Suatu Senja Bersamamu
Oleh Rohyati Sofjan
A
|
ku datang
terlambat. Kita akan bertemu di warnet langgananku, itu bukan tempat pertemuan
ideal, namun tak ada pilihan. Netbook dari bosmu bermasalah di bagian Microsoft
Office padahal baru kupakai tiga hari, dan aku sudah sangat down. Ini
barang baru, aku khawatir tak sengaja merusaknya. Kamu lewat SMS bilang akan
datang ke kotaku bareng rekan kantormu yang bagian TI untuk menganalisis
penyebabnya. Aku lega sekaligus tak enak. Kamu sudah selalu repot demi aku. Dan
netbook ini berkat kamu padahal punyamu yang sudah tua
sedang rusak motherboard-nya.
Aku
menunggu di teras warnet. Tadi kamu SMS salat asar dulu di masjid SPBU, tepat
di seberang warnetnya. Seperti biasa aku selalu gugup, sudah sembilan tahun mengenalmu
dan gugupku tetap saja sulit kuatasi jika hendak atau sedang bertemu denganmu.
Pertemuan
terakhir kita kala makan bareng di restoran Asep Strawberry di Jalan Nagreg, untuk acara serah terima netbook titipan bosmu. Makan bareng berempat dengan suamiku dan rekan kerjamu yang
fotografer. Ternyata bosmu yang tidak bisa ikut malah mentraktir kita, beliau
orang bijak yang baik dan dermawan. Aku sedang hamil 7 bulan. Apa yang ada di
benakmu kala melihatku dengan gundukan perut yang buncit? Sebelum itu kita bertemu
saat aku sedang hamil 7 mingguan di Bandung. Kala kamu mengundangku untuk
mengajar mata kuliah imaginative writing di kampus tempat mengajar paruh
waktumu. Dan Bu Senny yang sekretaris jurusan mendampingi kita. Ah, aku
gugup sekali berbagi pengalaman proses kreatifku, anak-anak kuliah yang cerdas
dan kritis, murid-muridmu, beragam responsnya. Ada yang positif dan tak
berpretensi buruk, ada juga yang sinis. Kulihat cara mengajarmu fleksibel namun
serius dan santai. Seandainya aku sepertimu, berpengalaman dalam jam terbang
mengajar, namun ini pengalaman keduaku yang kamu undang, dan aku khawatir malah
mengecewakan.
Aku
pencinta gerak, dan kesempatan yang kamu berikan seakan hendak mendewasakanku
dalam pengalaman. Kamu selalu membukakan berbagai pintu untuk kuketuk dan
masuki. Aku tinggal di sudut kampung suatu lereng gunung dan menikah dengan
suami yang bekerja sebagai petani, mobilitasku jadi terasa menyedihkan
dibanding semasa di Bandung dulu, kala aku masih punya karier meski sebatas
buruh berupah kecil di toko listrik dan komponen elektronik. Dan di kota
kelahiran kitalah perkenalan bermula. Namun aku tidak bahagia dengan kehidupan
kota yang ingar, sesak dan terkotak-kotak. Teman sangat banyak namun
kesibukanku menghalangi silaturahmi, kerja tiap hari dari jam delapan pagi
sampai setengah sembilan malam membuatku tak tahu akan menjadi apa. Bandung
telah berubah, kota itu tak ramah bagi kaum pinggiran. Harus ada uang!
Pulang
mengajar, kamu memboncengku ke Ultimus, tempat menginapku. Aku suka berboncengan
denganmu. Mengingatkanku pada suatu malam berhujan kita berboncengan menuju
restoran Bakmi Jogja di Jalan Bengawan, bos forum bahasa kita ada keperluan
denganku, makan malam berlima di sana bareng keluarganya. Kali ini motormu
baru, yang lama dikemananakan? Bandung jam sepuluh siang tidak semacet tadi
pagi. Apa kamu tahan dengan suasana seperti itu jika menjadi ritual harian,
motor kita saja disalip motor lain dan kamu nyaris kehilangan keseimbangan?
Kamu
berkendara dengan kencang, barangkali khawatir terlambat di kantormu di Bandung
bagian selatan, atau kamu ingin aku berpegangan pada pinggangmu? Seperti biasa
aku berusaha sopan dan menjaga jarak, tanganku memegang sadel bagian belakang. Jalanan
kota ternyata tak selalu mulus, ada guncangan karena aspalnya berlubang. Kita
lewat jalan layang dan melihat ke bawah, deret perumahan berdesakan dengan
latar belakang gunung Tangkuban Perahu dan gunung lain yang aku lupa namanya. Gunungnya
menyedihkan, gundul tidak seperti gunung di kampungku yang hijau dan rimbun.
Lalu
kamu membawaku melintasi jalanan yang tak ramai, saat tiba di suatu jalan kecil
dan lewat rumah bergaya country dengan seorang lelaki berdiri di
balkonnya yang dipenuhi tanaman merambat, aku ingin bilang bagus sekali
rumahnya, itu rumah kayu impianku. Aku tidak tahu kamu membawaku untuk melihat
rumah kayu itu sebagai inspirasi agar aku membuat rumah masa depan macam
demikian, atau sekadar menunjukkan SD tempat anakmu pernah bersekolah. Bagiku
itu lingkungan yang tenang dan nyaman, ada banyak anak berhamburan.
