Baby Hunkwe
Kali ini
saya harus menemani Daya meliput suatu tempat yang katanya akan dijadikan feature majalahnya. Saya hanya berlaku
sebagai kawan baik yang memberi tumpangan ke mana ia suka. Gara-gara Bramantyo,
rekan fotografernya, berhalangan. Bram itu masih keponakan dari sepupu saya.
Daya yang cantik tak berdaya mengenali jalanan Kota Jakarta, ia baru diterima
bekerja di majalah yang satu group dengan tempat saya kerja. Apa salahnya menjadi
pemandu bagi nona yang sedang diincar Bram, setidaknya saya bisa mewakili
keluarga besar. Sebagai sesama pendatang dengan senang hati akan saya antar,
mengenali kota yang sudah berpuluh tahun silam saya diami sejak masih muda dan
lajang. Kota yang kemacetannya sudah sedemikian kurang ajar. Yang tak saya tahu
Daya ternyata tak terduga!
Cerpen Rohyati Sofjan
S
|
aya mencoba
memecah kebisuan. Perempuan ini seperti tegang atau pendiam. Mungkin ini
liputan pertama baginya tanpa Bram, mereka sudah dibiasakan kondisi kedekatan.
Jadi barangkali perjalanan kami mencanggungkan. Saya menyetir dengan bingung.
Daya telah memberi tahu tempat yang akan kami tuju, namun saya belum tahu
tempat apa itu.
“Siapa
yang akan kita temui?” Pertanyaan saya bersamaan dengan dering BB-nya. Daya
mengalihkan pandang pada BB, dahinya mengernyit, lalu dengan cekatan jari
jemari kedua tangannya mengetik.
“Baby
Hunkwe,” Daya memandang saya sambil tersenyum lucu lalu jemarinya kembali
bermain. Saya tercenung. Nama itu rasanya kok pernah akrab.
“Siapa
Baby Hunkwe itu?” Saya mencoba merasakan gema namanya, memanggil ingatan yang
barangkali alpa.
“Ia
bakul kue yang sukses sekaligus unik. Pak Juna akan menyukainya, secantik dan
legit kue-kue bikinannya.” Daya mengedip nakal. Wah, Bram, cewekmu
tenyata genit!
Mobil
terus melaju sampai dihentikan lampu merah, kali ini saya tak berhasil
menggali-gali ingatan sialan tentang nama yang sepertinya pernah dikenal. Atau
mengingatkan pada seseorang yang entah siapa di masa silam. Seorang loper
berteriak menjajakan koran. Ingatan saya terlonjak namun masih samar. Daya membuka
jendela, memanggil bocah itu yang dengan antusias bergegas menghampirinya. Saya
tertegun. Menyaksikan Daya memborong begitu banyak koran yang dijajakan bocah
tanggung yang barangkali masih sekolah dasar, itu jika ia masih sekolah. Ada
beragam koran dan tabloid. Yang murah cuma dua ribuan. Harga yang diharap bisa mendongkrak oplah
penjualan mengingat daya beli dan minat baca masyarakat masih rendah.
Daya
membalas tatapan heran saya dengan nyengir begitu selesai bertransaksi. Menutup
jendela mobil, dan tak peduli. Kembali disibukkan dering BB-nya. Mungkin
BBM-an.
“Akan
kamu baca semua?” Saya memandang tumpukan koran dan tabloid yang tergeletak
begitu saja di dasbor.
“Nanti
saja, Pak Juna, pusing baca. Lagi BBM dengan Mbak Baby Hunkwe.”
“Boleh
saya lihat?” Lampu hijau kok lama banget. Jalanan macet gini
emang mumet. Apalagi sekarang akhir pekan. Dan Kemang masih panjang.
Daya
tergelak. “Privat, Pak Juna. ‘Ntar juga bisa jumpa orangnya, sabar saja.” Ya,
ampun, ia menggoda. Pakai acara ngedipin mata lagi. Bram diapakannya saja
sehingga bisa tergila-gila? Saya geleng kepala memandang makhluk elok yang
entah dari mana muasalnya.
Daya
masih asyik dengan BB-nya. Mata saya beralih lagi pada tumpukan koran Minggu
dan tertegun. Bunyi klakson membuyarkan lamun. Saya tersentak, lampu hijau
sudah dari tadi menyala. Seiring sentakan gas saya sontak ingat sebuah nama
yang mirip Baby Hunkwe: Baby Huwae!
