Saat Menentukan Arah
Tetapkan hatimu
dan berjuanglah untuk tabah: Kita akan
memasuki sebuah
kalimat yang kata-katanya tidak saling
berhubungan,
sesekali saling menolak dan berlawanan, serta
terus menjauhi
makna. Perhatikan betapa setiap huruf adalah
jendela ke
sebuah dunia berbeda, dan tidak saling menyapa.
Berjuanglah:
sementara kita amati sejumlah imbuhan
tengah berbenturan dengan semacam suku kata
yang
tak berhenti
menuntut dicatat. Tapi jangan bertanya, inikah
samudra
makrifat? Tak ada pulang bagi yang hilang,
tak ada temu
bagi yang rindu, atau istirah bagi yang lelah.
Tabahlah. Tapi
jangan pula menerka-nerka mimpi:
kau tak akan
sempat terjaga lagi.
Syair Ags. Arya
Dipayana (Syir’ah, No. 28/IV/Maret 2004)
###
Sajak di atas itu bagi saya terasa sangat mengena.
Sederhana, lembut, liris, sekaligus filosofis. Barangkali juga Anda rasakan hal
semacam itu kala menyimaknya. Semoga.
Sengaja saya sertakan penggalan sajak dalam surel ini
karena ingin memupus resah, entah Anda atau saya. Hidup yang sulit selalu
membuat kita butuh semacam oase bagi jiwa, barangkali puisilah dermaga bagi
perahu yang berlayar dalam lautan gelisah dan merindukan tempat istirah.
Sekarang saya tak bisa menulis puisi lagi, rutinitas
telah membuat jiwa seakan kering dan jauh dari kontemplasi. Bagaimana dengan
Anda sendiri? Masihkah ada ruang bagi puisi, entah sekadar membacanya saja atau
malah mencipta? Sudah lama saya ingin membaca karya Anda, entah itu puisi atau
prosa. Bagi-bagi, dong!
Tawaran Mas Kuswinarto pada semua untuk mengisi Cybersastra
barangkali bisa Anda pertimbangkan, atau Annida dan Syir’ah?
Ayolah, saya yakin bukan objektivitas atau subjektivitas redaktur yang saya
nilai melainkan bagaimana karya Anda sebenarnya. Sungguh saya sangat ingin
membaca karya Anda, karya sastra bukan artikel di Gelora saja. Mau, ya?
Saya mohon sekali…
Saya ingin berkompetitor dengan Anda juga, tentunya bukan
dalam versi rival ala Ujianto Sadewa. Soalnya saya merasa karyanya tak lagi
menggugah atau ngomporin, gitu. Tak tahu mengapa ya, barangkali
sejak mengenal sekian orang, daya tariknya perlahan pudar dan sibuk membuat
perbandingan. Hehehe…, entah bagaimana reaksinya kalau tahu itu. Rivalitas yang
sepi. Iya, ke mana saja karyanya?!
Siapa tahu karya Anda menginspirasi. Ada efek psikologis
karena mengenal Anda sebagai kawan, jadi ingin tahu saja bagaimana sejarah
kehidupan yang Anda alami. Bersediakah berbagi?
Saat masih kuliah di UNPAD, tentunya Anda sendiri aktif
di acara seni atau masuk komunitas? Lantas bagaimana Anda bisa “terdampar” jadi
jurnalis di “PR”? Mengapa pula saat ini Anda enggan memublikkan karya padahal
publikasi semacam itu kan bukan hanya untuk popularitas semata melainkan
sebagai “saluran kegelisahan dalam dinamika kehidupan”. Ataukah Anda termasuk
orang yang enggan menonjolkan diri? Tak perlu menonjolkan diri, cukup karyalah
yang bicara. Susahnya, kreator kadang tak bisa melepaskan diri dari karya
ciptaan yang ia publikkan. Namun saya tak setuju dengan anonimitas, sebab ada
semacam tanggung jawab bagi karya yang ia sebarkan ke masyarakat luas.
Bagaimana menurut Anda sendiri?
Soal
langkah membuat novel, wow, saya girang lho. Sampai penasaran
konsep macam apa yang akan Anda buat dan bagaimana pula gayanya. Jangan
tertawa, ya. Dulu sekali sebelum kenal internet, saya pernah mimpi Anda menulis
novel serial! Gila, mimpi apaan tuh. Ceritanya saya sedang jalan-jalan
ke toko buku dan menemukan novel serial Anda di gerainya. Serial? Iya, ajaib
juga. Hahaha… saya tertawa kala bangun, barangkali karena penasaran saja dengan
sang pengulas cerpen yang tak pernah ketahuan rimbanya di jagat sastra jadi
terbawa dalam mimpi. Sayang isi dan judulnya tak jelas, mimpi memang samar dan
tak pernah berkompromi sehingga membuat penasaran akan kelanjutannya.
Kini saya
ingin tahu, sejak kapan Anda suka karya sastra dan memublikkannya untuk kali
pertama? Bagi-bagi cerita, dong. Barangkali bisa mengusir jenuh dengan
rutinitas pekerjaan sampai sistem yang brengsek. Ya, kapan saja Anda sempat dan
tak usah merasa harus segera dijawab, toh saya akan sabar menunggu
karena sudah kerepotan dengan sekian urusan juga.
