Dan Selalu Ada Jeda
Mengapa film selalu dibuat berbeda dengan isi
buku/novel/komiknya?
Forrest Gump (FG) menampilkan simpati
dan kesedihan sekaligus komedi dari kemuraman lakon manusia ketika mengisi
wajah dunia.
Saat melihat akting Tom Hanks, saya sama sekali
tak bisa tertawa. Tersenyum pun tidak. Sungguh jauh berbeda dengan isi novelnya
yang gila-gilaan. Saya disadarkan pada sesuatu, realitas yang sublim dan
menyatu: ‘the other’.
Memang sayang di sana tak ada tokoh dan
penggalan cerita sebagaimana laiknya yang Winston Groom tuangkan. Tak ada Sue,
tak ada detail penerbangan ke bulan yang konyol, tak ada suku Pigmi versus suku
kanibal (sungguh aneh, betapa pemakan sesama kalah dengan orang cebol pengumpul
kepala, tidakkah Groom sedang mengejek para kanibal --denotasi dan konotasi --
tak lebih dari ‘raksasa’ pengecut yang menyediakan kepala mereka untuk
diciutkan?!), dan tak ada adegan gila-gilaan lainnya.
Menonton FG jauh berbeda dibandingkan dengan
membacanya. Apalagi saya lebih dulu membaca novelnya -- gara-gara tertarik pada
resensi filmnya di sobekan koran bekas pembungkus makanan sampai iklan novel di
majalah Intisari. Rasa kecewa seketika juga meruyak. Apakah Groom pun
merasakan hal serupa?
Itu bukan kali pertama saya dikecewakan soal
kualitas film dengan sumber aslinya. Saat 3 SMP, ketika perpustakaan keliling
masih ngetem di Mudal, saya pernah membaca novel The Secret Garden
(karya siapa ya, saya lupa nama perempuan pengarangnya?). Beberapa hari
kemudian filmnya diputar stasiun TV swasta. Namun jalan ceritanya melenceng.
Dan pada versi lainnya, saya tak puas. Sampai saya tonton versi yang dibintangi
Gary Oldman. Benar-benar menyentuh. Lebih baik daripada dua versi sebelumnya.
Ada banyak film yang saya tonton, meski
barangkali tidak sebanyak yang Abda tonton, bagi saya film adalah sarana
belajar mengamati bagaimana suatu interaksi [berikut konflik] terjalin.
Film adalah bagian dari realitas, bukan sarana
untuk lari dari realitas. A Man Without of The Face (Mel Gibson),
Road Home (Donald Sutherland), Gandhi (yang bukan dibintangi
Sigourney Weaver), The Clown, The Birds (karya spektakuler Alfred
Hitchchok), The Old Man and The Sea (teringat Ernest Hemingway), Copy
Cat (Sigourney Weaver), Leon, The Professional, Pulp Fiction,
Scissor, Die Hard, Hamlet, dan sederet judul
lainnya yang saya lupa namun saya anggap bagus dan mengesankan.
Ya, Abda, kamu benar tentang pendapatmu:
“Bahwa kita sebenarnya pernah melihat banyak hal dalam hidup kita, tapi kita
selalu terjebak hanya melihat sesuatu sebagai sesuatu, tidak pernah mencoba
melihat sesuatu itu dengan mata lain dari diri kita terhadap sesuatu tersebut
seperti para filmaker membuat film yang berbeda tentang kehidupan
manusia.” (Abda terpengaruh gaya ucap para filsuf Prancis, ya? Bahasanya
panjang dan saya kasih koma J.)
Kamu
mengingatkan sesuatu, Abda, hal yang sudah lama tak saya lakukan: menonton film
sebagai semacam keasyikan -- selain membaca. Saya telah melewatkan banyak film
bagus: The Hours, Harry Potter, Novel Tanpa Huruf R,
Boy Don’t Cry, dan entah apa lagi. Saya selalu lupa ke bioskop! Tiap
tertarik pada iklan atau resensi film tertentu dan berniat menontonnya, saya
begitu mudah melupakan rencana itu. Bahkan saat ikut lokakarya sastra Jendela
Seni di GK Rumentang Siang lalu, niat untuk nonton Asterix menguap
gara-gara asyik dapat kawan baru dan nongkrong sampi jam 5 sore sehingga movie-nya
baru teringat di rumah -- saat magrib.
