(Sumber foto sampul buku diambil dari blog punya M. Badri di http://ruangdosen.wordpress.com)
Poli
Ini terjadi di suatu malam terang bulan yang tenang,
pukul sembilan.
P
|
ilihannya hanya dua: bercerai atau
poliandri?
Ia limbung disodori pilihan demikian. Itu ide Run, istri
pertamanya. Dan jelas ia tak ingin memilih salah satu di antara keduanya. Ia
mencintai Run, setidaknya itu yang diyakininya, dan ia pun tahu Run masih
mencintainya. Selain itu, ada Tristan, bayi mereka yang baru berusia 6 bulan.
Bagaimana mungkin ia bisa berpisah dengan mereka? Apa kata dunia nantinya?
Keluarga, kerabat, kawan, tetangga, sampai kolega mereka?
Ia tak ingin bercerai. Apalagi poliandri!
Di seberang meja persegi berukuran 1 X 1 m
dengan kaki rendah beralaskan karpet kecil dan beberapa bantal jenis tatami,
Run masih beku dengan pendiriannya, duduk bersila di atas bantal dengan
punggung tegak sekaligus tegang. Ia begitu anggun dalam balutan lingerie
abu-abu dan rambut tergerai sepunggung, sekaligus tak terjangkau. Sementara ia
sendiri hanya berkaus oblong putih dan sarung kotak-kotak ungu, berusaha
menilai sang istri di balik lensa kacamatanya. Rumah terasa senyap tanpa
suara-suara yang biasa berderak. Keheningan seolah mencengkeram keretakan
hubungan sepasang insan yang gagal membina mahligai perkawinan. Terang lampu
dan segala keserasian pernak-pernik ruang tengah seakan tak mampu mengusir hawa
muram di antara mereka.
Ia mencoba tersenyum. Pahit. Run balas
tersenyum. Sama pahit.
Bercerai? Mungkin itu kata kerja yang biasa.
Namun poliandri? Tidakkah Run mengada-ada, atau memang hendak membalas dirinya
yang hampir dua tahun berpoligami, dimulai sejak bulan Mei? Ia merasa nyeri.
Sesuatu menusuk bagian jantungnya, membuat pembuluh darah seolah tersumbat,
mengacaukan sirkulasi jalan udara, berakhir di kepala.
“Kukira itu cukup adil bagi kita.” Run
memecah hening, menambah pening.
“Kita? Ada
apa dengan kita, bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja?” Ia gusar
sekaligus menyangsikan ucapannya sendiri sehingga nada suaranya tak yakin.
Run tersenyum, masih pahit. “Abah sendiri
tidak meyakininya, bukan?” Ia tak bisa mendengar namun cukup peka akan suasana
hati suaminya. “Lagi pula, tujuan perkawinan kita telah hilang arah. Jadi, apa
salahnya kita bercerai, setidaknya Ayu bisa menggantikan posisiku sebagai istri
pertama. Namun jika Abah keberatan dengan perceraian,” Run mengambil jeda namun
sepasang matanya tajam menghunjam kornea mata suaminya yang dipanggil Abah,
“Aku bisa menikah lagi dengan Deni secara poliandri, setidaknya mempertahankan
perkawinan semu kita dengan syarat kita tak bercampur sebagai suami istri
lagi.”
Itu ide gila! Ia tahu itu. Run sering
melakukan hal-hal gila dalam hidupnya. Atau Run sengaja menyodorkan alternatif
poliandri untuk membagi lukanya sebagai istri yang dimadu? Ia lesu.
Ia telah mengenal Deni, kawan SMP Run.
Mereka dua tahun duduk di kelas yang sama namun waktu itu tak akrab sebagai
kawan. Run pernah terpaksa tiga tahun berhenti sekolah setamat SD, namun pada
akhirnya bisa melanjutkan lagi dan selalu belajar di sekolah umum tanpa alat
bantu dengar.
