Menuju Titik Nadir
Wajah Iskandar semuram mendung di luar taksi
tumpangannya. Perpaduan kemarahan dan penyesalan, juga kesedihan dan kepedihan.
Tidak! Ia tak semestinya menerima kabar yang menghancurkan tentang dirinya dan
Ryana. Kehamilan Ryana, istrinya, yang kesekian dan sudah sangat lama mereka
nantikan ternyata berbuah petaka. Hasil tes darah yang dilakukan untuk
memeriksa apakah akan ada gangguan dalam kesehatan dan kehamilan Ryana,
menunjukkan istrinya positif mengidap virus HIV! Iskandar merasa disedot ke
dalam pusaran badai dan tak tahu jalan keluar. Ia seolah bocah yang ingin
pulang namun tak sampai-sampai.
Cerpen Rohyati Sofjan
Ia mengingat
adegan dalam ruang pemeriksaan ketika dengan tenang sekaligus hati-hati Dokter
Laksmi Rakasiwi memaparkan ketakterdugaan soal hasil tes darah bahwa Ryana…. Ah,
mengingat kilas-balik itu Iskandar kian dihunjami rasa bersalah. Ia tahu dari
mana muasal virus itu. Ialah yang menularkannya! Tidak mungkin Ryana -- yang
bersih dari pengkhianatan.
|
Waktu
itu Ryana terguncang. Iskandar cuma diam. Ia juga diam ketika Ryana meneriakkan
penyangkalan.
“Itu
tidak mungkin, Dok! Saya bersih, bukan pemakai narkoba, juga tak pernah
menerima transfusi darah. Apalagi zina….” Napas Ryana tersengal dalam satu
tarikan panjang. Lengan kiri Iskandar dicengkeramnya. Dan sorot mata Ryana itu,
ah, Iskandar begitu membenci diri sendiri, betapa terekam penyangkalan
dan kepedihan yang begitu dalam.
Dokter
Laksmi hanya tersenyum. “Soal itu saya tidak tahu, namun barangkali Tuan
Iskandar bersedia….” Ucapannya menggantung, ia mengalihkan pandangan pada
Iskandar yang hanya diam.
“Katakan
padaku, Iskandar, apakah kamu penyebabnya?” Ryana mengguncang lengan suaminya
yang semula dicengkeram, dengan keras. “Kumohon.”
Senyap
mengambang selama beberapa saat. Bagi Iskandar udara seolah sengak dan ia
terperangkap.
“Barangkali,”
jawabnya pelan. Begitu pelan dan berusaha menatap mata Ryana untuk tahu
reaksinya, namun tak kuasa.
“Namun
bagaimana?” kejut istrinya.
“Aku,”
Iskandar menghela napas. Berat. Kehilangan kata, kata terbaik yang sering ia
lontarkan dalam presentasi rapat perusahaan sekalipun.
Ryana
mendengus. Lalu, “Ini bukan menyangkut soal kamu saja!”
“Aku
tahu,” sesal Iskandar.
“Dan?”
Nada suara itu, o, begitu tajam.
“Dan…
aku telah melakukan kesalahan.”
“Kesalahan
yang berimbas pada orang yang mencintaimu, juga janin dalam kandungan ini….”
Suara itu mencapai taraf kasar, sesuatu yang jarang Iskandar dengar dari mulut
istrinya, yang ia tahu penyabar sepanjang kebersamaan mereka selama ini.
Ia
betul-betul marah, pikir Iskandar. Dan ia berhak untuk itu. Sedang aku?
Pesakitan dungu lagi gagu. Seorang pendosa tak berharga.
“Sialan
kamu, Iskandar!” sentak Ryana lalu bangkit dari kursinya. “Kita bicarakan ini
di rumah. Sebaiknya kamu naik taksi.” Dengan kasar direnggutnya kunci mobil
yang tergeletak di atas meja. “Saya pulang dulu, Dok. Sampai jumpa pada
pertemuan selanjutnya. Terimakasih banyak, dan maaf…,” Ryana mengangsurkan
tangan pada Dokter Laksmi yang hanya bisa terpana. Sungguh, meski sedang
mengalami berbagai krisis, baru kali ini ia bertemu dengan seorang pasien yang
begitu tenang dan tegar. Hanya matanya saja yang disaput kabut luka mendalam.
Ia tak menangis, seperti ada sesuatu yang ditahan.