“Daya,
saya harap kita tak bertemu peramal.” gumam saya pelan. Daya tak mendengar.
Saya
menyetir sepenuh kenangan. Teringat Mbak Yanie Wuryandari rekan kerja saya dulu
di majalah wanita yang sudah lama saya tinggalkan karena memilih bergabung di
majalah berita mingguan nasional yang pernah dibredel. Ia sekarang sukses jadi
wapemred majalah wanita lain. Waktu itu kami masih muda dan bersemangat.
Mendapat tugas mewawancarai beberapa peramal, salah satunya ya Baby Huwae. Di
akhir sesi pekerjaan wawancara, saya dengan dungu mau saja diramal. Mbak Yanie
yang puisi-puisinya sering saya ketawain, balik mengompori.
“Ayo,
Jun, coba lihat seberapa baik peruntungan nasibmu?”
Dan
demikianlah Baby Huwae dengan serius meramal hidup saya akan sangat
menyedihkan. Saya ketakutan diramal demikian. Bagaimana tidak ketakutan, coba,
jika diramal akan sakit keras pada usia 30-an. Saya masih pertengahaan 20-an, merasa
yakin sehat wal afiat. Namun siapa yang bisa meraba nasib? Kartu tarot, rajah
tangan, atau menata bintang? Saya pucat. Mbak Yanie terbahak. Masih terbawa
dalam OTW ke kantor. Lalu ia dengan serius menghibur, nasib manusia siapa yang
duga, kita tinggal elakkan saja hal buruk itu jika benar adanya. Pasti bisa.
Saya masih termakan ramalan dan mengabaikan Mbak Yanie yang sudah saya anggap
kakak sendiri, kami biasa saling mengejek atau ledek-ledekan. Namun seiring
waktu pada akhirnya saya berusaha keras menyangkal bahwa ramalan tak lebih dari
rekaan gombal. Sama searti dengan kamus dari kata dasar ‘ramal’ yang artinya
duga, bisa saja luput, ‘kan?
Jadi
saya putuskan berhenti cemas dan tak percaya peramal. Tidak juga ramalan nasib
macam shio atau zodiak di bacaan mana saja. Semuanya gombal. Saya mati-matian
menyangkal, lalu sampai separuh baya ini saya bisa anteng menjalani kehidupan.
Lupa pernah diramal.
“INILAH tempatnya,”
kata Daya riang. Saya tertegun, rumah di kawasan Kemang ini jauh dari yang saya
bayangkan. Halaman depannya dipenuhi kursi dan meja dengan atap yang
meneduhkan. Ada begitu banyak tanaman dan bebungaan, juga gentong air terjun.
Tempat ideal untuk makan. Yang membuat saya tertegun adalah merek toko Baby
Hunkwe, ia begitu PD mencantumkan brand ‘Baby Hunkwe, Bakul Kue’ di
bagian atas tokonya. Tadi saya pikir akan menemu tulisan semacam ‘Baby Hunkwe, Cake,
Pastry and Bakery’, ‘kan lebih gaya.
Mobil
diparkir di halamannya yang luas dan rindang. Kami turun bersamaan. Seorang perempuan
muda keluar dan menyambut kami. Ia tinggi semampai bak model, sekaligus seksi
namun berpenampilan elegan hingga membuatnya seolah bangsawan. Cipika-cipiki
dengan Daya, begitu akrab dan hangat. Saya terpesona, seolah bertemu bidadari
mana. Mungkin penjelmaan Nawang Wulan. Ia melebihi bayangan Ken Dedes saya
dalam sebuah cerpen lampau.
Baby
Hunkwe sangat berbeda dengan Baby Huwae. Saya harap ia memang bakul kue yang
tak merangkap sebagai peramal apalagi paranormal. Ada aroma lembut menerpa,
seperti bunga lonceng di halaman. Paduan busana batik merah marunnya yang
berbeda motif terlihat serasi.
Saya
tersenyum begitu Daya memperkenalkan saya.
“Jadi
Anda yang bernama Pak Juna, senang berkenalan.” Ia menyodorkan tangannya yang
halus bak pualam, tidak seperti tangan pekerja pada umumnya. Saya menikmati
sensasi kulitnya dan menyalami dengan sopan.