Kembali
pada “Saat Menentukan Arah”, sengaja saya sertakan untuk relaksasi dari tekanan
hidup. Semoga bermanfaat. Maaf saya tak bisa menulis puisi lagi, jadi malah
menyertakan karya orang lain.
Pak Tendy, saat menyusuri Jalan Dago sendirian,
sebenarnya saya sangat kesepian dan membutuhkan kawan jalan. Di kerumunan
orang, sempat terpikir seandainya saja bertemu kawan-kawan lain yang dikenal.
Ingar-bingar Dago malah membuat saya seolah tenggelam. Semoga saja suatu saat
kelak saya punya kawan jalan, tentunya bukan kawan kencan. Aduh, Chie bisa
mengamuk kalau saya coba-coba pacaran, hehe… Masa Mbaknya demikian. Padahal,
harus saya akui, sekarang godaannya kok terasa besar. Tak tahu ya, ini
seperti sesuatu yang manusiawi, tertarik pada lawan jenis dan kadang bingung
juga kalau di acara seni ada lelaki yang memperhatikan sampai berpikir apanya
yang salah, hehe… Mathori A. Elwa pernah terang-terangan “main mata” di acara
Malam Rainer Rilke, Goethe Institute dulu. Namun saya pikir ia CSH jadi cuek
saja saling lihat-lihatannya toh saya tak merasa apa-apa padanya,
hehehe… Saya konyol lho mengira Mathori itu CSH dan pernah salah meminta
tanda tangan padanya. Malu-maluin, ya?!
Sebenarnya
kadang saya heran dengan kehidupan seniman. Bohemian dan ada yang ogah kerja
keras meski tak semua. Padahal tangan saya kasar dan menghargai insan
yang gigih dalam hal apa saja, tentunya hal positif. Apakah lelaki zaman
sekarang tambah cengeng dan manja? Maaf lho, semoga Anda tak tersinggung
dengan keheranan ini. Dulu tak banyak lelaki yang saya kenal secara pribadi,
jadi waktu ada perempuan yang bilang soal itu sempat bingung juga. Barangkali
saya memandang figur ayah adalah sosok keras jadi persepsi macam itu terbawa
sampai dihenyakkan pada kesadaran lain.
Saat Chat
dengan Oktarano Sazano, ia malah bilang takut pada urusan pekerjaan. Lha,
memangnya ia mau jadi mahasiswa abadi?! Lalu, saat Andi Iqbal, Rian Arif, dan
sekian lelaki yang saya kenal di jagat maya mengaku sentimental; saya agak
kecewa meski tetap positif pada mereka. Lingkungan kerja yang lelaki semua
memengaruhi perspektif saya, belum lagi Indra yang gigih dalam usia mudanya
tanpa sadar telah menjadi teladan. Sampai saya menyadari ternyata abang saya
cengeng dan bergantung pada ibu serta didominasi keluarga istrinya sebagai
“mesin uang”, haruskah saya sebal atau kasihan karena ia telah membangkrutkan
ibu?
Jadi, lelaki bagi Anda itu bagaimana? Juga perempuan?
Maaf mengajak diskusi soal gender.
Boleh
berkomentar soal media Anda? Sepertinya “PR” terlalu merasa sudah mapan jadi
tak mengembangkan dirinya lebih baik agar mampu bersaing dengan sekian media
lain. Kadang isi “PR” monoton. Dulu sebelum ada perubahan, saya sering bosan.
Setelah media lain ramai-ramai mengubah formatnya agar lebih baik (salut untuk Republika,
Kompas, “MI”, dan “KT”!), “PR” terpaksa ikut-ikutan. Mestinya
“PR” mempertimbangkan kemungkinan ke depan, jangan kalah dengan penerbitan lain
dan cuma jadi jagoan kandang saja. Maaf lho, Pak Tendy!
Jadi,
soal PDA, berjuanglah, dan semoga “Saat Menentukan Arah” menjadi pedoman agar
tak terpuruk dengan sekian rintangan. Bukankah Ada sendiri pernah berpesan
tentang perjuangan dan kegagalan. Jadi, saya kembalikan pesan Anda yang
lainnya: “Seorang pembaharu tidak pernah terbelenggu oleh nafsu, tetapi dia
harus mampu memeluk dunia berkutub dua.”
Jadilah pembaharu semacam itu…
Wassalam,
Ati -- yang bukan Mpok Ati
(jauh amat hehe…)
Ps.
Ada surel masuk, ia bilang
tertarik pada esai saya di Republika. Esai yang mana? "Imajinasi
Kencing" kok tak dapat honor. Apa yang harus saya lakukan dengan itu?
Mengecek langsung ke Republika atau apa? Saldo tabungan tak dapat tambahan.
Bagaimana ini, saya takut ada masalah di banknya.
Pak Tendy, saya tak
pernah lupa mendoakan Anda dan keluarga, sepenuh cinta. Terima kasih jika Anda
mendoakan saya pula. Itu hal terindah bagi hidup saya. Sebuah silaturahmi yang
membuat saya kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D