Tiga kali ia bertemu Deni dan keluarganya di
Yogya, Bandung,
lalu Yogya lagi. Dua yang terakhir untuk alasan medis ketika Deni memeriksa
kondisi kesehatan Run kala hamil dan pascalahir. Lelaki itu tampan dan
simpatik, usianya 3 tahun di bawah Run namun tampak matang dan santun. Deni
seorang dokter spesialis khusus di suatu rumah sakit Kota Bandung. Dan ia tak
punya pretensi apa-apa tentang lelaki itu, lelaki yang diam-diam telah menjalin
persahabatan khusus dengan istrinya, selama hampir dua tahun! Dan selama masa
itu ia pikir semua baik-baik saja dalam hampir tiga tahun perkawinan mereka. Ia
tak pernah berpikir Run akan mencari alternatif lain, ketika perkawinan
disudutkan situasi yang membuat ia terpaksa menikah lagi dengan perempuan lain.
Ia merasa terhina. Begitu cepat Run beralih
setelah hampir dua tahun mampu menyamarkan ketidakberesan yang menghantam
mereka. Namun haruskah ia menyalahkan Run? Perempuan mana yang rela berbagi
suami dengan perempuan lain? Namun apakah ia akan rela berbagi istri dengan
lelaki lain? Ia tahu Deni pun pasti sama tidak relanya.
“Apa alternatif Deni?”
“Bercerai.”
“Dan jika aku tidak setuju?”
“Mengapa Abah mempersulitnya? Apakah aku
mempersulit ketika Abah berpoligami?” Nada suara Run menukik naik. “Aku akan
sodorkan alternatif poliandri agar adil bagi kalian. Tak peduli kalian suka
atau tidak!”
Adil? Ia tertawa getir. Suka atau tidak?
Lagi-lagi ia tertawa lebih keras. Tak memedulikan tatapan istrinya yang
memicing dalam ketersinggungan.
Ia dihempaskan pada realita tak terduga dari
sandiwara kehidupan yang mereka lakonkan. Ia sadar Run adalah subjek
sebagaimana dirinya, sebagaimana Ayu, sebagaimana Deni. Dan sebagaimana pula
Tristan yang tak terusik di kamarnya dalam naungan kelambu, kamar bergradasi
kuning pastel dengan boneka bebek-bebek kuning kecil berbaris di salah satu
rak.
Run yang menata desain interior rumah
kontrakan mereka. Ia hanya membantu dari segi pengerjaan akhir yang berat-berat
seperti memaku dinding, mengecat warna, atau menaruh furnitur. Sampai menata
tanaman di kebun hidroponik mereka. Run sangat suka berkebun, tanaman hias
campur apotek hidup yang subur di sela kolam ikan besar bagian belakang rumah
dan kolam hias berair mancur kecil di halaman depan, membuat suasana rumah
sederhana berdinding gedek ini tampak teduh dan asri. Sedikit menyepi dari keramaian
perkotaan meski tidak terlalu terpencil. Masih dipenuhi rindang pepohonan.
Rumah mereka jenis rumah panggung di lembah
yang arah belakangnya menghadap hamparan sawah. Kiri-kanan rumah tetangga tidak
berdempetan. Ada
listrik, sumur, dan kamar mandi. Terdiri dari 6 ruangan yang masing-masing
dibagi dalam 2 kamar tidur; ruang tamu dengan kursi-kursi rotan ringan dan
lemari berisi televisi, pemutar DVD portabel, dan buku-buku; ruang tengah yang
merangkap perpustakaan dan ruang kerja; gudang yang beralih fungsi jadi musala;
dapur yang ditata secara apik dengan peralatan masak elektronik dan masih
menyisakan ruang untuk makan secara lesehan. Ditambah kamar mandi berlantai
keramik dengan sumur yang merupakan bagian agak terpisah, menyatu dengan bagian
kanan dari belakang rumah dan merupakan tempat jemuran sekaligus garasi motor
Abah yang aman.
Beranda depan berlantai papan dengan tiga
undak anak tangga dari gelondongan bambu di bagian samping yang sama terlindung
atap tripleks. Di beranda itu ada sepasang kursi plastik dengan meja plastik
yang di atasnya ditaruh jambangan berisi rangkaian daun pakis dan bunga segar
dari kebun. Kuda-kuda beranda dipenuhi pot tanaman hias yang tergantung dengan
aneka spesies herba menjulur. Ia mencintai rumah ini. Run telah bersusah payah
menatanya sejak bulan-bulan pertama pernikahan mereka. Bahkan mereka mengontrak
rumah ini sebelum menikah atas ide Run agar bisa segera menempati rumah
“pribadi” yang terpisah dari kawan-kawan sekontrakan, dua rekan kerjanya.
