Pasar Limbangan
Oleh Rohyati Sofjan
*Penulis Lepas Cum Ibu Rumah Tangga
T
|
erpana
kala tiba di halaman terminal Limbangan. Ke manakah gerangan pasar? Bangunan
telah kehilangan atap. Ada cemas meruyak. Saya, anak, dan suami seperti musafir
tersesat menyaksikan pemandangan tak terbayangkan. Pasar kehilangan wujud,
hanya rangka bangunan yang tersisa. Akan dibongkar? Karena apa? Lalu ke mana
semua penghuninya?
Karena
lelah, saya ajak anak dan suami untuk duduk berteduh di bangku terminal.
Dicekam ekstase kebingungan pada Dhuha yang riang. Terakhir kami duduk-duduk di
sini kala Idul Adha, menunggu elf untuk ke Cilengkrang, Bandung. Dan sekarang,
Jumat 25 Oktober, hidup bergerak cepat dalam perubahan tak terkira, bagi orang
kampung seperti kami yang jarang “turun gunung”.
Kami
mengobrol dengan ibu-ibu yang sedang duduk di bangku depan tentang pasar.
Beliau bilang pasar telah pindah ke belakang. Kami pikir di komplek pertokoan
seberang jalan. Dan setelah berkeliling di tempat itu, bingung kembali
menyergap. Alhamdulillah, bertemu Ceu
Tini yang habis menggiling baso di kios sana. Tetangga sekampung yang buka
usaha warung baso dan gorengan itu memberitahu arah pasar. Di Lapangan
Pasopati. Suami saya kebingungan. Ceu Tini bilang pada suami kalau saya tahu
arahnya. Tentu saja, karena dulu saya bersekolah di SMU Al Fatah, seberang
lapangan. Ceu Tini bergegas mendahului kami yang berjalan santai, mencegat sado
di depan mulut Jalan Pasopati. Gesit langkahnya, seakan tak terhalang beban
keranjang isi berkilo-kilo bakso giling mentah yang nanti akan diolahnya di
warung atau rumah.
Saya
nikmati kesempatan perjalanan ke pasar sebagai semacam napak tilas nostalgia
masa sekolah. Takjub pada begitu banyaknya perubahan yang terjadi pada Jalan
Pasopati yang dulu lengang dan tenang. Sebaliknya, suami saya yang bukan orang
asli Limbangan merasa seperti mengarungi dunia antah, dicekam cemas akan apa
yang ada di depan. Ia asing pada pengalaman saya, bagaimana saya
membaginya? Sebaliknya Palung tak
peduli, bocah jelang 4 tahun itu dari kemarin merengek ingin mainan robot-robotan.
Akhirnya
tibalah kami di area pasar. Terpana sekaligus terpesona. Bertemu kawan sekelas
di SMU yang menyapa. Ia sekarang jadi tukang ojek. Kami bertukar kesan tentang
pasar. Ternyata ia pun bingung dengan begitu banyaknya perubahan. Lapangan
tempat kami pernah lari-lari keliling sampai beberapa kali putaran menjelma
arena transaksi jual beli yang ramai.
Di
dalam pasar seluas lapangan sepakbola, saya menemukan wajah-wajah asing,
kebingungan mencari di mana gerangan kios yang biasa kami sambangi. Namun di
sana pula saya bisa melihat wajah lama yang sudah dikenal, seorang kawan
seperlatihan karate kala zaman sekolah
(dari SMUN Limbangan), sibuk melayani pembeli. Kios pakaiannya lebih
besar sekarang. Dulu ia hanya mendapat tempat di gang pasar. Dan di lorong
lain, kawan seperlatihan karate asal Randukurung membuka kios kosmetik. Saya
mengenalinya meski ia telah berubah banyak, sedang ia hanya melirik sekilas
saja.
Saya
mencintai Limbangan meski lahir dan besar di Bandung. Kala-kanak-kanak,
interaksi pertama dengan Pasar Limbangan sama sekali tak mengesankan. Hanya
bangunan dengan jongko-jongko sederhana. Saat itu zuhur, seorang pedagang
sedang mengemasi barang-barangnya dalam karung besar. Saya heran dengan
pemandangan semacam itu. Tak ada dinding dalam setiap jongko. Sungguh jauh
berbeda dengan Pasar Kiaracondong Bandung, tempat keluarga kami biasa belanja.
Kemudian waktu bergulir, mulai akrab dengan pemandangan pasar kala remaja.
Biasanya kalau ke sekolah (dari tahun 1994-1997) naik sado dari pangkalan
Cianten, turun di halaman pasar, masuk ke
dalam lorongnya, lalu menyeberangi jalan raya untuk ke Jalan Pasopati.
Pulangnya naik sado yang mangkal di halaman pasar. Belum kenal arti kemacetan
di depan pasar, kala itu tukang sado belum tersingkir dari tempat mangkalnya
yang digantikan jongko-jongko tumpah ruah.
Setelah
pasar hijrah. Tentu ada harapan, cuma untuk sementara sampai perbaikan pasar
lama selesai tepat pada waktunya (sebelum ramadhan 2014?). Ada rasa kehilangan.
Sekaligus cemas karena lingkungan pasar dekat sekolah. Juga agar perbaikan pasar
lama menyediakan areal mangkal untuk sado-sado, selain tempat parkir, yang tak
menimbulkan kemacetan. Bagaimanapun, sado di Limbangan memiliki nilai historis
tersendiri. Janganlah tersingkir lagi!***
Limbangan, Garut, 25 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D