Resensi
(Foto Sampul oleh Ferina Meliasanti)
Meresapi 30 Riwayat Napas
DATA BUKU : UPACARA BAKAR RAMBUT
PENULIS : DIAN HARTATI
PENERBIT : MEDIUM DAN RUMAH SENI LUNAR
CETAKAN : PERTAMA, DESEMBER 2013
TEBAL : 98 HALAMAN
ISBN : 978-602-8144-20-9
HARGA : RP38.000
M
|
emasuki
belantara kata terkadang membuat kita sesat dalam ketakjuban atau kebingungan.
Lalu hanyut dialun rasa asing. Sebuah dunia tak dikenal telah kita masuki,
tempat belajar mengenal perasaan dan pengalaman orang lain. Dan memasuki
wilayah puisi adalah pengalaman turut serta berbagi dengan penyair.
Mengenal
Dian Hartati secara pribadi membuat saya subjektif menilai puisinya. Ia pernah
berbagi hari, hari-hari sulit dan rungsing sampai hari-hari tenang penuh
kedamaian. Begitu pun saya terhadapnya. Yang membedakan di antara kami adalah
ketekunannya berladang kata. Mendedah
setiap peristiwa yang terjadi dengan puisi.
Dunia
kami yang berbeda terkadang membuat saya iri pada kemampuan dan kemajuannya
mengolah alur rasa dan pikir sedemikian subtil. Saya tercengang membaca CV-nya
sebagai penyair. Begitu banyak karya yang diterbitkan. Dan jelang usia kepala
tiga, sadar atau tidak, ia seakan telah menerapkan prinsip penting dalam hidup:
jangan mubazir!
Membaca
Upacara Bakar Rambut, saya menyesali
diri karena tak berbuat banyak untuk melipur lara karib yang berduka. Saya
adalah pembaca yang “turut-serta” sekaligus in
absentia. Dan sekarang, saya sedang
berhadapan dengan autobiografinya. Nuansa muram begitu pekat, sepekat dukacita.
Namun saya harap Dian tak berlarat-larat dalam duka semacam itu. Marilah, masih
banyak tangan untuk digenggam, atau bahu untuk bersandar; sekadar menguatkan.
Jika
Putu Arya Tirtawirya berpendapat bahwa puisi
merupakan ungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat di mana
kata-katanya condong pada makna konotatif. Saya merasa Dian berjiwa bebas dalam
menulis puisi. Mengikuti alur yang diteorikan oleh Putu Arya Tirtawirya, namun
bisa juga sebaliknya bermain dalam ranah eksplisit sekaligus denotatif. Kentara
baginya bahwa puisi adalah bagian dari
keseharian, tempat mendedah perasaan, sebagai perempuan yang terkadang dipaksa
tegar oleh keadaan.
Dan
membaca 30 puisi dalam Upacara Bakar
Rambut bukanlah perkara mudah bagi saya untuk memahaminya. Terkadang Dian
membawa saya ke dalam dunianya yang seolah surealis, ngungun dialun mimpi.
Kata-kata boleh diungkapkan secara sederhana, namun makna seringkali
tersembunyi dalam relung gelap yang sulit dijelajahi pembaca awam macam saya.
Puisi semacam itu bukanlah ditujukan untuk menyesatkan pembaca; tak lebih dari
semacam kabut kesadaran yang sedang menyelubungi penyair kala ia dihinggapi stimung hingga trance mendedah rasa, membelah jiwa, agar menjelma makna.
di dalam semadi,/ aku
merasakan kematian yang dingin/ tangan maut terus menarik akar rambut/ aku
melihat si pemilik mata merah/ wajah bengisnya merontokkan segala usaha//
hangat tubuh mengelilingi ruang semadi/ ternyata angin tak dapat meredam semua/
tangis tak memiliki arti/ dan warna kehidupan mengacaukan isi kepala// aku
membuka mata/ melihat cahaya berkedipan/ mencari pintu, jalan keluar yang tak
juga terbuka// SudutBumi, 2013 (“Upacara Bakar
Rambut”)
Dian
seolah menjadikan puisi sebagai napas kesehariannya. Hidup dengan bernapaskan
puisi membutuhkan kepekaan yang harus senantiasa diasah, terus-menerus.
Mencermati peristiwa, bahwa hal remeh ternyata berharga. Dan cinta bukanlah
perkara remeh-temeh semata. Kalaupun dianggap remeh bagi orang lain, Dian
mengolahnya agar kita mengenal dimensi kehidupan bahwa empati dan simpati
janganlah mati.
aku sedih/ begitu aku
berbisik di telingamu/ kau masih saja bertahan di pembaringan/ berteman dengan
hangat tubuh dan batuk/ padahal tadi pagi kita telah/ melakukan perjalanan
panjang/ bercerita pada laut yang sedang bergelora/ berkisah tentang sakitmu/
pada ikan-ikan dan pasir pantai// sedang menulis puisi/ begitu aku berbisik di
telingamu/ sedikit berbohong karena sepanjang/ siang aku banyak melamun/
memikirkan kamu, rumah,/ dan tabungan yang hampir habis/ segalanya telah
kuupayakan/ bahkan aku telah lupa cara/ berkeluh di hadapanmu/ cara menangis
yang sebelumnya/ kukemas manis// duduk di hadapanmu/ aku diam/ meraba seluruh
wajah dan tubuh/ aku ingin waktu cepat berlalu/ dan kau sehat seperti
waktu-waktu lampau/ berjalan pongah dengan lelucon yang siap/ ditembakkan//
aku mencintaimu/ begitu
aku berbisik di telingamu// Bumiwangi, 2012 (“Begitu Aku
Berbisik di Telingamu”)
Baiklah,
membaca 30 puisi Dian Hartati dalam antologi ini seakan meresapi 30 riwayat
napas hidup sang penyair. Sangat kentara warna kelabunya. Seperti langit pada
akhir tahun yang lebih sering mendung. Anggap saja Dian telah membukukan
sebagian dari bab kehidupannya, bahwa kenangan adalah jejak langkah di masa
silam demi langkah lain ke masa depan. Semoga kelak Dian tetap berkarya,
mencipta, dan tidak melulu tentang duka.
Ada
hal penting yang lagi-lagi harus diperhatikan agar tak cepat berpuas diri,
kritik tetap harus mengiringi karya. Kalaupun ada yang harus saya kritisi adalah
soal terlalu cairnya Dian membahasakan puisi. Butuh kehati-hatian ekstra agar
irama tak dikebiri. Ya, rima dalam persajakan bagaimanapun memberi ruh bagi
puisi agar tak cuma enak dan indah diresapi, juga menguatkan makna. Jadi,
janganlah demi mengejar momen puitik lantas mengabaikan bangunan estetik.
Jika
Ralph Waldo Emerson bilang, “Puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan
kata-kata sesedikit mungkin.”
Berbahagialah penyair. Mencipta puisi di tengah gebalau dan bising
peristiwa adalah hal istimewa, sebab kita telah menjadikannya ada, mengabadi
dalam kata.(*)
Limbangan, Garut, 26
November 2013
*Rohyati Sofjan,
Penulis Lepas Tinggal di Limbangan, Garut
Ø Dimuat di harian Jawa Pos, Minggu,
5 Januari 2014
(Foto Koran oleh Anang Muaddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D