Namun
disalami juga pasiennya dengan kagum dan seulas senyum. “Hati-hati di jalan,
Bu.”
“Dan
kamu, Iskandar,” suara Ryana penuh cekat, “sebaiknya bicarakan semua dengan
dokter jika masih punya keberanian sebagai seorang lelaki sejati….”
“Saya
biseks,” kata Iskandar kemudian. Setelah istrinya lama pergi, setelah ia diam
untuk entah berapa lama dengan kepala tepekur ke lantai, setelah dengan sabar
Dokter Laksmi mengingatkan. Dilihatnya raut wajah dokter itu. Ah, begitu
datar, dan cuma memberi anggukan pelan.
“Sudah
periksa darah juga tes kesehatan lainnya?”
“Belum,”
gelengnya lemah.
“Anda
tahu risikonya?”
Iskandar
hanya diam. “Barangkali,” akhirnya, “namun saya tak mengira akan bisa seperti
ini.” Ia sungguh menyesal. Sangat menyesal.
“Kita
akan lakukan pemeriksaan menyeluruh, sekarang juga. Jika Anda tak keberatan
sebab lebih cepat lebih baik.”
Iskandar
hanya mengangguk, “Ya. Namun istri saya bagaimana, Dok?”
“Kami
akan cari jalan. Butuh pemeriksaan dan perawatan menyeluruh juga. Anda tahu itu
akan makan waktu dan butuh biaya besar.
Belum lagi janin dalam kandungan istri Anda berisiko ikut tertular.”
“Saya
tahu, namun bukan itu yang saya inginkan.” Ia hilang kendali dalam kebingungan.
Matanya terasa memanas oleh gelombang perasaan yang menghantam. “Sungguh!”
Hanya
anggukan yang diberikan dokter. Seorang profesional kepada pasiennya. Dan
Iskandar menyadari batas-batas kapasitas dalam relasi antarpersonal. Batas yang
mendekatkan sekaligus berjarak.
***
Akhirnya
ia tiba di rumah, setelah meminta taksi berputar-putar tanpa tujuan sekadar
penundaan. Dilihatnya mobil Kijang Innova mereka diparkir di halaman, di luar
garasi yang pintu dorongnya masih terpentang seperti tadi. Ryana sudah pulang.
Ia membayar taksi sesuai tarif argometer. Dan udara di luar taksi betul-betul
sengak seperti akan ada badai. Dilihatnya langit dipenuhi arakan awan kelabu.
Bumi masih berputar dalam rotasi yang dikenalnya, rotasi yang kadang ia
abaikan. Namun ia tahu badai yang sesungguhnya ada di dalam rumah yang akan
dimasuki. Sungguh, ia tak ingin memasuki wilayah “badai” itu, namun ia harus.
Ada kekuatan angkuh yang menyeretnya untuk itu. Kekuatan dari kesalahan
bertahun-tahun lampau yang tak ingin dikenangkannya.
Pintu
pagar masih terbuka. Ia menutupnya sebagaimana kebiasaan yang sering dilakukan
agar rumah tetap aman. Namun apakah akan membantu sebab ialah penjahat yang
telah merusak ketenangan rumah hunian mereka.
Dengan
gontai ia menuju pintu depan. Betapa ia tidak ingin sampai. Kalau bisa, ia
ingin melangkah mundur dan tak memasukinya sebab tak pernah menghuni rumah itu.
Rumah yang asri bergaya mediterania dipenuhi rumpun-rumpun mawar, beberapa di
antaranya membentuk pagar merambat di atas pergola. Warna merah muda sesekali
menyembul membiaskan aroma harum yang segar di antara pucuk dedaunan. Iskandar
tidak tahu apa nama latinnya, ia bukan arsitek seperti istrinya yang penggila
jenis tanaman hias terutama bebungaan. Boleh dikata, halaman depan selalu
beraroma bunga. Aroma tajam yang kadang terbawa angin ke dalam rumah mereka.
Dari mawar, kenanga, cempaka, melati, sampai sedap malam dan entah apa lagi.
O,
betapa silam belasan tahun ia dan Ryana telah menghuni dan merawat rumah itu.
Dan belasan tahun lewat segalanya mesti berakhir seketika. Hanya karena ia, ya,
hanya karena ia memilih jalan yang menyesatkan: jalan penuh kutukan ketika ia
takluk atas nama syahwat. Sesuatu yang dianggap sebagai penyimpangan, atau
perbuatan abnormal bagi orang yang merasa masih punya moral.