Ia menyukai Run yang efisien dan detail
dalam setiap perencanaan. 3 tahun ia mengenal Run sebagai kawan semilis bahasa Indonesia. Baru
tahun ke-4 ia bertemu langsung dengannya, memutuskan untuk segera menikahinya.
Meski keluarganya menentang, meski kawan-kawannya mempertanyakan, meski Run
ragu, meski kawan-kawan Run ikut menyangsikan, meski keluarga Run menyeretnya
dalam permufakatan keluarga besar seolah hidup Run adalah urusan mereka pula.
Namun ia meyakini keputusannya untuk berbagi hidup, berbagi tubuh, dan berbagi
jiwa dengan perempuan yang berusia 5 tahun di atasnya. Ia mencintainya,
setidaknya ia bisa belajar akan makna cinta bersama Run. Dan selama ini,
setidaknya tahun pertama perkawinan mereka, ia bahagia, Run juga. Sampai
sesuatu mengubah hidup mereka: ketidakhadiran anak!
Ia dan Run bersabar. Apalagi dokter bilang
mereka berdua sehat dan normal untuk memiliki keturunan, masalahnya cuma waktu
saja. Barangkali belum saatnya. Namun mereka tak henti berdoa dan ikhtiar agar
bisa utuh sebagai orang tua, berharap Tuhan sudi memberi kepercayaan.
Di tahun pertama perkawinan mereka, di sela
masa penyesuaian diri dan pengenalan karakter, Run sangat menikmati hidup dan
penuh gairah. Kian produktif menulis apa saja. Menata rumah, memasak, berkebun,
belajar menjahit dan kriya, mengatur dan menambah koleksi literatur. Sampai
belajar secara e-learning dari www.kampussyariah.com,
http://ocw.mit.edu, dan lain-lain.
Run tidak muda dan segar lagi. Usianya 31 tahun
waktu mereka menikah, namun ia sangat antusias pada berbagai hal yang mampu
menarik perhatiannya. Ia suka perjalanan dan petualangan. Belajar fotografi
dari sang suami. Sesekali mereka trekking atau tracking atau hiking
atau bermain air. Run perempuan outdoor, perbatasan antara kota dan kampung, lebih
tepatnya orang gunung, bukan tipikal perempuan rumahan yang santun. Namun ia
mencoba menjadi istri yang baik baginya. Kawan diskusi dan bercinta di atas
ranjang. Partner masa depan yang bisa diandalkan. Ia melakukan hal-hal yang tak
pernah dilakukan semasa lajang: belajar dandan. Sebab ia ingin tampil menarik
di dalam rumah sekalipun, khusus demi suami. Run telah mencoba berbagai cara
untuk meningkatkan kualitas kepribadiannya, juga kualitas kehidupan mereka.
Haruskah ia menyalahkan Run seperti yang
dilakukan keluarga dan kerabatnya hanya karena 12 bulan pernikahan mereka tidak
beroleh anak? Dan ia dihadapkan dilema oleh keluarganya: menikah lagi, tidak
tanggung-tanggung calonnya langsung disodorkan kala ia dipanggil pulang kampung
sendirian.
Sebagai anak sulung yang berbakti ia tak
bisa mengelak. Ia tak ingin menceraikan Run seperti yang diminta keluarganya.
Namun ia juga tak ingin menikahi perempuan ayu yang bernama Ayu dan usianya 24
tahun waktu itu, sebab ia tahu bagaimana perasaan Run dan komitmen perkawinan
yang telah mereka pegang selama 13 bulan. Namun ia terpaksa. Tanpa izin Run,
tanpa setahu kawan-kawan dan kolega mereka. Untuk pertama kali dalam hidupnya,
ia serasa menjadi pengkhianat besar. Dan ia telah menelan akibat dari
“pilihannya”.
