Suami Cemen
Hidup bagi
Tama seolah jungkir balik; istri sakit, mertua nyelekit. Ia sendiri berada di
titik ingin meledak. Kesabarannya seolah terkikis sedikit demi sedikit,
menyisakan kekecewaan dan amarah mendalam. Tidak mengapa istri sakit sesudah
melahirkan Palung anak pertama mereka. Kana masih lemah dan labil secara fisik
dan psikis. Operasi caesar menguji bahtera rumah tangga mereka. Secara finansial mereka
berantakan, Tama tak bisa kembali kerja sebagai buruh bangunan di Tangerang
lagi seperti rencana semula. Ia harus merawat Kana sang istri, juga Palung.
Cerpen Rohyati Sofjan
D
|
an menjadi
penganggur, di mana-mana sudah tentu sangat tak mengenakkan bagi seorang lelaki
yang telah menjadi kepala keluarga. Pengeluaran banyak tetapi tak ada
pemasukan. Pekerjaan yang bisa dilakukan hanyalah jadi buruh tani, mencangkul
di sawah atau kebun orang. Upahnya sekarang hanya 20 ribu rupiah, atau 15 ribu
rupiah jika sudah termasuk makan. Upah standar di kampung mereka. Sayang ia
jarang ditawari kerjaan. Bukan tidak ada, sekarang musim panen dan bercocok
tanam, ia mungkin tak beruntung, hanya kerabat atau tetangga saja yang menawari
kerja. Di sini, sistem kekerabatan sampai perkawanan sangat dominan, juga
kepercayaan. Apalagi ia seorang pendatang, pindah ke tanah kelahiran neneknya.
Perempuan yang telah membesarkannya sejak bayi.
Tama
tak pernah berpikir bahteranya akan diambing badai seperti sekarang, dulu ia
berusaha berpikir positif; akan selalu ada rezeki asal mau ikhtiar, namun
ikhtiar terbentur peluang. Ke Tangerang tidak mungkin, tetap di kampung hanya
menjadikannya seorang pecundang. Haruskah ia menyalahkan Kana karena tak bisa
melahirkan cara biasa? Caesar di RS pakai Jamkesmas membuatnya
bersyukur, mereka tak perlu keluar uang jutaan. Namun pada akhirnya terlalu
banyak ganjalan begitu mereka pulang. Proses pemulihan Kana tak mudah. Istrinya
sering merasa seolah ditusuk-tusuk pisau di bekas jahitan. Memanjang beberapa
cm dari atas vagina sampai pusar. Sakitnya minta ampun, namun Kana berusaha
menahannya. Zikrul maut, ujarnya getir. Dan ia cuma diam.
Dokter
melarang Kana kerja atau mengangkat barang yang berat-berat. Jadilah segala
urusan rumah tangga ditanganinya. Hanya sementara, ia tahu, namun waktu begitu
lamban dan terkutuk. ASI istrinya tak lancar dan sedikit, kurus dan sakit.
Palung terpaksa mendapat tambahan susu formula bayi. SGM sebab harganya cukup
murah di pasaran. Namun bagi ukuran mereka harga murah itu tetap dirasa mewah.
Dan ibu Kana terpaksa membantu.
Andai
saja mertuanya yang nyinyir itu tak terlilit utang, barangkali mereka tak akan
dianggap sebagai beban sebab masih mampu untuk dibantu. Namun perempuan yang
digunjingkan tetangga sering berpikir dengan dengkul karena tak memperhitungkan
batas kemampuan itu, di ambang kebamgkrutan. Bangkrut oleh ulahnya yang riya
dan suka dipuji. Sialnya, mertua malah menyalahkan anak sampai menantu sebagai
penyebab kebangkrutan. Membantu anak yang sakit bukan lagi dianggap sebagai
kewajaran melainkan beban. Gali lubang tutup lubang, dan berutang ke rentenir seolah
menjadi penyakit akutnya. Kana (dan abangnya) sampai frustrasi karena tak bisa
menasihati ibunya yang keras kepala dan mau menang sendiri. Kata Kana ibunya
boros untuk hal mubazir. Dan Kana tak berdaya, hanya bisa mengutuk diri andai
mapan dan kaya, tak perlu lagi serumah dengan ibunya, paling tidak tak dianggap
sebagai beban. Sebagaimana dirinya, Kana hanya bisa menyalahkan diri sendiri.
Ia
teringat masa di RS, masa yang paling menegangkan baginya. Seorang calon ayah
yang lelah. Hidupnya banyak berubah. Betapa ia tidak menyangka proses
persalinan istrinya tidak mudah. Ia pikir mereka akan bisa dibantu paraji
karena ongkosnya lebih murah, namun paraji angkat tangan. Istrinya tak punya
tenaga untuk melahirkan. Kontraksi berulang tak menghasilkan kemajuan dalam
bukaan. Teh Ade, pengurus posyandu menyarankan ke bidan saja, soal biaya bisa
dipertimbangkan.