CCF? Hanya alasan strategis dan gratislah yang membuat saya
menyambanginya. Ya, sekalian saat survei atau beli buku/majalah, bisa mampir
dan kalau tak suka pada film atau suasananya (AC yang menggigilkan), bisa cabut
tanpa merasa rugi.
Kapan CCF memutar film Iran karya Abbas Kiarostami? Atau film
Aljazair dan Maroko?
Maaf, The Pianist tak saya
tonton habis. Tak ada teksnya! Padahal keberadaan teks itu sangat penting.
Terserah mau Inggris atau Indonesia (aneh juga ada yang terjemahan
melayu/Malaysia).
Film Prancis realis banget dan seleranya halus,
namun untuk hal tertentu membosankan juga. Seperti alur ceritanya yang lamban
dan tata cahayanya yang bikin mata capek. Sampai di adegan gelapnya
bikin saya ingin menyorotkan senter atau menyalakan saklar lampu.
Baca kabar di koran nih, acara seni di CCF
bakal dilikuidasi karena tak ada dana lagi? Saya sangat menyesalkan hal itu,
padahal selain lokasinya strategis, acara di CCF banyak memberi kontribusi pada
saya untuk mengenal bagaimana seni itu secara langsung dari acara yang digelar
dan saya saksikan, bukan dari artikel di koran -- yang saya baca dengan rasa
asing.
Namun bisakah saya merasakan tekanan yang Alain
Zayan rasakan? Dan terutama kamu berikut kawan-kawan yang sudah membentuk
komunitas tersendiri di CCF de Bandung. Bagaimana dengan Jakarta dan Yogya?
Abda, saya senang bisa berinteraksi pemikiran
denganmu, meski mungkin yang lain bakal bingung kala membaca imel saya (jika
dibaca), “Eh Abda nulis apa saja, kok Rohyati ngebahas
ini-itu?”
Kesengajaan saya menulis imel secara keroyokan
tak lebih dari keinginan berinteraksi dengan orang-orang yang ingin saya kenal
bagaimana pribadinya namun dalam batasan yang tak terlalu intim. So,
saya pikir tak ingin ada pemikiran akan suatu affair (did you LOL because
I said fool?)
Saya tak keberatan akan personalitas, karena
selain ini, saya pun menulis imel panjang secara personal pada Iqbal, atau juga
surat panjang yang barangkali membosankan pada Uji.
Kini saya ingin berhenti. Berhenti melakonkan trouble
maker. Berhenti berharap bisa berbagi konsep pemikiran. Jika dalam
pandangan Keanan, surat saya rumit dan ada hal tertentu yang tak bisa ia
jawab atau butuh waktu lama untuk menjawabnya sehingga ia lebih suka tak
membalasnya. (Dan saya tak memaksa, malah menyarankan tak usah dijawab saja
karena tak ingin merepotkan.)
Rasanya bukan dia saja satu-satunya ‘korban’
saya. Barangkali Dom pun rasakan hal serupa. Begitu pun Uji (?). Atau juga
Iqbal? Baiklah, saya akan berhenti. Termasuk berhenti membeli koran edisi
Minggu terbitan lokal dan nasional cuma untuk membaca rubrik sastranya saja.
Lebih baik saya memokuskan diri untuk beli dan baca buku ukuran radial saja.
Saya harus lakukan hal baru dalam hidup ini. Sebab saya tak merasa maju dan
cerdas dengan membaca esai selain cuma rasa ingin tahu akan isu aktual pekan
ini. Atau cerpen yang cuma bikin cemburu, terutama pada Eka Kurniawan dengan Assurancetourix-nya
(Koran Tempo), sebab ia pelahap filsafat. Atau pada puisi yang
berkibar sementara saya mulai gagap dan enggan ‘mengoyak’ bagian terdalam, atau
saya beranggapan tak ada hal dahsyat bagi kehadiran momen puitik utusan sang
Dewi Puisi.
Barusan saya membaca Perempuan yang
Dihancurkan, Simone de Beauvoir. Novelet dalam novel kalau boleh disebut
demikian karena cerpennya panjang dan mendetail; subjektif pada sisi lain
sekaligus menuntut objektivitas pembacanya untuk ‘melebur’; murung dan pesimis;
eksistensialis di satu sisi dan seolah menolak periadaan Tuhan karena segi
religi sama sekali tak ditampakkan, seolah ia hanya berkutat dengan homo
sapiens saja; tragik sekaligus empatik; dan harus saya akui itu karya
cerdas yang rumit untuk memahaminya dibutuhkan lebih dari sekali baca.