Sepulang dari pernikahannya, ia mengakui
semua ketelanjuran yang dilakukan. Ia ingin jujur, apa pun risikonya. Run
terpukul. Ia pikir mereka akan bertengkar, justru Run memilih senyap dalam
diam. Tidak menerima, tidak menolak, tidak berkomentar apa-apa, juga tidak
membadai dalam cucuran air mata. Hal itu membuatnya bingung. Namun Run enggan
mendiskusikannya lagi.
Lalu semuanya berubah. Hubungan mereka
terasa kaku dan formal. Tidak ada lagi kehangatan dan spontanitas. Pelan namun
pasti, ada jarak terentang di antara mereka. Jarak yang membuat percintaan di
atas ranjang tak lebih dari suatu formalitas ritual perkawinan.
Ia sadar Run masih mau bercinta dengannya
demi kewajiban campur keinginannya sendiri sebagai seorang istri pada suami.
Namun semua berbeda, Run tak pernah mendesah dengan mesra sambil membisikkan
namanya lagi. Tak ada lagi getaran-getaran yang dulu pernah mereka rasakan. Dan
saat ia menyapu wajah berkeringat yang disiram redup lampu, tak ada lagi kecantikan
ynag terbakar gairah di parasnya. Lebih sering ialah yang terbakar rasa
bingung; apakah ia menyetubuhi Run dengan cinta atau nafsu atau terpaksa? Ia
lebih suka mengakhiri kebingungan itu dengan mencium lembut tahu lalat kecil di
atas payudara kiri Run. Satu-satunya hal yang mengingatkan pada pertama kali
mereka bercinta di malam pengantin dengan keliaran tak terbayangkan.
“Apakah akan sakit?” Run menggoda namun
serius.
Dan dengan nakal ia bilang bergantung
bagaimana nantinya sebab belum dicoba. Mereka sama-sama terbakar oleh rasa malu
dan ingin tahu. Dan ia menikmati saat itu, tubuh kurus yang menjepitnya dalam
kehangatan gairah malam pertama. Tubuh mungil yang ia tindih dengan segenap
kelembutan dan kasih sayang. Tubuh dengan tonjolan tulang keras yang pada
akhirnya sintal setelah beberapa bulan pernikahan. Run menemukan muara aman
akan makna tubuh dengan membaginya pada seorang lelaki yang menjadi suami
sekaligus qowwam.
Namun masihkah ia mampu menjadi muara itu?
Apakah Run jijik membayangkan bercinta dengan lelaki yang telah dan selalu
bercinta dengan perempuan lain, istri kedua yang menjadi madunya. Bagi Run
cukuplah Ayu berada di bagian Timur kota
ini, ia tidak ingin kenal apalagi tahu sosoknya, juga tak ingin tahu apa pun
tentangnya. Dan sebagai suami ia berusaha mengambil jalan aman untuk
menyelamatkan perkawinan mereka, dengan berlaku adil bahwa Run satu-satunya
istri yang ia cintai dan ingini. Namun sulit memang untuk adil. Sebulan sekali
ia harus bolak-balik antara kota
mereka dengan kota
yang Ayu diami. Di sana
Ayu bekerja sebagai guru.
Run tak pernah berkomentar apa-apa tentang
itu. Kian menenggelamkan diri dalam proyek tulisan-tulisannya. Kadang saat ia
pergi untuk berbagi ranjang, Run ikut pergi ke berbagai tempat untuk riset
penulisan. Dan ia tak bisa melarang. Kadang Run seperti sengaja melakukan
perjalanan panjang dengan alasan riset sebagai pelarian.
Ia menghargai upaya Run untuk mengembangkan
diri, sebagaimana Run menghargai upayanya untuk mengembangkan diri. Run
mendorongnya untuk kuliah lagi, sampai ia meraih beasiswa untuk melanjutkan
studinya di Singapura seperti sekarang ini. Beasiswa yang membuatnya bimbang
sebab Run berniat meyudahi sandiwara perkawinan mereka, melanjutkan hidup pada
persimpangan jalan masing-masing. Ia tidak ingin! Ia ingin belajar di Nanyang Technological University,
namun dalam dukungan Run. Ia lebih membutuhkan Run daripada Ayu, Run-lah sumber
segala spiritnya, tak peduli betapa hambarnya perkawinan mereka. Suka atau
tidak, Run ibu dari Tristan darah daging mereka. Darah daging yang kini
diperebutkan keluarganya untuk diurus Ayu karena sampai sekarang Ayu tak
hamil-hamil juga.