Bu
Bidan cemberut begitu memeriksa Kana. Lebih pada kesal dan khawatir karena
menurutnya Kana tak mengikuti saran Bu Bidan; agar lebih banyak makan makanan
dan jangan makan pikiran. Namun Bu Bidan yang baik banyak membantu mereka,
begitu pada hari berikutnya tetap tak ada kemajuan. Ketuban pecah dan warnanya
keruh, Bu Bidan bilang mereka harus ke puskesmas. Dan membuat surat rekomendasi
ditambah kartu Jamkesmas.
Malam-malam,
dengan menumpang ojek, ia memangku Kana ke kecamatan. Diikuti mertuanya dan Teh
Ade dengan motor ojek lain. Malam begitu tenang. Ia mencoba tenang juga agar
sang istri tak panik. Motor melaju di jalan berbatu yang rusak aspalnya. Berguncang-guncang.
Melewati perkampungan sampai persawahan dan permakaman. Naik turun jalan
berbukit yang meliuk seperti naga barongsai. Tiada rembulan, hanya kerlip
gemintang. Namun di puskesmas tetap tidak ada kemajuan dalam hal bukaan,
kontraksi masih mendera, dan tahu-tahu ketuban pecah lagi. Tiada pilihan mereka
harus dirujuk ke RS, naik ambulans. Teh Ade telah memintanya agar tetap tenang.
Di
RS, ia terpisah dengan istrinya dalam ketidakpastian. Ia ingin menemani Kana
dan menghiburnya, namun aturan RS melarang. Mereka terpaksa berkomunikasi lewat
notes yang diantarkan perawat. Kana tengah berjuang dalam kontraksi yang
melelahkan namun tetap tidak ada kemajuan dari malam sampai pagi. Baru setengah
dari bukaan yang mestinya sepuluh. Harus dioperasi. Bayi ingin keluar namun ada
tiga hal yang menghalang meski posisi bayi baik: vagina tidak mau membuka,
terlalu lemah dan tak ada tenaga, dan faktor usia karena melahirkan untuk
pertama kali pada usia 33 tahun.
Sungguh ia ingin meledak. Aroma maut seolah
merayap. Dan hanya doa yang dirasa mujarab; obat penenteram jiwa. Kana dan bayi
selamat. Ia sangat bersyukur dalam kelegaan yang membuncah. Tidak sadar bahwa
mereka akan melalui tahapan masa-masa sulit begitu keluar dari rumah sakit. Dan
semua selalu berujung pada uang!
Sungguh
ia sesak. Di kampung asalnya ia hanya buruh petik dan angkut di perkebunan.
Lampung telah ia tinggalkan demi harapan kehidupan yang lebih baik, juga jodoh.
Dan di kampung ini harapan demi kehidupan yang lebih baik seolah penuh aral.
Karena pekerjaan yang jarang, juga masalah keluarga yang meruwetkan.
Ia
tidak suka mertuanya dan tak ingin serumah. Sebaliknya, Kana tak cocok dengan
mertuanya dan ditolak serumah. Alangkah memusingkan jika demikian. Lagu lama
ketidakcocokan dengan mertua melanda mereka.
Neneknya,
mertua Kana, jenis perempuan yang mudah dipengaruhi orang lain. Lebih tepatnya
dihasut agar memusuhi menantu yang semula tak ada persoalan apa-apa. Mulai dari
soal pekerjaan rumah tangga yang tak bisa dikerjakannya lagi karena sakit dan
Kana dianggap malas, ASI yang kurang dan Palung sering rewel (karena ternyata
lapar dan udara dingin membuatnya sering masuk angin), ketiadaan uang, sampai
hal-hal lainnya yang selalu saja harus diributkan.
Siapa
yang mengurus Kana yang sakit selain ia sebagai suaminya. Dan tanggung jawab
yang semula diembannya dengan bangga kini dirasa sebagai beban. Cucian yang
menumpuk, memasak, menimba air, dan urusan lainnya dikomentari sang nenek.
Seolah tidak rela cucunya yang bekerja. Perempuan kolot yang menganggap seorang
istri adalah pelayan suami sewot dengan dunia kecilnya yang dianggap jungkir
balik. Ia hanya diam dikomentari nenek yang menganggap menantunya tukang suruh.
Kana yang manja alangkah malangnya. Tak ada toleransi apalagi simpati. Peran
pertamanya sebagai ibu dianggap penuh cela.
