Rabu, 26 Februari 2014

Meresapi 30 Riwayat Napas



Resensi

(Foto Sampul oleh Ferina Meliasanti)

Meresapi 30 Riwayat Napas


DATA BUKU            : UPACARA BAKAR RAMBUT

PENULIS                   : DIAN HARTATI

PENERBIT                : MEDIUM DAN RUMAH SENI LUNAR

CETAKAN                 : PERTAMA, DESEMBER 2013

TEBAL                       : 98 HALAMAN

ISBN                           : 978-602-8144-20-9

HARGA                      : RP38.000


M
emasuki belantara kata terkadang membuat kita sesat dalam ketakjuban atau kebingungan. Lalu hanyut dialun rasa asing. Sebuah dunia tak dikenal telah kita masuki, tempat belajar mengenal perasaan dan pengalaman orang lain. Dan memasuki wilayah puisi adalah pengalaman turut serta berbagi dengan penyair.
Mengenal Dian Hartati secara pribadi membuat saya subjektif menilai puisinya. Ia pernah berbagi hari, hari-hari sulit dan rungsing sampai hari-hari tenang penuh kedamaian. Begitu pun saya terhadapnya. Yang membedakan di antara kami adalah ketekunannya  berladang kata. Mendedah setiap peristiwa yang terjadi dengan puisi.
Dunia kami yang berbeda terkadang membuat saya iri pada kemampuan dan kemajuannya mengolah alur rasa dan pikir sedemikian subtil. Saya tercengang membaca CV-nya sebagai penyair. Begitu banyak karya yang diterbitkan. Dan jelang usia kepala tiga, sadar atau tidak, ia seakan telah menerapkan prinsip penting dalam hidup: jangan mubazir!
Membaca Upacara Bakar Rambut, saya menyesali diri karena tak berbuat banyak untuk melipur lara karib yang berduka. Saya adalah pembaca yang “turut-serta” sekaligus in absentia. Dan sekarang, saya sedang berhadapan dengan autobiografinya. Nuansa muram begitu pekat, sepekat dukacita. Namun saya harap Dian tak berlarat-larat dalam duka semacam itu. Marilah, masih banyak tangan untuk digenggam, atau bahu untuk bersandar; sekadar menguatkan.
Jika Putu Arya Tirtawirya berpendapat bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat di mana kata-katanya condong pada makna konotatif. Saya merasa Dian berjiwa bebas dalam menulis puisi. Mengikuti alur yang diteorikan oleh Putu Arya Tirtawirya, namun bisa juga sebaliknya bermain dalam ranah eksplisit sekaligus denotatif. Kentara baginya bahwa puisi adalah bagian dari keseharian, tempat mendedah perasaan, sebagai perempuan yang terkadang dipaksa tegar oleh keadaan.
Dan membaca 30 puisi dalam Upacara Bakar Rambut bukanlah perkara mudah bagi saya untuk memahaminya. Terkadang Dian membawa saya ke dalam dunianya yang seolah surealis, ngungun dialun mimpi. Kata-kata boleh diungkapkan secara sederhana, namun makna seringkali tersembunyi dalam relung gelap yang sulit dijelajahi pembaca awam macam saya. Puisi semacam itu bukanlah ditujukan untuk menyesatkan pembaca; tak lebih dari semacam kabut kesadaran yang sedang menyelubungi penyair kala ia dihinggapi stimung hingga trance mendedah rasa, membelah jiwa, agar menjelma makna.
di dalam semadi,/ aku merasakan kematian yang dingin/ tangan maut terus menarik akar rambut/ aku melihat si pemilik mata merah/ wajah bengisnya merontokkan segala usaha// hangat tubuh mengelilingi ruang semadi/ ternyata angin tak dapat meredam semua/ tangis tak memiliki arti/ dan warna kehidupan mengacaukan isi kepala// aku membuka mata/ melihat cahaya berkedipan/ mencari pintu, jalan keluar yang tak juga terbuka// SudutBumi, 2013 (“Upacara Bakar Rambut”)
                   
Dian seolah menjadikan puisi sebagai napas kesehariannya. Hidup dengan bernapaskan puisi membutuhkan kepekaan yang harus senantiasa diasah, terus-menerus. Mencermati peristiwa, bahwa hal remeh ternyata berharga. Dan cinta bukanlah perkara remeh-temeh semata. Kalaupun dianggap remeh bagi orang lain, Dian mengolahnya agar kita mengenal dimensi kehidupan bahwa empati dan simpati janganlah mati.
aku sedih/ begitu aku berbisik di telingamu/ kau masih saja bertahan di pembaringan/ berteman dengan hangat tubuh dan batuk/ padahal tadi pagi kita telah/ melakukan perjalanan panjang/ bercerita pada laut yang sedang bergelora/ berkisah tentang sakitmu/ pada ikan-ikan dan pasir pantai// sedang menulis puisi/ begitu aku berbisik di telingamu/ sedikit berbohong karena sepanjang/ siang aku banyak melamun/ memikirkan kamu, rumah,/ dan tabungan yang hampir habis/ segalanya telah kuupayakan/ bahkan aku telah lupa cara/ berkeluh di hadapanmu/ cara menangis yang sebelumnya/ kukemas manis// duduk di hadapanmu/ aku diam/ meraba seluruh wajah dan tubuh/ aku ingin waktu cepat berlalu/ dan kau sehat seperti waktu-waktu lampau/ berjalan pongah dengan lelucon yang siap/ ditembakkan// aku mencintaimu/ begitu aku berbisik di telingamu// Bumiwangi, 2012 (“Begitu Aku Berbisik di Telingamu”)
Baiklah, membaca 30 puisi Dian Hartati dalam antologi ini seakan meresapi 30 riwayat napas hidup sang penyair. Sangat kentara warna kelabunya. Seperti langit pada akhir tahun yang lebih sering mendung. Anggap saja Dian telah membukukan sebagian dari bab kehidupannya, bahwa kenangan adalah jejak langkah di masa silam demi langkah lain ke masa depan. Semoga kelak Dian tetap berkarya, mencipta, dan tidak melulu tentang duka.
Ada hal penting yang lagi-lagi harus diperhatikan agar tak cepat berpuas diri, kritik tetap harus mengiringi karya. Kalaupun ada yang harus saya kritisi adalah soal terlalu cairnya Dian membahasakan puisi. Butuh kehati-hatian ekstra agar irama tak dikebiri. Ya, rima dalam persajakan bagaimanapun memberi ruh bagi puisi agar tak cuma enak dan indah diresapi, juga menguatkan makna. Jadi, janganlah demi mengejar momen puitik lantas mengabaikan bangunan estetik.
Jika Ralph Waldo Emerson bilang, “Puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.”  Berbahagialah penyair. Mencipta puisi di tengah gebalau dan bising peristiwa adalah hal istimewa, sebab kita telah menjadikannya ada, mengabadi dalam kata.(*)
Limbangan, Garut, 26 November 2013
*Rohyati Sofjan, Penulis Lepas Tinggal di Limbangan, Garut
Ø  Dimuat di harian Jawa Pos, Minggu, 5 Januari 2014

 
(Foto Koran oleh Anang Muaddin)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D