Ibu mana yang mau menyerahkan anaknya pada
orang lain, apalagi pada rivalnya? Padahal, ketika Run ketahuan hamil dan ia
berkabar pada keluarganya di Jember. Mereka malah skeptis, khawatir anaknya
cacat fisik seperti ibunya atau Run tak bisa mengurus anak. Ia coba mencurahkan
perhatian penuh pada kehamilan Run, fase semacam itulah yang membuat jarak di
antara mereka perlahan memudar. Sampai Run melahirkan seorang bayi lelaki
dengan selamat. Run ngotot agar bayi itu dinamai Muhammad Tristan Munir. Untuk
9 bulan lebih perjuangannya mengandung lalu bertarung dengan rasa sakit tak
terkira dalam persalinan, ia menyetujuinya. Run mengagumi Tristan Jones, pelaut
legendaris asal Inggris yang menjadi muallaf itu.
Bagaimana mengubah ketelanjuran? Seandainya
Run hamil satu bulan sebelumnya, pasti ia tak perlu menikah dengan Ayu. Namun
janin Tristan tercipta pada bulan ke-14 perkawinan mereka. Suatu subuh di bulan
ke-16, Run muntah-muntah di kamar mandi. Semula mereka pikir hanya sakit biasa
apalagi sebelumnya Run habis bepergian jauh. Namun ketika makin sering, ia
yakin Run hamil. Memeriksanya ke bidan di puskesmas terdekat meski Run sangsi.
Hasilnya positif. Ia bahagia, namun mata Run tampak hampa. Dan ia malu teramat
sangat. Malu pada kegagalannya sebagai suami yang menyangsikan istri.
“Kita masih harus berjuang agar janin ini
bisa lahir dengan sehat dan selamat,” kata Run lemah dan tak bersemangat,
terutama ketika mengucapkan kata “kita”. Namun Run tak mengurangi aktivitas
luarannya dalam riset kepenulisan. Itu membuatnya cemas, ia berpikir Run tak
peduli pada bayi itu, atau bayi itu bukan benihnya. Ada lelaki lain yang membuahinya. Bahwa ialah
yang bermasalah bukan Run. Apalagi pada bulan-bulan selanjutnya ketika
kandungan Run membesar, Ayu tidak hamil juga. Ia uring-uringan; pada Run, pada
Ayu, dan pada dirinya sendiri.
Namun Tristan berhasil memupus sangsinya.
Makin lama makin tumbuh besar, makin serupalah dengannya. Terutama rambut,
alis, hidung, dan bibir. Kecuali mata dan kulitnya yang mengikuti sang ibu
dengan bulu mata lentik dan warna kulit terang. Ia mencintai Tristan, ia
mencintai Run. Namun juga menyayangi Ayu meski ragu apakah mencintainya.
Kini apa yang harus dilakukan pada
perempuan yang hampir dua tahun rela berbagi suami dengan perempuan lain?
Perempuan yang tak menuntut apa-apa. Kadang tenggelam dalam kesenyapan dunia
sunyinya. Run masih berperan sebagai istri dan ibu rumah tangga yang baik. Koki
piawai menghidangkan masakan lezat dan sehat.
Run merawat dan mencatat perkembangan
Tristan dengan telaten. Memeriksakan kesehatannya secara berkala, berpantang
beberapa makanan yang ia tahu bisa merusak kualitas ASI-nya. Menenggelamkan
diri dalam literatur perawatan anak. Sesekali bertanya pada rekannya yang sudah
berkeluarga, atau dalam milis tentang keluarga. Mereka berlangganan internet di
rumah.
Run menolak campur tangan siapa saja untuk
mengurus Tristan. Tidak keluarganya, tidak ibu kandung Run yang masih
berperspektif sempit. Run tidak keberatan Tristan ikut diasuh mereka, namun
sebagai perempuan praktis yang tak memercayai klenik, ia enggan mengikuti
konsep yang tak sesuai keyakinannya. Sebagai suami yang baik ia berusaha
mengimbangi upaya Run dalam merawat dan membesarkan Tristan. Sesekali ikut
ambil bagian dalam pola asuh tersebut. Run berterima kasih atas andilnya.