Padahal sebelumnya saya tak suka filsafat
karena membosankan dan penuh kontradiksi-kontradiksi pemikiran yang gamang.
Saya harus bersentuhan juga, karena sudah bosan dengan cerpen-cerpen di Annida
yang kadang-kadang isinya hitam-putih. Sampai cerpen Islami di media lain yang
berkesan lugu atau menggurui. Seperti bagaimana seseorang bisa hijrah begitu
saja dengan ‘mudah’, padahal saya harus melalui tahapan yang kontradiktif dulu
sampai bertemu akhwat macam Chie yang mengubah paradigma tentang jilbab
tanpa ia tahu. Betapa saya merasa bodoh karena dulu pernah terbelenggu akan
‘pakaian takwa’ yang tak diyakini karena pemahaman agama kurang mendalam.
Di acara Malam SIH Award 2002, Daus
sendiri heran mengapa saya berjilbab lantas mengaitkan dengan keliaran
imajinasi yang bisa terhambat. Dan saya sanggah dengan Abidah El-Khalieqy.
Sebenarnya ada Dinar Rahayu juga. Namun Ode untuk Leovold Von Sacher-Masoch
terselamatkan dari anggapan semacam novel Wiro Sableng sampai karya Enny
Arrow (yang, maaf, saya baca saat masih 12-14 tahun), karena segi ilmiahnya (meski
terasa dipaksakan karena ada tokoh lain yang paham juga soal biokimia); selain
bahasa yang cukup apik meski struktur ceritanya membuat saya terganggu untuk
menyelam lebih dalam karena, seperti yang pernah dikupas Darpan Ariawinangun di
Khazanah ‘PR’, dibutuhkan pemahaman tentang mitos Skandinavia. Selain
itu, novel Dinar mengekor gaya tutur Ayu Utami. Fragmentaris.
Ya, Dinar bisa menulis sesks, tanpa beban (?),
meski ia jilbaber. Meski Helvy Tiana Rosa kecewa dan menyayangkan. Dalam hal
ini diktum Tony Morison barangkali berlaku di sini, “Biarkan imajinasimu liar
tanpa beban.”
Ah, apa yang harus saya lakukan di
antara ingar bingar tabrakan ideologi. Esai Medy Loekito di Republika
dan Jurnal Perempuan (7/2003) menunjukkan perspektif lain dari perempuan
penulis, seksualitas yang berlebihan, sampai ‘sastrawangi’.
Maka, Abda, tak ada jalan lain bagi saya selain
menghentikan semua kegamangan akan sesuatu dengan menelaah buku-buku yang
sebelumnya enggan saya sentuh. Saya butuh variasi. Menjadi cerdas tetaplah
suatu tanda tanya. Dan saya juga tak malu bilang tak tahu termasuk mengakui tak
tahu apa-apa pada suatu pertanyaan yang diajukan (sebab saya juga tak ingin
menutup kesempatan untuk belajar dan menyerap ilmu dari lawan bicara).
Atau, ketika Monique yang impulsif penasaran
bertanya pada Dr. Marquet apakah dirinya pintar. Lalu ia mendapat kesimpulan,
“Ya, pasti: tetapi kepintaran bukan suatu kualitas dengan eksistensi
independen: ketika aku terus-menerus meraih obsesiku, kepintaranku tidak lagi
kumiliki.” (The Woman Destroyed, Simone de Beauvoir: 2003.)
Demikianlah, Abda, apa yang saya tahu dengan
menjadi ‘manusia cerdas’: kita bisa cerdas untuk suatu hal namun di lain hal
bisa bodoh juga. Tidakkah kita berpikir di balik isi tempurung kepala kita,
terkadang kita melakukan hal-hal yang tak termaafkan.
Maka saya harus berhenti. ‘Milis’-nya sampai di
sini.
Epilog
~ Terima
kasih untuk semua. Untuk persahabatan dan waktu Anda, juga untuk
menyadari bahwa saya masih lugu akan suatu nilai interaksi sosial: ada
rambu-rambu yang harus saya pahami.
~ Kutunggu novel otobiografimu, Abda. Undang saya ya,
dan beritahu jauh hari agar siap [maaf, anggaran literalnya takut keburu habis
sebelum waktunya].
Selamat
menjelajah juga, Kawan! (Dengan dua jari tangan ‘menembak’ ala Lucky Luke )
~ Halo
Lasya, bagaimana rencana penerbitan antologi puisimu?
