Cerpen Rohyati Sofjan
Bagi Haris, tidur
siang itu sangat membosankan. Ia sungguh ingin meneruskan permainannya dengan
teman-teman di luar dan tak diganggu lengkingan suara Ibu lalu menggelandangnya
pulang agar tidur siang. Haris merasa sudah besar, tak perlu lagi rutin tidur
siang.
Ibu
akan marah jika Haris tak tidur siang, kata ibu tidur siang itu penting karena
tubuh butuh istirahat. Dengan tidur siang, segala aktivitas untuk nantinya akan
lebih segar. Harus Haris akui apa yang Ibu katakan benar, namun Haris malas
tidur siang, lebih tepatnya malu digelandang pulang. Haris pernah protes tapi
Ibu bilang kalau tidak diingatkan Haris akan lupa diri sebab tak disiplin. Ibu
tak akan menggelandang Haris asal bisa pulang tepat waktu untuk tidur siang.
Dan itu yang tak bisa Haris lakukan.
Seharusnya
Haris sadar, kalau ia bosan digelandang apa Ibu juga tak bosan? Namun Ibu
memang baik dan sabar, hanya memanggil Haris lalu mengajaknya pulang dengan
lembut di depan teman-teman, tidak seperti ibunya Juan yang galak dan suka
membentak-bentak, pakai acara jewer telinga segala kala menggelandang Juan
pulang untuk tidur siang. Haris dan kawan-kawan sampai ngeri melihatnya. Ibu
Juan tinggi besar, gemuk lagi, apalagi Juan yang paling bongsor di antara
mereka.
Tidak
semua teman haris tidur siang, kalau berkumpul dalam permainan mereka suka lupa
diri. Ada Dito yang akan pulang dengan sukarela karena katanya mau tidur siang
dulu, capek. Cuma Haris dan Juan yang sering abai sampai harus digelandang.
Mengapa
Haris tidak meniru Dito? Anak itu rajin dan disiplin.
Sekarang
Haris sengaja tak tidur siang, asyik main di empang bersama kawan-kawan,
mencari ikan di empang yang sedang dikuras isinya. Ibu tidak terlihat, mungkin
kebingungan karena Haris mainnya dengan anak-anak lain di luar kompleks, masih
merupakan teman sekolah. Ibu pasti marah karena main tak bilang akan ke mana, Ibu
tahunya Haris main dengan teman-teman sekompleks, kayak Dito cs. Ibu pasti tak
mengira Haris akan keluyuran, lebih tepatnya sengaja keluyuran agar bisa
menghindar dari kewajiban tidur siang yang menyebalkan.
Hari
menjelang asar ketika Haris pulang dengan riang, membawa sekeresek ikan segar
pemberian Diwan, hasil menguras empang engkongnya tadi. Sempat makan siang
bareng keluarga besar Diwan, juga kawan-kawan. Haris pikir Ibu mungkin akan
marah karena main tak bilang ke mana dan tak pulang untuk tidur siang. Namun
Haris harap Ibu senang melihatnya membawa ikan.
Haris
tiba di rumah dan heran melihat keramaian, ada apa gerangan? Para tetangga
hanya memandang. Membiarkan Haris masuk ke dalam.
“Ibu!”
Ternyata
Ibu tak apa-apa, yang apa-apa cuma Kak Salsa, kata Pak RT di ruang tamu ini, ia
ternyata jatuh dari sepeda ketika hendak menjemput Haris di empang. Ada motor
slebor menyerempet sepedanya dari arah belakang. Lutut dan sikut Kak Salsa
cedera, untung ia memakai helm khusus bersepeda jadi kepalanya tak apa-apa.
Namun kaki kiri Kak Salsa harus diperban karena patah. Syukur ada yang banyak
menolong dan segera membawanya ke klinik terdekat. Haris hanya diam. Ia lesu
memandang kakaknya yang berbaring di kursi Cellini yang biasa merangkap
ranjang di depan televisi ruang keluarga, dirubung kawan-kawannya. Bungkusan
plastik berisi ikan serasa tidak sebanding dengan apa yang dialami kakaknya.
Kak Salsa yang baik pasti marah sekali, apalagi Ibu. Juga Bapak. Haris sangat
menyesal. Hanya berdiri mematung, menunggu hukuman untuk apa yang telah ia
lakukan. Main jauh tak bilang-bilang hanya agar bisa menghindar dari kewajiban
tidur siang, tak sepadan dengan apa yang menimpa kakaknya hingga celaka. Haris
merasa egois.
Sebuah
tangan menyentuh bahunya. Haris menoleh. Rupanya Ibu. Haris segera memeluk pinggang
Ibu, “Maafkan Haris, Bu.”
“Ibu
sedih,” kata Ibu. “Lain kali kalau mau main mesti bilang-bilang dulu agar
kakakmu tak ikut kelimpungan mencari. Kami menguatirkanmu, Haris. Untung ada
yang melihatmu sedang di empang luar kompleks, jadi Ibu suruh Kak Salsa untuk
menjemput, tapi malah celaka. ”
Haris
cuma bisa menunduk lesu, tak berani membalas tatap Ibu.
“Mana
ikannya?” Kak Salsa malah berteriak. Haris mengkeret ketakutan. Akan diapakan
ikan atau dirinya? Kak Salsa hanya nyengir melihat ekspresi Haris. “Sudah,
jangan takut, mana ikannya? Kakak ingin segera digoreng Bik Lina, lebih segar
lebih enak.”
“Kakak
tidak marah?” tanya Haris takut-takut.
“Siapa
yang marah? Marah dikit iya, kamu itu kecil-kecil berani ngabur, pasti
gara-gara ogah tidur siang. Marah dikit lagi iya, pada bocah SD sebayamu yang
enak saja naik motor tanpa didampingi orang dewasa hingga nyeruduk Kakak.
Untung Kakak tak apa-apa. Kalau apa-apa mungkin Kakak sudah koit, hehe....”
Seperti biasa Kak Salsa yang kelas 1 SMU nyante menanggapi kejadian yang
menimpanya. Seolah itu hal lumrah. Namun Haris merasa getir. Kakaknya yang
perempuan itu memang tegar, mandiri, lucu, dan tak banyak cingcong hingga
disukai orang-orang. Tidak seperti dirinya yang suka ngeyel. Haris merasa jauh,
jauh sekali untuk bisa menjadi anak yang baik dan tak merepotkan.
Ibu
mengelus kepalanya dan berkata, “Semoga kakakmu lekas sembuh, Haris.”
Haris
hanya mengangguk. Menyerahkan bungkusan ikan pada Ibu dan menghampiri kakaknya
untuk minta maaf, memeluknya dengan hangat. Haris berjanji dalam hati untuk tak
mengulang lagi apa yang telah dilakukannya. Ia akan tidur siang dengan sukarela
agar tak ada lagi anggota keluarganya yang celaka.***
Cipeujeuh, 20 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D