“Baru
punya anak satu saja tak becus mengurusnya!” komentar nenek pedas karena Palung
sering nangis. Ah, Palung yang lembut dan lucu harus jadi sumber
keributan. Nenek tak rela Tama sering keluar uang untuk beli susu, mencela menantu
yang ASI-nya tak subur.
“Kana
cuma kurang makan karena kita kurang uang!” Ia terpaksa membela istrinya.
Bagaimanapun, ia muak jika pendamping hidupnya terus dicela. Itu kian
mengingatkan betapa cemennya ia sebagai suami, tak bisa menyejahterakan
istri, dan anak kena getahnya. Rumah mereka lebih dingin daripada rumah ibu
Kana, belum lagi suasana sekitar yang berisik. Palung yang malang sudah tentu
sering tak nyaman.
Dan pindah ke rumah ibu Kana cuma mengalihkan
persoalan saja. Betapa ia tidak bahagia. Kana yang mestinya bisa pulih dengan
cepat malah mengalami komplikasi. Gurat-gurat hidup yang susah terlukis di
wajahnya. Ia tidak lagi seceria dan sekuat dulu. Hanya perannya sebagai ibulah
yang membuat Kana bahagia.
Ya,
Palung memang tak semontok bayi lain, namun cerdas. Usia dua bulan lebih sudah
bisa memegang botol dot sendiri. Rajin mengucapkan kata “niin” untuk minta enen.
Namun jika ASI Kana ngadat atau kurang, Palung akan minta “duut”. Bahasa bayi
yang lucu, Kana sering mengajaknya ngobrol. Dan pada mulanya Palung akan minta
dengan manis dua hal itu sambil tersenyum, jika tidak dipenuhi jeritan khas
bayinya akan berkumandang. Yang menyebalkan bagi Kana adalah polah mertua yang
berlaku bak nyonya besar pada pembokatnya. Dan Tama serba salah.
Kana
suka mengajari Palung membaca, dan ia tertawa menyaksikan bagaimana istrinya
mengeja huruf demi huruf sampai kalimat. Bayi dua bulan sudah diajari membaca,
ha! Palung juga termasuk jenis bayi yang ribut suka diperhatikan. Ketika
usianya bertambah, ia akan “menyanyi” jika dikelilingi orang, dengan a atau u
panjang. Dan tersenyum atau tertawa pada siapa saja. Jika bersin, Palung akan
tersenyum malu, seolah geli dengan suara ajaib yang diperdengarkannya. Namun
jika Kana bersin, Palung akan heran lalu tersenyum atau tertawa seolah geli
karena bundanya bisa mengeluarkan suara ajaib juga.
Sungguh
ia menikmati perannya sebagai ayah. Melihat anak dan istri sebagai bagian
hidupnya yang sangat berarti. Namun sungguh, ia tidak ingin berada dalam posisi
penuh dilema.
Di
televisi ia menyaksikan kemewahan yang dimubazirkan, dan di sini, di kehidupan
nyatanya betapa ia lebih dari sahaja. “Mereka makan karena ingin, sedang aku
dan keluargaku karena butuh!” ia geram pada keadaan. Berharap masih ada asa
akan kehidupan yang lebih baik meski entah kapan. Sering terusik dengan tatapan
istrinya yang seolah bertanya, “Hari ini kita makan apa?” Begitu pasrah.
Sementara Palung memegang dotnya dengan lahap dan mata separuh mengantuk.
Sementara mertua sibuk ngomong sana-sini pada siapa saja yang mau atau terpaksa
mendengarkan, mengeluhkan mereka. Sementara nenek menuntut agar ia juga
membantunya, mengeluhkan menantu yang telah “merebut” cucunya; nenek tidak
sadar telah diporoti adik perempuannya yang tukang hasut dan telah menjerumuskan
agar meminjamkan uang untuk bagi hasil pada orang lain. Lalu utang itu sulit
ditagih nenek yang dibuai omongan muluk adiknya, yang sebenarnya punya banyak
utang dan ingin memanfaatkan uang kakaknya, tentang bunga tanpa kerja. Itulah
sebabnya Tama jengkel, uang jutaan yang ada di luar mestinya bisa untuk modal
seolah hilang tak tentu rimba. Dan pada saat yang bersamaan ia kesulitan uang.
Andai nenek tak sudi dibodohi adiknya barangkali hidup mereka tak akan serunyam
sekarang. Namun bagaimana cara menghadapi ketelanjuran selain bersabar?
Ia
hanya ingin bisa lebih kuat dan sabar. Juga dilapangkan dalam hal rezeki dan
pekerjaan. Ia mencintai dan menyayangi anak dan istrinya. Namun sungguh ia
merasa lemah dan butuh sandaran. Berharap istrinya segera sehat. Hanya dengan
itulah hidup mereka yang timpang bisa kembali lengkap.***
Limbangan, Garut 20 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D