau cinta yang tak
pernah puas ia cari, di dunia yang memang tak abadi? (“Nocturno”)
Kalau sudah demikian, Seno seolah
menggambarkan, bahwa bukan hanya lelaki
saja yang bertualang, wanita pun bisa demikian. Akan tetapi, manusia memang
musafir, mencari-cari tujuan sampai tidak tahu tujuan apa yang ia cari dan
kapan berhenti.
Begitulah, dua lelaki yang mungkin berkawan
baik berjalan pulang sembari mencoba menikmati panorama senja dengan ragam
penghuninya di jantung Kota Jakarta. Kau melemparkan problem yang menyesakkan.
Sesuatu dalam hidup yang tiba-tiba berubah, seperti senja, mungkin. Bagaimana
rasanya jika kau punya seorang istri yang bagimu adalah segalanya, lalu
semuanya berakhir. Kalian bercerai ketika perkawinan sudah terasa seperti
neraka dan tak bisa dipertahankan keutuhannya. Kau menumpahkan kekesalan pada
kawanmu yang tetap berperan sebagai pendengar yang baik. Sampai senja berakhir,
di kelokan jalan kalian berpisah. Kau pergi tanpa menoleh lagi. Kawanmu
diam-diam memperhatikan. Sampai kau menghilang dari pandangan. Lalu ia bergegas
pergi. Senja benar-benar berakhir. Malam digelar. Ia akan menemui mantan
istrimu. Mereka sudah janjian: ada kencan! (“Dua Lelaki”)
Barangkali inilah dramaturgi perkawinan
yang berakhir dengan perceraian. Seperti senja. Sekelebatan. Indah
dipandang lalu hilang. Dalam hidup
memang ada “senja” lain; senja absurd.
Semuanya berganti dengan cepat, menjadi malam yang metaforis: gelap. Akan
tetapi, pasti esoknya ada pagi, siang, sore, lalu senja lagi. Hidup ini memang
berirama dan berwarna, serta serba tak terduga.
Ada apa dengan kaki seorang wanita?
Barangkali di mata lelaki, kaki wanita punya daya tarik tersendiri. Seksi,
menggairahkan, dan sudah tentu merangsang ketika dipandang. Dan di mata Seno
sendiri, kaki seorang wanita adalah sumber inspirasi. Suatu keindahan dalam
makna yang sebenarnya, bukan suatu bayangan vulgar untuk dibawa dalam mimpi
yang jorok dan murahan..
Memasangkan gelang di kaki seorang wanita,
di suatu sudut dalam taman Kota Singapura, pada suatu senja. Hingga membentuk
suatu siluet yang begitu indahnya. Memasangkannya sih mudah, namun
bagaimana jika kau meminta seorang wanita yang (mungkin) tak kau kenal apalagi
mengenalimu; agar bersedia menyandarkan sebelah kakinya di pangkuanmu, untuk
kau pasangkan gelang, lalu mengelusnya perlahan-lahan. Pada suatu senja
tentunya. Dan yang jelas gelang itu bukan sembarang gelang, sebuah gelang yang
didapat kala mengunjungi negeri Atap Dunia dan butuh perjuangan untuk ke sana:
Nepal, di mana eksotisme tak memudar! Lalu kau memberikannya begitu saja kepada
seorang wanita yang di matamu memiliki kaki terindah. (“Gelang untuk Kaki
Seorang Wanita”)
Apakah dengan itu Seno seolah ingin
mengungkapkan, bahwa semua hasil perjuangan lelaki di dunia tidak berarti jika
tak membaginya dengan wanita?
Apakah senja begitu romantis dan
melankolisnya di mata seorang lelaki, hingga membuatnya terkenang-kenang pada
suatu senja lain, di masa yang lain. Mengenang seorang wanita dalam hidupnya,
yang datang lalu pergi begitu saja. Sekelebatan. Dan kau tak menduga ia akan
pergi dengan cara yang begitu manisnya: menciumi kelopak mawar di rumpunnya,
mengelus bunga di tepi jalan, melangkah lincah dengan kaki telanjang dan gaun
putih berkibaran, lalu lenyap seolah ditelan kabut yang mengendap, sampai kau
tak bisa melihatnya lagi. Dan kau bertanya, ada di mana ia gerangan? Namun
wanita memang senantiasa meninggalkan tanda tanya bagi lelaki dengan jutaan
misteri tak terungkapkan. Apakah bagi lelaki, wanita itu misteri tak
terpahamkan? (“Senja di Balik jendela”)
Ada sesuatu dalam senja itu, senja di balik
jendela yang Seno ungkapkan. Jika kita melihat jendela yang terpentang lebar,
ibarat melongok ruang yang dalam, ruang yang pernah kita isi tetapi tak bisa
kembali ke sana untuk mengulanginya lagi. Hidup senantiasa berubah. Seperti
“senja” dan “cinta”. Dan cinta biasanya tak pandang usia, bisa saja seorang
lelaki tertarik pada wanita yang 12 tahun lebih tua darinya. Dan cinta selalu
serba mungkin, meski wanita sendiri bisa gamang akan cinta karena takut tua
atau hal lainnya.
Bagi wanita, tua memang proses, namun
prosesnya tak sesederhana itu. Anggapan bahwa wanita harus indah atau wanita
adalah sumber keindahan, kadang menjadi bumerang bagi wanita sendiri. Mereka
bisa meragukan cinta, dari seorang lelaki yang paling tulus sekalipun. Ketika
muda, wanita bisa dianggap segalanya. Namun ketika waktu bergulir, dari senja
ke senja lain; mereka menyadari, betapa keriput sampai menopause bisa
menjatuhkannya.
