RESENSI
( Pustaka Nusantara)
Puisi yang Dimabuk Senja
DATA BUKU : KUUKIR SENJA DARI BALIK JENDELA
PENULIS : NOVY NOORHAYATI
SYAHFIDA
PENERBIT : PUSTAKA NUSANTARA
CETAKAN : PERTAMA, DESEMBER 2013
TEBAL : 109 HALAMAN
ISBN : 978-602-7645-18-9
HARGA : RP35.000,-
ADALAH
senja, panorama yang senantiasa mengilhami penyair untuk memuisikannya,
menggoda orang turut menafsirkan dalam beragam persepsi sesuai ranah
pengalaman. Dan Novy Noorhayati Syahfida mengumpulkan kepingan senja yang sarat
cerita dalam antologi puisi tunggalnya, Kuukir
Senja dari Balik Jendela.
Seperti
Seno Gumira Ajidarma yang bercerita dalam cerpen “Senja di Balik
Jendela”, Novy mengukir senja dalam
puisinya, senja yang sarat cerita. Sukacita dan duka berbaur menjadi satu dalam
irama kehidupan, dan yang menyatukan kepingan manik kenangan adalah cinta.
Berceritalah
tentang cinta dalam balutan senja, maka dapatkan panorama rasa yang
menghanyutkan. Sebagai penyair, Novy cenderung liris sekaligus lembut
memuisikan senja; meski marah, sedih, bahagia, atau terluka.
Bisa
saja baginya, senja telah mati/ dalam
pekik sunyi nelayan pantai/ terkurung bersama ribuan camar tua/ yang terluka// dalam “Kematian Senja”. Atau juga
mengumpamakan dirinya sebagai, aku ini
senja/ yang kadang berwarna jingga/ namun pernah pula merah menyala/ …aku ini
senja/ jangan panggil yang lain/ karena senja tak meninggalkan sisa// (hal
24).
Senja,
dalam tafsiran KBBI, bermakna waktu (hari) setengah gelap, sesudah matahari terbenam. Apa yang tersisa
dari senja sendiri selain kegelapan malam. Apakah Novy, sebagai senja, merasa
dirinya tak menyisakan apa-apa setelah pudarnya pesona yang dipancarkan jika
“gelap” menjelang, hanya meninggalkan kehampaan dan ruang misteri terbesar?
Akan
tetapi, jika dirinya adalah senja, setiap saat selalu memampangkan pesona
meskipun pada akhirnya karam ditelan malam. Pun sebagai penyair, Novy seakan
dimabuk senja, lalu mengajak kita ikut berpesta dalam “Aku Senja dan Kau adalah Ombak”: Aku senja dan kau adalah ombak/ bertemu
dalam satu titik yang sama/ kerinduan…/ pada batu karang serta pepasiran/ pada
nyiur yang melambai enggan// Aku senja dan kau adalah ombak/ yang letih
mengharap/ pada cinta…/ di luasnya samudera/ di langit nan jingga// Aku senja
dan kau adalah ombak/ aku yang dimabuk cahaya/ dan kau yang bersetia/ mari kita
tuang lagi satu puisi/ di sini, di pantai ini…//
Ada
100 puisi dalam antologi ini, Proses kreatif yang panjang dan produktif, dengan
titi mangsa tahun 1997 sampai 2013. Betapa Novy rajin berkreasi mengolah alur
pikir dan rasa menjelma puisi. Dan dengan judul
Kuukir Senja dari Balik Jendela,
sebenarnya seakan menunjukkan betapa Novy merasa dirinya sebagai pengamat. Dari
balik jendela ia menyaksikan berbingkai-bingkai panorama senja yang sarat
cerita.
Puisi
yang ditulisnya cenderung pendek, liris,
dan mudah dipahami. Bermain dengan imaji. Ada yang kuat ada pula yang lemah.
Bergantung selera penafsiran pembaca. Penyair kelahiran Jakarta, 12 November
1976 ini menulis puisi sejak usia 11 tahun. Jika dirunut dari jejak panjang
kepenyairannya berarti Novy telah 26 tahun berpuisi. Rekor yang mengagumkan.
Setiap
puisi mengajak kita menapaktilasi peristiwa yang dipaparkan penyair, setiap
puisi adalah kelindan peristiwa itu sendiri. Dan setiap puisi merekam takdir.
Meskipun sepi.
Puisi
membawa kita pada keheningan atau hiruk-pikuk peristiwa. Ditujukan pada
seseorang atau sesuatu, ada juga untuk pencipta langit dan bumi. Puisi adalah
kabaran jiwa, upaya manusia agar karsa terpelihara.
Begitu
pun dengan Novy, bersikeras menjaga elan vital karyanya bukanlah hal mudah.
Sebagaimana pasang-surut laut, hidup pun adakalanya membuat kita terpuruk. 100
karya yang ditawarkannya adalah upaya mengajak pembaca menafsirkan sekaligus
menikmati senja. Senja bisa mengajak kita memahami rahasia usia, sekaligus
sesuatu yang fana.
Sebuah
catatan bagaimanapun harus ditorehkan sebagai apresiasi sekaligus kritik
konstruktif. Sebagai penyair Novy telah memiliki ciri khas dalam puisinya,
pilihan diksi yang sederhana dan mudah dipahami. Seakan ia ingin leluasa
berkomunikasi, mendedah pikir dan rasa tanpa kendala. Dan rima pun terjaga.
Akan tetapi, masih ada yang perlu dikoreksi. Kekinian dalam berbahasa!
Puisi
bisa berlindung di balik licentia poetica, namun sebagai penyair yang baik
janganlah mengabaikan gramatika. Ilmu tata bahasa bagaimanapun untuk
melengkapi karya penyair agar lebih bernas. Samudera yang dipilih Novy kiranya
bisa “dibakukan” menjadi samudra. Janganlah bunyi dijadikan dalih sebagai
pemberi kekuatan dan pengaruh bagi puisi, bagaimanapun bahasa jangan dikebiri.
Sebaiknya
penyair khatam EYD dan panduan berbahasa agar karyanya tetap elok dinikmati
sepanjang masa. Dan semoga kelemahan Novy dalam beberapa bagian kelak bisa
dikoreksi. Tabik! (*)
ROHYATI SOFJAN, Penulis lepas,
tinggal di Garut
Limbangan, Garut, 12 Februari 2014
> Dimuat harian Jawa Pos, Minggu, 16 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D