Sesuatu yang membuat rasa malu itu kembali menyergap, seolah ia tidak layak
jadi ayah. Karena itu ia berupaya keras agar keberadaannya di rumah terasa
berarti bagi Run dan Tristan. Sampai Ayu uring-uringan dan sering menelefonnya
kala ia lupa giliran. Barulah ia sadar posisinya sebagai lelaki muda dengan dua
istri yang jika orang dekat mereka tahu maka akan hancurlah reputasinya.
Ia merasa dunia menertawakannya. Dan Deni,
bajingan itu mengapa harus hadir dan mengudeta posisinya? Ia sudah merasa
nyaman dengan karier mapan, jenjang pendidikan, dan rumah tangga yang…. Ia ragu
rumah tangga macam apakah itu. Ia bahagia, namun apakah Run pun bahagia?
“Apa yang Teteh tahu tentang Deni? Yakinkah
bahwa ia lelaki yang baik bagi Teteh dan Tristan?” Ia mencoba berdiplomasi
sembari mengingat kejadian tak enak di suatu malam pada bulan Mei, ketika
dengan tenang sekaligus dingin Run meletakkan sepucuk surat di meja rendah itu. Surat untuk Run, dari Ayu!
“Tolong bilang padanya, aku tidak ingin
terlibat dalam komunikasi apa pun apalagi menjadi orang sok bijak bagi
perempuan yang telah mengambil sebagian dari hidup suamiku.” Itu merupakan
pemicu pertengkaran pertamanya dengan Ayu. Run tak mau tahu apa isinya. Itu
bukan urusan Run! Dan ia terpukul dengan isi surat tersebut. Ayu menuntut agar Run membagi
suami secara lebih adil. Dari itulah jurang antara ia dan Ayu mulai terentang.
“Untuk apa Mas habiskan waktu dengan
perempuan tuli itu? Mestinya Mas di sini, ganti karier dan lebih sering
bersamaku agar aku bisa segera hamil?! Atau aku di sana dan suruh Run pulang kampung saja!” Itu
badai pertengkaran pertama mereka di Surabaya.
Dan tiba-tiba ia benci Ayu. Run memang tuli, namun haruskah dicaci maki? Ia
membenci siapa pun yang menghina Run tanpa alasan layak dibenarkan. Nalurinya
sebagai lelaki entah mengapa membuatnya selalu demikian. Run masih istrinya.
Namun sekarang, apakah Run masih menganggap ia sebagai suaminya?
“Apa yang aku tahu tentang Deni?” Run
tersenyum seolah memaklumi ketidaktahuan. “Bahwa pada tahun-tahun sulit itu
ketika Abah berpoligami, pada akhirnya aku menemu kawan bicara yang mengenal
segi baik dan kurangku tanpa takut akan dicela. Seorang kawan yang bisa memulai
persahabatan tanpa pretensi….”
“Pretensi?!” Ia memotong. “Teteh pikir
lelaki tak punya pretensi?!” Kali ini dengan bahasa isyarat cara abjad dua
tangan.
“Jangan dulu memotong,” tukas Run gusar.
“Intinya ia telah membantuku melewati semua fase sulit dalam hidup. Apakah Abah
pikir berbagi suami itu hal yang mudah? Deni mengerti bagaimana rasanya
keterbelahan, apalagi disingkirkan karena soal anak.”
“Tak ada yang menyingkirkanmu, Teh,” ia
berusaha keras meyakinkan dengan bahasa isyarat lagi, lebih tepatnya meyakinkan
diri sendiri. Entah mengapa ia merasa hilang pegangan. “Aku, aku, hanya…
terpaksa menikahi Ayu. Itu suatu,” tenggorokannya tercekat, “kesalahan.” Kali
ini bisa juga ia ucapkan itu. Namun Run bergeming meski paham.
“Aku tak membagi hal itu dengan siapa pun.
Tidak ibuku, Rusi sahabatku, Pak Tendy guruku, bahkan ‘Eyang’ kita. Untuk apa
melibatkan mereka dalam urusan pribadi, bisa tambah runyam nanti. Deni dan aku
begitu saja mendiskusikan masalah kami yang nyaris serupa. Bukankah Abah telah
mengenalnya?”