Semua
karena Randy McLane, kawan sekamarnya kala kuliah di Sydney University demi
mengambil gelar master untuk bidang periklanan. Waktu itu ia masih hijau untuk
mengenal dunia kampus sebagai anak dari negara berkembang yang terdampar atas
beasiswa perusahaan. Randy yang mengenal baik Indonesia dan sering berkunjung
ke Bali, banyak membantunya. Ia sendiri mengambil gelar master untuk bidang
jurnalistik. Iskandar, karyawan cemerlang asal dusun pedalaman, benar-benar
tertarik dalam pusaran kebaikan Randy tanpa tahu ada udang di balik batu. Ia
menganggap Randy sebagai sahabat tak tergantikan. Bulan demi bulan berlalu,
mereka kian akrab dan tak terpisahkan. Sampai semua terjadi saja, sesuatu yang
mengubahnya. Randy mengajak berlibur di suatu rancah luar kota, liburan yang
mengesankan bagi Iskandar sebab ia bisa melihat langsung seperti apa tanah
pertanian dan peternakan di Australia itu sesungguhnya. Namun di tempat itu
pula, Randy melakukan sesuatu yang tak pernah dibayangkannya. Sesuatu yang
mengubah hidupnya sampai sekarang. Semua bermula dari sentuhan kala mereka tidur
dalam satu ranjang. Ranjang yang cukup sempit untuk memuat dua orang. Randy
yang pelan-pelan “menggerayanginya”, Iskandar semula berontak namun kalah
tenaga. Ia menyerah pada bisik rayu Randy dan gelombang getaran yang mulai
dirasakannya. Terkutuklah ia. Terkutuklah Randy. Sampai pada akhirnya Randy
berterus terang akan kegayannya. Ia membujuk agar Iskandar menjadi something
special-nya. Pada mulanya Iskandar enggan dan mual. Namun bukan Randy
namanya jika tak berhasil menaklukkan sesuatu yang diincarnya. Tak peduli di
Indonesia Iskandar telah bertunangan dengan Ryana.
Randy,
di mana ia sekarang? Setahun silam Iskandar berusaha berhenti dari dunia gay
itu sejak Randy, kekasih gelapnya, tak lagi berkabar. Hasrat itu kadang
menggelegak, tak peduli Ryana sang istri setia mendampinginya tanpa pernah tahu
sejarah hitam Iskandar. Ya, dua belas tahun mereka menikah tanpa dikaruniai
anak. Iskandar ingin berubah meski
terkadang ia takut punya anak dan menjadi ayah. Setahun ini ia mencoba
memperbaiki diri begitu timbul kesadaran akan makna bahwa pada suatu hari
manusia harus tampil sebagaimana adanya. Kesadaran yang barangkali terlambat
sebab ia malah menularkan bibit penyakit pada diri sang istri. Dulu Ryana
pernah hamil, sampai tiga kali namun selalu keguguran. Dan pada kehamilan ke
empat, akankah Ryana, juga sang janin, selamat? Baru kali ini Iskandar sadar
betapa rapuhnya kehidupan. Ia ingin bertobat.
Ia
memasuki rumah dengan langkah setengah mengendap. Sungguh ia takut pada
kemungkinan Ryana akan menyerangnya dengan apa saja. Atau mencacinya. Atau,
atau, atau…. Iskandar merasa pening dan kepanasan. Akhir-akhir ini ia merasa
tidak sehat namun semula beranggapan barangkali karena tekanan pekerjaan.
Apakah sekarang ini karena virus yang bercokol di tubuhnya telah mencapai tahap
ganas? Ia tidak tahu. Dulu ia kurang peduli soal itu. Ia tak berganti-ganti
pasangan selain pada Randy dan Ryana. Namun apakah Randy, yang sampai sekarang
tetap melajang, setia? Bagaimana jika Randy sendiri telah lama tertular virus
itu? Iskandar ngeri.
Ia
tak melihat Ryana di ruang tamu, tidak juga di ruang tengah. Namun ia mendengar
suara gedebuk benda jatuh di ruang kerja merangkap perpustakaan mereka.