~ Uji,
suratnya sudah dibaca ‘kan? Maaf terpaksa saya titip pada kawan Abda di CCF
untuk disampaikan pada Abda. Saya berharap Kamis itu bisa jumpa kamu juga di
pementasan teater Musuh Masyarakat, Hendrik Ibsen. Saya datang telat
karena sebelumnya tak yakin akan nonton sebab sepulang kerja ibu lagi pergi dan
pulang jelang isya. (Bagaimana ia mendapati rumah kosong dan anak perempuannya
keluar malam tanpa permisi?)
Kamu punya pilihan untuk tak menjawabnya. Don’t worry, Dear.
~ Dear
Iqbal, I lost words and nothing to say.
~
Matdon, semoga Anda tak menyesal pernah mengenal saya. Saat seseorang
ingin jujur, ia meluangkan waktunya meski malah berakhir dengan kekonyolan atau
omong kosong murahan. Ada yang salah dengan esai itu.. Saya seolah menelanjangi
Anda. Saya tak mengenal Anda seakrab Abda dan yang lainnya dengan Anda, jadi
saya berusaha menjadi ‘orang luar’
tanpa beban. Kalau pun saya telah menjatuhkan, bisakah insiden itu membuat Anda
bangkit kembali. Berkarya dengan percaya diri sekaligus selektif. Ataukah opini
saya tak lebih dari hal remeh belaka? Atau sesuatu yang tak termaafkan?
Tiba-tiba saya ragu untuk jadi kritikus.
~ Kang Erwan,
lebaran ini saya memilih di Bandung. Sikonnya tak memungkinkan untuk
mudik. Capek dan boros, lebih asyik berlebaran bareng kawan-kawan
lama.Barangkali bulan depan ziarah-nya.
Entah apakah saya akan mengirim kartu lebaran seperti dulu pada Akang dan
keluarga sebagai semacam silaturahmi. Saya senang jadi orang dewasa (meski tak
bisa sepenuhnya mengubur ingatan kolektif tentang masa kanak-kanak yang pahit),
namun saya sadar untuk jadi dewasa dalam artian yang sesungguhnya bukanlah hal
yang mudah.
~ Saya tak
bisa mengulas Saya Tahu, Saya akan Mati, di Laut. Atau akan berakhir
dengan format esai Senja yang Bercerita, Seno Gumira Ajidarma yang masih
payah sebagai esai. Saya masih harus belajar!
~
Penggunaan internet belum optimal benar selain untuk kirim tulisan, imel,
cari info, kadang-kadang chatting (terakhir kali chat di #antituhan
diskusi soal agama, filsafat, Heiddeger, Simone de Beauvoir, Sartre,
eksistensialis yang dianggap paham orang minder, nasib TKW, Fatima Mernissi
yang menanggalkan jilbabnya karena diskriminasi fikih, kaum fukaha yang
kebanyakan dikuasai lelaki; dengan PINK’ FLOYD dan Monyet Jelek -- sialan
mereka, kaum Shakesperean!). Saya ingin selancar di www.ut..ac.id. Suatu saat kelak, jika
sudah mapan dan waktunya memungkinkan, saya ingin kuliah di Universitas
Terbuka, ambil Sastra Indonesia. Wallahu a’lam.
~ Maaf, selain
untuk memberi napas pada Abda atau siapa saja yang barangkali kelimpungan
dengan sekian imel yang masuk, September-Oktober kemarin saya ikut lomba
menulis artikel yang diadakan PLN dan kirim opini lebaran untuk majalah Muslimah.
Sayangnya saya kalah lomba, artikelnya terlalu simpel atau pragmatis. Begitu
pun dengan LMCPI VI Annida, Sinta Yudisia memang mengagumkan.
~ Majalah Annida
formatnya tambah bagus, dari isi sampai perwajahan: bervariasi dan full
coluor! Jadi ‘sejuk’ baca sajak Lasya yang dimuat Annida No.
1/XIII/2003. Latar hijau daunnya pas banget. Kapan Horison
menyusul, ya? Monoton, tuh. (Punten, Kang!)