Akan tetapi, Seno berpikir lain. Kecantikan
memang akan lumer, namun tidak keindahan dalam diri wanita. Lantas, keindahan
macam apa lagi yang seno jabarkan -- selain senyum dan mata yang bercahaya?
Akankah wanita penasaran karenanya? Keindahan memang ada dalam diri wanita,
keindahan yang bisa bukan bentuk fisik sekalipun.
Kalau sudah demikian, mungkin wanita harus
keluar dari lingkaran hedonismenya dan memercayai keindahan dalam (inner
beauty), keindahan yang memancar tanpa pulasan. Dan definisi keindahan bisa
apa saja. Termasuk hati dan isi kepala, sesuatu yang bisa membuat lelaki jatuh
cinta. Namun apakah wanita hanya hidup untuk cinta? Wanita pun bisa gamang.
Kadang mereka tak tahu untuk apa dan siapa berdandan, sampai segala keindahan
yang dimilikinya. Untuk dirinya, untuk orang lain, atau memang sudah
seharusnya?
Kadang senja bisa merupakan pergantian
suasana. Ikut ambil bagian dalam hidup seorang lelaki. Dari tiga wanita yang
masuk dalam hidupnya, sekaligus, ia pun membagi cinta dan hidupnya untuk
wanita-wanita yang memang tak bisa ia lepaskan. (“Je t’aime”)
Mungkinkah bagi lelaki, seorang wanita di
dunia tak pernah cukup baginya? Mengapa lelaki selalu bisa membagi cintanya?
Adakah cinta lelaki yang utuh untuk seorang wanita? Hanya untuk seorang wanita?!
Ah,
Seno memang gila! Wanita bisa belajar dari tulisannya.
Membaca cerpen Geno Gumira Ajidarma
sebenarnya tak selalu bisa “asal baca”, ada muatan nilai filosofis di dalamnya.
Bisa ringan, bisa pula berat. Interpretasi Seno tentang senja -- berikut sejuta
cerita -- awalnya membosankan. Mungkin tak mudah memahami Seno, sama halnya tak
mudah memahami lelaki. Kita harus membacanya berulang kali sampai paham
bagaimana substansinya. Mungkin inilah kompleksitas tentang hidup manusia yang
ditawarkan Seno, adakalanya penuh kontemplasi.
Seperti hidup yang penuh ironi, manusia
bisa terpesona begitu saja pada sesuatu dan menjadi dungu tanpa tahu telah didungui, seolah memang harus ada yang
membuatnya demikian. Entah itu pada suatu kota yang senantiasa ada pelanginya,
pada ombak dan lautan, berikut pada yang bisa menguasainya; berselancar dengan
tenang di atas ombak yang bergulung khusus untuknya, seolah dewa, pada suatu
senja yang sempurna. Apakah memang manusia mudah terkesima pada suatu bentuk
yang bernama “pengultusan”, lantas berbondong-bondong ingin ikut ambil bagian,
meski mereka bisa merana karenanya. Lupa pada “kekuasaan” lain yang menciptakan
panorama senja dengan sebenarnya. (“Peselancar Agung”)
Itulah Seno, ada lambang metafora di
dalamnya. Ia seolah mengejek pengultusan individu, berikut orang-orang yang
rela jadi kroco ngaco ambisius. Namun sebagai Seno, ia menyusupkan
metafora-metafora itu dengan cara khasnya. Bahasa yang penuh bunga-bunga dan
berima mengalir begitu saja, dan tanpa sadar kita selesai. Mungkin membosankan.
Namun Seno cerdik. Jika kita jeli, ia bicara tentang “sesuatu”, sesuatu yang
sesungguhnya terjadi di negeri kita ini. Dan ia mengemasnya dengan gaya dunia
absurd yang surealis-metaforis. Kota di mana pelangi tak pernah memudar
sebetulnya ada di mana-mana, di belahan bumi Indonesia bukan hanya Pantai Kuta
yang menginspirasinya saja.
Atau memang itu dunia imajinasi Seno belaka
-- yang absurd? Namun siapa yang peduli. Seno tetap Seno. Seseorang yang begitu
memuja senja dan membingkainya dalam ribuan cerita, cerita yang senantiasa
bercerita dengan sepenuh cahaya.
Bahkan dalam perjalanannya ke Vietnam
sampai Kathmandu, Nepal. Lelaki kelahiran Boston, 19 Juni 1958 ini bisa
bercerita begitu menyentuh, dan seperti biasanya hidup, berirama dan berwarna.
Hingga bukan suatu feature perjalanan wisata (travelling) biasa.
Itu feature perjalanan pencarian jiwa Seno. Ia mencari sesuatu namun tak
tahu apa yang dicari, sampai sadar bahwa yang ia cari tak jauh dari dirinya
sendiri: hati! (Intisari No. 390, Januari 1996; Intisari No. 395,
Juni 1996; Jakarta Jakarta No.
500, 3-9 Februari 1996.)
Barangkali hidup ini untuk mencari sesuatu.
Bahkan selalu ada senja untuk kita pelajari, senja yang menyimpan cerita
sekaligus rahasia. ***
Ditulis
tahun 2000-an ke atas, belum pernah dimuat media mana pun. :)
Kecil sekali mbak teksnya??
BalasHapusKenapa ini?
Coba pakek standartnya aja, gag usah diruah..
Jadi gag fokus bacanya saya.. :(
Makasih sarannya. Maklum baru bikin blog lagi setelah lama vakum alias menelantarkan yang di Wordpress jadi kurang paham cara kerja blogspot. :)
HapusAku biasa pake Georgia/ Verdana terus aku ubah ukuran jadi large. ada di pengaturan dashboard blognya mbak :)
BalasHapusSaran yang sangat membantu, Mbak Susan. Blog Anda enak dibaca dari segi huruf dan isi. Makasih. :)
Hapus