Ia bantah dengan mengatakan tidak cukup
mengenal Deni kawan SMP Run yang dipertemukan jaringan Friendster. Namun
Deni nyata, dan Run merasa yakin cukup mengenalnya untuk menggantikan posisi
sebagai suami sekaligus ayah bagi Tristan. Ia merasa nyeri membayangkan Run
akan meninggalkan kehidupan di rumah nyaman mereka, beralih pada rumah nyaman
yang lain. Membawa serta Tristan yang masih menyusui. Meninggalkannya seorang
diri di rumah kontrakan yang perlahan akan gersang tanpa kehangatan.
Membiarkannya membeku dalam penyesalan.
Ia akan kehilangan Tristan, kehilangan Run,
kehilangan hangat rumah yang telah terjaga selama hampir 3 tahun. Namun upaya
apa yang akan dilakukan untuk mencegah hilangnya rasa nyaman itu? Ia ragu.
Ia membuka kacamatanya dan bangkit.
Mengitari meja persegi, duduk di sebelah sang istri. “Kumohon,” ia menggenggam
jari jemari yang sudah beberapa bulan terasa dingin. “Jangan beri aku pilihan
yang jauh dalam lubuk hatimu pun tak kau inginkan, tak kita inginkan.” Ia
bicara dengan artikulasi suara dan gerakan yang jelas agar Run paham. Sejenak
Run diam.
“Apa yang Abah tahu tentang keyakinan ‘apa
yang kuinginkan’, apalagi mengatasnamakan ‘kita’?” Tangan itu masih dingin, tak
bereaksi pada remasannya.
“Sebab, aku mencintaimu….” Ia mengucapkannya
dengan rasa takut, takut akan penolakan. Sungguh ia ingin merengkuh perempuan
itu, namun tubuh Run menegang seolah enggan dipegang. Dan ia frustrasi
membayangkan seorang Deni akan menjadi tempat bersandar Run. Atau memang telah?
Namun ia tak berani melontarkan tanya itu, ia lebih suka menelan
kecemburuannya.
“Hampir dua tahun lalu,” gumam Run. “Saat
Abah bilang telah menikah lagi, mestinya aku sangat marah. Namun aku merasa tak
berhak. Aku merasa salah. Tidak semestinya aku menempati posisi di samping
Abah, apalagi keluarga Abah tak tulus menerimaku.” Suara itu seolah datang dari
arah yang jauh. “Aku ingin bercerai, menyingkir dari hidup Abah. Kutenggelamkan
diri dalam pekerjaan, berusaha meredam segenap kesedihan dan kemarahan. Aku
belum siap untuk bercerai, rasanya menakutkan. Lalu seminggu kemudian, entah
kebetulan atau bagian dari takdir, aku menemu nama Deni di jaringan Friendster.
Kubaca biodatanya. Ia telah menikah dan bekerja sebagai dokter. Aku hanya ingin
menyapa selain menanya kabar kawan-kawan masa SMP. Jadi kukirim pesan tanpa
meng-invite-nya, ternyata ia membalas. Dari itu kami sering
berkomunikasi. Aku menemukan kekuatan dan semangat darinya. Deni pun menemukan
hal serupa dariku. Perkawinannya ternyata sama berantakan karena soal anak.
Istrinya telah menikah lagi dan dikaruniai anak dari lelaki lain. Beberapa
waktu kemudian, aku pikir mungkin ada baiknya kita segera bercerai agar lebih
adil bagi masing-masing. Aku belum berpikir akan langkah selanjutnya. Namun di
suatu kesempatan, Deni singgah ke Yogya ditemani adik perempuannya. Tanpa
setahu Abah, kami bertiga bicara banyak secara leluasa. Ternyata ia diam-diam
sudah menyukaiku sejak kelas 3 SMP. Ia mengajakku menikah, memulai awal baru.
Namun aku ingin tahu reaksi keluarganya dulu. Lalu kepergianku ke Bandung mengubah
segalanya. Keluarga Deni lebih tulus menerimaku. Mereka ikut mendukung soal
rencana pernikahan kami, sebab bagi mereka soal anak biarlah Allah yang
mengatur. Namun nyatanya aku harus hamil dulu, dari Abah….”