~ Di balik
kegagalan dan kekecewaan, masih juga Tuhan berbaik hati mengirim perantara-Nya,
lagi-lagi saya dapat kiriman buku (komik DAR! Mizan, Hati yang Berbinar)
dari majalah ‘alimah untuk kuis
yang Oktober kemarin saya ikuti. Padahal saya belum baca majalahnya, suka telat
terbitnya (kayak Horison juga). Alhamdulillah, saya anggap kado milad
ke-28 bulan ini. Tuhan baik banget, ya, habis tiap November Dia selalu
memberi saya kejutan tak terduga, sejak 2000 lalu; entah pemuatan puisi, antologi
puisi bersama Jendela Seni, menang lomba menulis, sampai hadiah kuis. Saya
bersyukur masih diberi kepercayaan untuk hidup selama ini. Dan bulan ini genap
setahun saya hijrah, semoga saya, sebagaimana Anda semua, senantiasa dalam
naungan Hidayah-Nya. Amin 3X.
~ Ternyata
bikin komitmen tak baca koran Minggu susah juga, bagaimana saya bisa tahu karya
kawan-kawan yang sedang berkibar, seperti sajak Uji tadi (16/11). Rugi rasanya
kalau terlewatkan. Sajakmu murung, Ji, namun saya takut mengartikannya sebagai
sesuatu yang khusus, ke-GR-an deh saya kalau ternyata itu bukan
ditujukan sebagai ‘berbalas puisi’. Bukan karena ‘samar’ melainkan, sebagaimana
saya, tentu ada banyak ‘orang’ dalam hidupmu?
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1424 H
Minal Aidin Wal Faizin
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Wassalam,
Rohyati Sofjan
Do you Yahoo!?
Protect your identity with Yahoo! Mail AddressGuard
Protect your identity with Yahoo! Mail AddressGuard
tendy somantri Snippet unavailable
Nov 17, 2003
Iman Abdurrahman Snippet unavailable
Nov 18, 2003
Me
To Iman
AbdurrahmanILesmana@kraftasia.com
Nov 25, 2003
Halo Penyair,
Meski milisnya
dilikuidasi, bukan berarti kita tak akan kontak lagi. Silakan saja kalau Abda
ingin kirim imel, baik yang personal atau 'keroyokan'; terang maupun gelap, akan
kubaca dengan suka cita. Cuma aku terpaksa berhenti milis-milisannya, I think
must.
Begitulah, Penyair,
aku pun belajar mencintai puisi sebagai puisi bukan sebagai aku yang sepi;
meski aku memang sepi.
Sekarang lebaran,
barusan aku keliling menemui beragam kawan lama. Apa kabar lebaranmu, Bung?
Jangan lupa beritahu
aku jauh hari untuk launching novelmu. Insya Allah aku akan coba hadir dan
mengapresiasi.
Demikianlah hujan
November, aku cinta hujan.
Sobahum magribi.
Gurun
Iman Abdurrahman <bogalakon_tea@yahoo.com> wrote:
Iman Abdurrahman <bogalakon_tea@yahoo.com> wrote:
'aku tidak cinta puisi, puisi cinta
aku'
begitulah yg pertamakali ingin
kukatakan padamu. Kata-kata itu mungkin tak terlalu penting bagimu tapi tidak
bagiku. Menjadi penting karena selalu saja puisi hadir dan memaksaku untuk
dibacanya, mereka begitu sangat mencintaiku. Mereka berbondong-bondong
mendekatiku dan memberi salam padaku. Bila suatu ketika kau berjalan ke sebuah
toko buku dan buku-buku itu mencintaimu, mereka akan ngantri padamu untuk dibaca. Entah kapan mungkin suatu ketika. he..3x
email yg panjang kadang lebih
menggairahkan utk dibaca walaupun bisa jadi juga membosankan.
rohyati sofjan yg baik dan gemar
menulis serta membaca ingin aku bisikan padamu 'referensi (tentu, dalam sudut
pandangku kini) bukan pilihan untuk menulis.' Menonton banyak film, membaca
banyak buku, menjelajah banyak kota, menelusuri banyak gang sempit, mendaki
banyak gunung, mendengarkan banyak musik, untukku bukan untuk referensi dalam
menulis. Bukan, bukan untuk itu. Kulakukan banyak hal dalam hidupku karena aku
mencintainya. Aku ingin jadi diriku yang Aku cintai, kamu cintai, teman-temanku
dan sahabat-sahabatku cintai, orangtuaku cintai, dan Tuhan cintai. Apa yang
lebih berharga yang bisa kita bagi selain cinta? Mungkin doa tapi itu pun karena
cinta.
Salam + Sekarung Doa "Semoga
kita diberi keselamatan dan kesehatan"
Iman Abda
NB: Tidak penting lagi likuidasi milis atau tidak bagiku
yang penting bagiku dalam mengenal teman-teman adalah untuk belajar mencintai.
Bukan kah begitu seharusnya hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D