Lelaki di Persimpangan
Ia lelah hidup
dalam dunianya. Dunia yang terpaksa dilakoninya dengan sepenuh sandiwara. Ia
telah berkeluarga. Menjadi seorang ayah yang baik bagi sepasang anak lelaki dan
perempuan. Suami ideal bagi istrinya, tetapi ia tidak mencintainya. Belasan
tahun ia telah menikah. Itu pun terpaksa karena ia pikir akan bisa meredam
kelainannya. Ternyata salah. Seorang istri yang baik, cantik, cerdas, sabar,
setia, serta mencintainya; tidaklah cukup bagi hidupnya. Ia tidak bahagia sebab
tak pernah bisa mencintainya, seberapa keras pun usahanya, sebagaimana seorang
lelaki mencintai perempuan. Ia malah merasakan getaran dan kepuasan pada sesama
jenisnya.
A
|
pa yang terjadi kini, ia melarikan diri pada beban pekerjaan karena
lebih betah di luar rumah, meski ia tahu istri dan anak-anaknya akan kecewa dan
merindukannya. Namun ia merasa demikianlah harusnya sebab tak tahu bagaimana
lagi. Ia kecewa pada dirinya yang telah gagal berperan sebagai lelaki tulen. Ia
merasa tidak jantan karena homoseksual. Ya, seorang lelaki banci dengan dibalut
fisik dan perilaku yang gagah dan sportif, namun menyimpan segenap kelemahan
terpendam.
Tiap
becermin, seperti sekarang ini, ia menertawakan dirinya. Inilah aku, batinnya
dengan getir, lelaki sejati di mata orang lain, di dalamnya tak lebih dari jiwa
yang terbelah. Keterbelahan, o, hidup memang penuh keterbelahan. Mengapa ia
harus menyimpang? Mengapa ia harus menyukai sesama jenisnya? Mengapa ia tak
bisa mencintai perempuan seperti sudah seharusnya? Akan tetapi, apakah lelaki
tercipta hanya untuk perempuan saja?!
Pertanyaan bodoh, gumamnya.
Ia ingin, sangat ingin, menjadi manusia yang sadar harus menjadi sebagaimana
mestinya sesuai jenis kelamin. Akan tetapi, ia tahu (atau rasa) tak bisa
menolak dorongan asing yang mengacaukan eksistensi dirinya. Tiba-tiba ia merasa
butuh kawan bicara.
Ia keluar dari kamar mandi.
Rumah sepi. Istri dan anak-anaknya sedang pergi. Ia merasa lega dalam
kesendirian sekaligus kesepian.
Di dalam kamarnya, ia
berpakaian. Baju kebangsaan seperti biasanya, kaus katun biru, dan kali ini
celana jins biru. Ia tersenyum pada sosok dalam cermin di lemari. Hem…, boleh
juga aku, benaknya kembali bicara. Aku masih muda dan tampan, juga gagah dan
menggetarkan. Bukan cuma perempuan yang bisa tergila-gila padaku, lelaki juga.
Ia tertawa sekadar melepas ledakan dalam dadanya.
Lelaki?
Tiba-tiba ia gelisah. Duduk
di sisi ranjang, meraih sigaret di atas meja, dan menyalakannya dengan korek.
Seketika juga asap beraroma tembakau memenuhi ruangan. Lalu ia bersandar pada
ranjang dengan sigaret yang menyala dan sesekali ia jentikkan abu pada asbak di
dekatnya. Ia merasa damai meski tahu nikotin bisa memendekkan usia, atau bikin
impoten. Ia tertawa lagi. Ingat istrinya yang memprotes kebiasaannya merokok
meski jarang -- terutama jika di dalam rumah maupun di depan anak-anaknya. Ia
menggaruk keningnya yang sebenarnya tidak gatal. Alasan istrinya apa, ya? Untuk
kesehatan atau aktivitas seksual? Ia lupa. Namun ia tahu sudah lama mereka
tidak melakukan aktivitas tersebut. Entah mengapa ia tak berselera menyentuh
istrinya. Kalaupun dilakukan, toh sekadar menyenangkan istrinya saja. Ia
justru tak merasakan apa-apa. Hampa. Tersiksa. Ia malah membayangkan sedang
bercinta dengan sesama jenisnya. Begitu terus warna hidupnya di atas ranjang.
Itu baru ranjang.
Kepalanya berdenyut. Ia
pening. Namun ia tidak tertarik minum obat pereda sakit kepala. Untuk apa?