Hanya kesenyapan yang merambat.
“Dan Deni harus menunggu sampai Tristan
lahir?” Ia coba memecah senyap yang seolah berabad-abad, meski tidak ingin.
Membayangkan sekian kehilangan berikut penantian sepasang “kekasih”; ketika
istrinya berencana untuk meninggalkan kehidupan yang telah mereka jalin hanya
dalam rentangan masa 3 tahun saja. Demi lelaki lain, lelaki yang sama mengagumi
dan (apakah?) mencintai istrinya. Lelaki yang sudah tentu menginginkan Tristan
untuk memanggilnya sebagai ayah, tak peduli ayah yang sebenarnya teronggok sepi
menyesali poligami. Haruskah ia menceraikan Ayu, toh Run tetap tak akan
kembali. Memilih mengepakkan sayap ke tempat lain, ke kota kelahiran (dan juga kota kelahiran Deni) yang ia cintai. Hidup
damai dan bahagia tanpa harus berbagi suami, apalagi ditampik mertua dan
kerabatnya. Akankah Deni berlaku sebagaimana mestinya sebagai suami sekaligus qowwam?
Tiba-tiba ia merasa gagal untuk dua hal.
Malam merambat pelan. Ia sadar Run ingin
bercerai, mendapatkan tempat yang adil dan sesuai bagi hidupnya, namun ia sadar
Run pun masih mencintainya, hanya membutuhkan Deni sebagai tempat aman akan
kepastian posisi. Bisakah ia berbagi istri?
Perlahan ia bergeser lebih dekat, merengkuh
tubuh Run ke dalam pelukan. Dengan kepala bersandar pada hangat dadanya ia
menumpahkan tangis sebagai jawaban. Perempuan itu tidak menangis. Balik
membelai dan menciumi kepalanya dalam diam. Begitu hangat dan menggetarkan. Di
luar, suara-suara mulai berderak. Desing angin dan konser serangga mulai
mengorkestra. Berkas-berkas cahaya bulan menyiram panorama malam. Membuat
genting, tanaman, dan air dalam kolam berkilauan.***
Limbangan, Garut, 11 Agustus 2006
Catatan:
Qowwam: Dari majalah Ummi (No.
11/XV April-Mei 2004), pertama kali saya menyadari akan makna kata yang sering
terlewat kala mengaji Al Quran. Bermakna pemimpin namun dalam cakupan yang
lebih luas lagi seperti dalam beberapa ayat Quran (QS 2:228, 2:282, 4:12, 4:34, dan 6:9). Satu kata itu sangat memengaruhi dan terus
terang saya jadi terobsesi sehingga sering masuk dalam setiap tulisan. Seolah
merupakan kata favorit untuk menentukan ciri khas tersendiri.
> Cerpen "Poli" ini alhamdulillah masuk nominasi lomba Creative Writing Indonesia (CWI) bekerja sama dengan Menpora pada tahun 2006. Dan dibukukan dalam antologi cerpen Loktong. Yang juara pertamanya ya M. Badri dengan cerpen "Loktong", indah sih karyanya, hehe.
Gak dapat hadiah doku tapi satu buah buku sebagai nomor bukti kesertaan plus piagam.
Sekarang mah gak bisa ikut lomba kayak gitu lagi, bukan pemuda, hehe. Sudah jadi emak-emak, alias jelang kepala empat.
Tetap semangat kejar target sebelum kepala empat!
> Cerpen "Poli" ini alhamdulillah masuk nominasi lomba Creative Writing Indonesia (CWI) bekerja sama dengan Menpora pada tahun 2006. Dan dibukukan dalam antologi cerpen Loktong. Yang juara pertamanya ya M. Badri dengan cerpen "Loktong", indah sih karyanya, hehe.
Gak dapat hadiah doku tapi satu buah buku sebagai nomor bukti kesertaan plus piagam.
Sekarang mah gak bisa ikut lomba kayak gitu lagi, bukan pemuda, hehe. Sudah jadi emak-emak, alias jelang kepala empat.
Tetap semangat kejar target sebelum kepala empat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D