Basa-basi berakhir, Baby Hunkwe mengajak kami
ke dalam. Ternyata tokonya penuh pembeli. Ada begitu banyak kue dan roti. Aneka
jajan pasar yang bentuknya menggiurkan. Juga suki dan sashimi. Amboi, tak heran
tokonya seperti tak kehabisan pengunjung, karyawannya hilir mudik di gerai.
Saya menemukan kenyataan bahwa Baby Hunkwe tidak sekadar berjualan kue lokal,
ia memvariasikan dagangannya antara kue-kue buatan tradisional Indonesia dengan
mancanegara. Tak heran tokonya laris. Isinya saja sudah begitu ciamik, aromanya
juga sangat menggelitik. Mendadak saya sangat lapar.
Berhenti
di depan sebuah etalase yang memampangkan sesuatu seperti clay. Apakah
toko kue ini juga memajang lilin? Ini seperti mainan beneran. Saya membaca
tulisan di bawahnya, sculpted cake. Apaan itu? Kok harganya wah, ratusan
ribu. Saya berdecak.
“Itu
bisa untuk dimakan?” tanya saya iseng pada Daya, tak berani bertanya pada Baby
Hunkwe, khawatir tersinggung. Baby Hunkwe tertawa, telinganya tajam juga
padahal saya merasa sudah bicara pelan.
“Cantik
ya?” komentar Daya kentara kagumnya.
“Tentu
saja bisa dimakan, Pak Juna. Itu namanya kue tiga dimensi. Sculpted cake artinya
kue yang dipahat. Untuk lebih jelasnya, yuk kita ke dalam, lebih leluasa
wawancara.” Kami mengekor Baby Hunkwe memasuki ruangan lain, semacam pantry
namun nyaman dan terpisah dari aktivitas karyawan.
“Ini
ruang kerjaku.”
Daya
menyiapkan peralatan kerjanya, perekam suara dan kamera. Baby Hunkwe menyiapkan
peralatan dan bahan untuk membuat kue tiga dimensinya. Lalu berkicau
menjelaskan detail pembuatannya yang ternyata rumit. Sungguh mengagumkan. Katanya
tidak mudah memahat kue yang diinginkan pemesan, selera sini cenderung suka kue
enak yang lembut macam lapis legit padahal memahatnya sulit. Berbeda dengan di
luar negeri yang memakai keik keras. Namun itulah seninya.
Baby
Hunkwe bekerja dengan cekatan, sungguh tak dipercaya kue cantik itu tercipta
dari jemarinya yang lentik, kehalusan tangannya begitu peka mencipta detail kue
seolah ada tenaga gaib. Fondant merupakan bahan dasar utama untuk
melapisi kue lapis legitnya hingga memiliki bentuk warna-warni kue 3D. Gum
paste sebagai penghias agar lebih semarak bentuknya.
Dari
tadi Daya sibuk memotret dan mengajukan pertanyaan yang sudah jadi tugasnya.
Saya hanya berperan sebagai penonton yang menyaksikan keajaiban sulap. Sungguh
tak dipercaya, semuda dan secantik ini ia ahli mencipta detail rumit. Waktu
yang dihabiskan tidak terasa lagi. Siapa sih yang tidak betah berdekatan
dengan perempuan cantik lagi baik. Buktinya saya tidak kelaparan dan kehausan
menyaksikan atraksinya, ada semeja hidangan, kue-kue ringan sampai berat yang
lezat disantap.
“Nah,
kuemu jadi! Nanti sekalian akan diantar kurir agar utuh,” Baby Hunkwe berseru
riang. Itu kue kelinci terlucu yang pernah saya jumpai. Daya berterima kasih.
Saya memandang bingung.
“Ada
yang ulang tahun?”
“Anak
tunggalku, empat tahun, Pak Juna mau datang nanti sore bareng Bram? Jangan lupa
kadonya!” Seolah menjadi kebiasaan ia mengedip lagi. Saya terperangah.
“Saya
tak tahu Daya sudah menikah.”
“Single
parent. Cerai. Tamat. Titik.”
“Mari
kita makan siang,” tawaran Baby Hunkwe seolah menyelamatkan kekikukan saya. Ia
telah menyuruh karyawan lain untuk mengemas kuenya.
Kami
makan siang di gazebo halaman belakang, semuanya telah tersaji lengkap. Menu
khas Bumi Pasundan. Daya dan Baby Hunkwe berbincang akrab. Baronang bakar
begitu menggugah selera.
“Mengapa
jadi bakul kue?” usik saya penasaran. Tidakkah ia pernah jadi model? Menilik
dari usianya jelas masih muda, barangkali belum 25. Daya sendiri baru 24.