Sakit itu bersumber dari dalam. Sakit yang tak tertahankan dan harus ia rasakan
berkepanjangan. Manusia. Ya, ia hanya seorang manusia yang penuh dilema, juga
dosa, tetapi lebih baik daripada hewan. Ia senang menjadi manusia meski harus
hidup dalam tekanan dan kegelisahan. Itu lebih baik. Ia berakal dibanding
hewan, tetapi terkadang ia gamang. Apa bedanya ia dengan hewan? Meski ia merasa
cukup beriman, tetap saja tak bisa menghindar dari keinginan untuk melanggar
sesuatu yang diharuskan; menjadikan perempuan sebagai bagian dari hidupnya.
Sebagaimana Adam dan Hawa semenjak Tuhan ciptakan mereka dan menurunkannya ke
dunia sebagai makhluk yang berpasangan. Mengapa harus perempuan?!
Ia merasa kacau. Telah
didatanginya berbagai psikolog sampai psikiater untuk terapi, hasilnya nihil.
Ia tetap tak bisa melepaskan diri dari lingkaran itu, dan merasa barangkali
sudah takdirnya harus demikian. Akan tetapi, ia takut pada akibat yang akan
timbul karena gaya
hidupnya. Penyakit sampai, yang terparah, terbongkarnya rahasia yang telah
sekian lama ia pendam. Ia tidak takut mati (ia rasa/kira), tetapi ia tak bisa
membayangkan reaksi orang-orang di sekitarnya jika penyimpangannya terbuka. Apa
kata rekan-rekan kerjanya. Memaklumi, menertawakan, atau menggunjingkan? Dan
bagaimana pula reaksi keluarga sampai kerabatnya? Terutama istri dan
anak-anaknya?
Membayangkan itu, ia merasa
sedih. Anak sulungnya seorang lelaki yang sebentar lagi lulus sekolah dasar,
dan anak perempuannya baru masuk SD. Bagaimana perasaan mereka kalau tahu ayah
yang selama ini mengayomi dan mereka banggakan sebagai pahlawan, bukanlah
lelaki sejati? Bagaimana pula reaksi istrinya, perempuan lembut itu pasti akan
sangat terluka dan kecewa, serta merasa gagal berperan sebagai perempuan karena
tak bisa meraih cinta sejati sang suami yang malah lebih tertarik pada jenisnya
sendiri. Atau malah jijik karena kawan seranjangnya pun memiliki lawan lain di
luar ranjangnya: dia bersetubuh dengan lelaki yang menyetubuhi lelaki lain, di
belakangnya!
Ia mengisap rokok dengan
tergesa, kebiasaannya jika gugup dan gelisah, lalu terbatuk-batuk. Ia bangkit.
Mematikan rokok di atas asbak. Keluar kamar. Berjalan ke arah kulkas di ruang
makan. Mengambil gelas di atasnya, membuka kulkas, lalu mengambil botol air
dingin. Menuang isinya memenuhi gelas. Lalu mereguknya. Ada rasa lega mengalir pada kerongkongan dan
dadanya. Meski sekejap. Minum lagi? Ia ragu. Namun toh dituangkannya isi
botol tersebut ke dalam gelas yang segera isinya tandas. Selesai. Ia menaruh
botol di rak. Menutup pintu kulkas. Dan berjalan ke bak cuci piring untuk
mencuci gelas yang tadi. Sebersih-bersihnya!
Dari jendela kaca di
depannya, ia melihat keluar dengan perasaan mengambang. Langit begitu bersih
tiada berawan, dan di luar kehijauan menghampar dari taman yang setia dirawat istrinya. Ia
tersenyum getir. Ada
kupu-kupu biru hinggap di rumpun mawar. Seperti itukah kehidupan? Keindahan
berjalan selaras dengan kesedihan.
Telefon selularnya
berdering. Begitu nyaring. Bergegas ia menuju ruang kerja. Tepat pada dering
kesekian ia mengangkatnya, melihat nama si pemanggil. Dari seseorang yang ia
sebut “kawan” atau lebih tepatnya “pacar”. Ia mengernyit ragu. Perlukah
mengangkatnya? Padahal ia sungguh ingin keluar dari lingkaran itu.
Tidak! Ia mematikannya.
Persetan dengan semua. Ia ingin menikmati masa cutinya bersama keluarga saja.
Lupakan sekian ajakan dan bujuk rayu sang kawan. Ia butuh kekuatan. Ia butuh
seseorang yang bisa menguatkan. Memahaminya dan memberi jalan. Namun siapa?
Berterus terang pada istrinya tidak mungkin. Apalagi meninggalkannya berikut
anak-anak mereka sebab ia tak punya keberanian, tidak senoktah pun! Ia
terombang-ambing.