Motor
berbelok ke Taman Cilaki, melewati kuda-kuda yang biasa mangkal di sana, kali
ini lebih pelan sebab aku mengajak berbincang. Aku suka suasananya. Kamu seolah
mengantarku pulang sekaligus jalan-jalan. Andai kita mampir di kedai Yoghurt Cisangkuy.
Aku tidak sedang tergesa-gesa, namun barangkali nanti kamu harus rapat seperti
biasa.
Ah, lamunanku buyar.
Kamu sudah ada di seberang jalan bersama rekanmu. Aku melambai dengan riang. Sosokmu
yang tinggi tegap masih saja menggetarkan!
***
“Jadi,
masalahnya apa?” tanyaku pada rekanmu yang sedang mengutak-atik netbook-nya.
“Apakah
bagian belakangnya dibuka?” tanya rekanmu. Aku mengernyit, kamu menyikut
rekanmu seolah membaca kernyitanku.
“Tidak,
tuh. Atau saya tak sengaja mengutak-atik programnya, yang jelas kuncinya seolah
hilang, sudah dicoba ke rental komputer sampai warnet ini namun mereka angkat
tangan tak bisa menginstal netbook.” Ini kota kecil! Mereka biasa install
desktop. Aku memandang Acer Aspire One Pro-ku berukuran 10.1 dengan nanap.
Setahun lalu kulihat infonya di rubrik tekno majalah Kartika, versi
kecil dan aku kepingin, eh impianku malah terkabul dengan jalan tak
terduga. Rezeki selalu datang dengan berbagai cara. Dan aku khawatir bayi
pertamaku rusak karena salah urus! Lebih dari itu aku khawatir kamu marah
dan kecewa padaku karena tak bisa menjaga amanah bosmu. Namun kamu terlihat
tenang dan senyum.
“Lebih
enaknya di dalam,” katamu. Kita masuk dan kamu bilang keperluanku pada
operator, butuh colokan listrik untuk menginstal. Masalahnya ternyata
sederhana, bosmu yang baik sudah tahu dan menanyakannya pada toko tempat
membeli, ternyata mereka cuma memberi Microsoft temporer, aku bisa install sendiri
lewat internet, masalahnya di sini tak ada area hotspot dan suamiku yang
sedang kerja jadi buruh bangunan di Tangerang melarang aku bepergian ke Bandung
sendirian.
“Ati
tenang saja,” katamu, “Pak Sanny akan install ulang pakai lisensi
perusahaan, jadi Ati tinggal pakai beresnya, tapi versi lama, yang 2003,”
katamu setelah berdiskusi dengan rekanmu. Aku lega.
Kita
memerhatikan cara kerja Pak Sanny yang ternyata cuma sebentar, ia telah membawa
alatnya. Kamu menawarkan musik dari MP3-mu untuk dimasukkan ke netbook-nya, “Saya ada beberapa ayat suci Al Quran, Ati mau?”
“Mau!”
cetusku spontan. Aku senang sekali sebab itu yang akan kamu beri setelah minggu
sebelumnya aku tanya apa kamu punya simpanan musik klasik untuk bayiku. Giliran
Pak Sanny yang bingung, aku ‘kan tak bisa mendengar, buat apa musiknya? Kamu
lagi-lagi tersenyum dan bilang buat bayiku. Dan aku tersenyum geli ketika
membaca di layar, ternyata ada Phil Collins juga selain Peterpan.
Mencoba
lewat bluetooth ternyata tak mudah, lama. Kamu lupa ada kabel datanya
yang barusan dipakai buat install. Kita bertiga tertawa. Kala Pak Sanny
memindahkan musiknya, dan kita bertiga membungkuk, aku mengendus aroma parfum
yang lembut dan segar, begitu maskulin. Entah siapa yang pakai. Sore ini kamu
lebih rapi dan formal daripada biasanya. Aku bahkan tak tahu apakah kamu pakai
parfum selama mengenalmu.
Blackberry-mu
berbunyi terus, ternyata kamu chat dengan Bu Senny soal flashdisk pemberiannya yang diantarkan kamu tadi. Aku
kagok begitu kamu meminta aku chat juga dengan Bu Senny. Seumur hidup
baru pegang BB yang sudah lama kuidamkan sayang harganya tak terjangkau, dan
sayang pula sinyal di kampungku jelek untuk mengakses internet. Aku iri padamu
yang leluasa dalam mobilitas, bisa bepergian ke mana saja, luar kota sampai
luar negeri.
Selesai
juga semuanya! Kalian harus pulang dengan Daihatsu Espass metalikmu. Pak Sanny
bilang sudah lapar. (Aku tidak bisa ikut berbuka, tak puasa!) Di luar kulihat
matahari senja yang bundar oranye menaungi langit kotaku, seolah-olah tepat di
atas Alfamart, dan dilatarbelakangi gunung menjulang berwarna hijau kebiruan. Langit
masih terang berbaur warna merah keemasan. Subhanallah! Aku suka
panorama senjanya, begitu kaya warna dalam seketika; seperti Seno Gumira
Ajidarma, aku suka senja, namun di gunung senja sering terhalang rimbun bukit
dan pepohonan. Kecamatan ini riuh dengan orang yang ngabuburit dan
belanja. Aku bahagia menikmati sepotong senja di bulan ramadan bersamamu,
meski sekejap saja.***
Limbangan, Garut, 4 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D