“Saya
tidak ditakdirkan jadi bakul ikan, Pak Juna. Nama Anda mengingatkan pada kota
kelahiran saya, Juwana. Ayah dan abang saya memilih jadi juragan kapal warisan
kakek, saya merasa nyaman dengan dunia ini, juragan kue.” Amboi tawanya begitu
renyai.
Namanya
ternyata Baby Juwana, diberi nama demikian agar senantiasa ingat asal. Baru 24
tahun, sarjana oseanografi Hawaii University. Asal mula ketertarikannya pada
dunia perkuean bermula dari kegemarannya dari kecil akan kue yang terbuat dari
tepung hunkwe. Lalu selama di Amerika malah ikut kursus kue, dan masa libur
kuliahnya dipakai magang kerja di beragam toko kue dan roti sana. Tidak pernah
mudik ke Indonesia saat liburan karena bertekad mengumpulkan modal agar kelak
bisa buka toko kue. Kemang sudah lama diincarnya sebagai tempat usaha. Rumah
ini merupakan warisan dari kakeknya dulu. Abangnya punya rumah lain di Jalan
Kertanegara.
“Percaya
ramalan?” saya penasaran dengan latar belakangnya, buat apa jauh-jauh belajar
ke Amerika kalau malah berakhir jadi tukang kue di Indonesia. Pasti ada
sebabnya. Pertanyaan itu malah membuat Daya dan Baby Hunkwe tergelak.
“Waktu
SMP saya dan Daya pernah iseng mendatangi peramal. Daya diramal akan hidup senang
dan bahagia dengan pacarnya....”
“Nyatanya
pacarku itu pecundang yang menyengsarakan. Saya kawin muda setamat SMA, punya
anak, dan ternyata pacar yang jadi suamiku psikopat.” Daya tanpa segan menyibak
lengan kemejanya yang menutupi
pergelangan, menunjukkan beberapa bekas luka bakar. Lalu dengan tenang kembali
menutup seolah tanpa beban. “Saya harap dengan Bram tak berakhir demikian, Pak
Juna. Saya hanya sampel dari sebagian besar KDRT.” Ia serius, tidak lagi
mengedip sebagaimana biasanya. Saya tercenung, memandang Daya dan Baby Hunkwe,
tidak mengira bahwa mereka berkawan baik. Tentu, saya bisa memastikan Bram tak
akan melakukan hal demikian. Ia dewasa dan matang secara emosional.
“Saya
harap semoga tidak. Semoga kalian sama-sama bisa menjadi orang yang tepat untuk
saling melengkapi.” Saya bicara seakan menyadari ada maksud Bram mempertemukan
kami.
Daya
tersenyum, “Bagaimana denganmu, Baby?”
Ada
kilat jenaka di mata Baby Hunkwe, sepertinya ia menyadari makna pertemuan kami,
pertemuan calon keluarga. “Saya diramal akan tenggelam di laut. Justru itu yang
membuat saya penasaran kuliah kelautan. Tahu sendirilah pemerintah seperti tak
peduli dengan nasib perbaikan nelayan, tak ada satelit penunjang bagi
kapal-kapal peninggalan kakek yang cukup canggih, berbeda dengan nelayan luar
negeri yang bisa dengan mudah memantau kehadiran ikan karena teknologi
satelitnya hebat. Maka saya mengambil spesifikasi bidang teknologi kelautan.
Saya berharap bisa melakukan sesuatu yang berarti. Yang paling mengesankan
bagiku selama di Hawaii adalah menjadi bagian Green Peace,” Baby Hunkwe
tertawa. “Dan saya tak tenggelam seperti yang diramalkan, mungkin belum, namun
siapa yang peduli, untuk apa menikmati kecemasan? Jadi obsesi besarku adalah
bisa bergabung dengan Cousteau Society yang didirikan Jacques-Yves Cousteau
agar dapat mencerap ilmu dan belajar mengenai isi laut, ikut membuat film
dokumentar, itu jika saya bisa melanjutkan kuliah lagi. Mungkin nanti. Fokus
dulu jadi bakul kue agar punya bekal untuk kuliah.” Ada binar di matanya.
Saya
merasa sesak sekaligus malu. Baby Hunkwe, apa jadinya kamu jika tahu maksud
saya bertanya tentang percayakah pada ramalan?***
Limbangan, Garut, 19 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D