Telefon berdering. Kembali
memecah hening. Itu telefon rumah. Dengan langkah berat ia terpaksa menuju
ruang tengah. Mengangkat benda sialan dengan enggan. “Halo?”
Ada suara menyapa,
itu istrinya. Ia tersenyum lega. Mengiyakan permintaannya. Ia akan segera
datang menjemput mereka dari sekolah dengan mobilnya. Telefon dimatikan.
Kesenyapan kembali menjalar. Namun tidak lama. Ia harus bergegas menjemput
istri dan anak-anaknya. Segera.
***
Di jalanan, bayang-bayang itu kembali menjalar, bayang-bayang yang
menyakitkan. Panorama di luar mobilnya menyuguhkan peristiwa seperti biasa
dalam kota yang
dihuni sekian kaum urban. Kemiskinan, kemacetan, kepapaan, juga anak jalanan
yang berkeliaran. Dulu ia pernah menjadi bagian dari sistem itu. Masa
kanak-kanak yang tak bahagia membuat ia berada di alur tak semestinya.
Penyiksaan yang dideranya telah meninggalkan trauma mendalam. Nyeri jiwani dari
keluarga yang tak harmonis membuatnya lari ke jalanan, mencoba mencari lahan
kehidupan, melebur dalam dunia preman dan gelandangan. Dunia yang membukakan
matanya akan makna hidup lebih dari yang diajarkan rumah dan sekolah. Dunia
yang memangsa si lemah menjadi pecundang. Ia tidak ingin jadi pecundang.
Melakukan pekerjaan serabutan asal halal agar bisa tetap sekolah, sebab kedua
orang tuanya yang selalu meledakkan pertengkaran dan perkelahian seolah
berlepas tangan. Waktu itu ia tak punya siapa-siapa, tidak juga kerabat dan
saudara.
Lalu waktu membawanya pada
alur baru. Ia, yang cukup tampan melebihi anak jalanan lain dan berjualan
koran, berkenalan dengan seorang lelaki yang tutur sikapnya menenangkan. Lelaki
dewasa sebaya sang ayah yang mengentaskan dirinya dari kubangan kemiskinan.
Memberinya pekerjaan dan biaya sekolah, juga petuah. Lelaki yang ia hormati
lebih dari ayahnya sendiri itulah pada akhirnya memberi nuansa tragis. Ia
tersenyum kecut mencoba menghapus jejak muram yang dibencinya. Lelaki itu telah
lama mati. Ia masih tetap hidup saja namun dengan jiwa separuh zombi.
Ia mencintai lelaki itu
sekaligus membencinya. Kombinasi benci dan cinta yang ganjil dari seorang anak
belia berseragam SD telah membawanya pada dimensi lain. Ia tumbuh dan tumbuh
sesuai usia, mengikuti alur waktu: sekolah, kuliah, dan bekerja. Semuanya
selalu disambi dengan kerja keras, juga topangan dari lelaki itu. Sampai pada
akhirnya ia menikah. Pernikahan yang tak diinginkannya namun harus dilakukan
demi mengembalikan eksistensi diri. Lagi pula, ia baru berani melakukan
pernikahan sebulan kemudian setelah lelaki itu
meninggal dalam suatu kecelakaan. Selain itu, keluarga sang pacar (ia
berpacaran dengan perempuan teman kuliahnya), mendesaknya agar segera menikah
begitu beroleh pekerjaan dengan alasan menghindari perzinaan.
Ia tidak mencintai
pacarnya, namun toh ia luluh juga untuk menikahi perempuan itu.
Perempuan yang ia tahu sangat mencintai dan mengaguminya, namun perempuan itu
tidak tahu sejarah hitam hidupnya. Ia berusaha merahasiakannya rapat-rapat!
Dan kini, rahasia itu
menggerogotinya serupa tumor. Ia lelah dan sakit dalam kubangan penyangkalan. Ada masanya seseorang
harus berhenti dari sesuatu, apalagi jika sesuatu itu merupakan kesalahan
besar. Namun bisakah ia?
Di luar, panorama itu
menggurita. Sampai ia tiba pada tempat yang ditujunya. Di depan pintu gerbang
dilihatnya istri dan kedua anak mereka menanti. Ia tersenyum. Menghentikan
mobilnya dekat mereka. Menyapa seperti biasa seolah tak ada peristiwa ganjil
yang menyelubunginya. Mereka masuk, bergembira. Senyum istri di sampingnya
seolah memberi kekuatan bagi jiwanya yang rapuh, apalagi demi dilihatnya kedua
anak mereka yang akan tumbuh dan tumbuh. Tiba-tiba ia merasa menjadi nakhoda
yang oleng dan ingin menaiki bahtera Nabi Nuh!***
Limbangan, Garut, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D