Perlahan ia menuju sumber suara di arah paling belakang dekat taman. Pintu kaca ruang kerja terpentang lebar, dari pintu
itulah ia melihat Ryana sibuk dengan laptopnya di antara tumpukan buku tebal
yang tampak baru. Ia tidak tahu buku-buku apa itu. Angin kencang dari kipas
gantung menerbangkan tirai tipis dari pintu kaca yang sama terpentang lebar
menghadap patio dan taman, ikut mengembus anak rambut di kening istrinya yang
diikat ekor kuda. Ah, ia masih tetap muda dan cantik dalam usia jelang
kepala empat. Betapa kemudaan dan kecantikan itu akan terenggut oleh sesuatu
yang tak semestinya. Dan dosa itu, Iskandar harus menanggungnya sebagai beban
selama sisa hidupnya yang entah sampai kapan.
“Ry….”
“Kamu
sudah pulang?” Ryana sama sekali tak memalingkan wajah dari laptop tersebut.
Iskandar
tidak tahu harus bagaimana. Apakah kepulangannya tak diinginkan? Apakah Ryana
ingin agar Iskandar segera menyingkir dari hidupnya, dari rumah kebanggan
mereka?
“Ry,
aku… aku… menyesal.” Ia tetap mematung di ambang pintu, hanya beberapa langkah
saja dari kursi oval Cellini tempat Ryana duduk di antara laptop dan tumpukan
bukunya. Ia mendengar Ryana mendesah. Menggumamkan sesuatu yang tak jelas,
serupa rapal doa.
“Tadi
aku berkeliling dari toko buku ke toko buku demi mencari literatur mengenai
HIV/AIDS, juga beberapa buku mengenai motivasi hidup dan keagamaan….” Kali ini
Ryana memalingkan wajahnya ke arah Iskandar yang memandang dengan penuh sesal.
Ada diam yang asing di antara mereka.
“Bagaimana
tesnya?”
“Aku
belum tahu, Ry.” Iskandar melihat bahwa mata itu seperti habis memeram tangis.
“Kemarilah,”
Ryana melambai sembari menunjuk ke sampingnya. Iskandar ragu, namun demi
dilihatnya kesungguhan sang istri, Iskandar terpaksa mendekat. Duduk di sisi
kursi dengan segan.
“Masih
ingat Rebbeca Watson rekan kerja Randy McLane?” Pertanyaan itu serupa guruh.
Didengarnya guruh yang sebenarnya meledak di angkasa. Tentu ia kenal Beck yang
pernah diajak Randy menginap di rumah mereka dalam rangka peliputan berita.
“Beck
bilang bahwa Randy kemarin malam meninggal karena,” Ryana seperti sengaja
mengambil jeda namun matanya tajam menghunjam wajah Iskandar seolah hendak
mengelupasi dalam irisan tipis, “virus HIV yang sudah sampai taraf AIDS!” Ryana
menyodorkan laptopnya, di sana ada surel dari Beck untuk Ryana.
Gemetar
Iskandar menerima laptop itu. Ia kian pucat
membaca kalimat demi kalimat Beck sebagai jawaban atas pertanyaan Ryana
barusan.
“Yang
aku tahu tentang Randy denganmu hanyalah sepasang sahabat tak terpisahkan,
namun lama-kelamaan aku mencurigai kalian. Entahlah, Iskandar, naluriku yang
bilang. Sebagai istri kupikir kamu aneh karena ada saat di mana aku merasa kamu
tidak seperti biasanya jika bersama Randy….”
“Ryana….”
“Namun
aku mencintaimu, terlalu mencintaimu untuk…, untuk…. Ya, Tuhan, apa yang
kulakukan? Aku tak mencegahmu, apalagi bertanya padamu!” Tangis Ryana pecah
seketika.
Ia
amat terguncang, begitu pun aku, pikir Iskandar dengan mata basah. Kematian
Randy di luar dugaannya. Randy yang cerdas dan ramah, yang supel dalam setiap
pergaulan serta selalu tampil gagah. Begitu cepat maut merenggut hidupnya.
Randy yang tak ingin Iskandar tahu selama setahun ini sekarat digerogoti
“karma” perbuatannya. Randy yang ternyata seorang petualang cinta. Bisakah
Iskandar percaya?
Ryana
masih terguncang dalam sedu-sedan. Itulah sebabnya mengapa di ruang praktik
tadi ia bisa agak tenang, sekarang ia hilang kendali karena naluri bawah sadar
seorang istri pada akhirnya menemu jawab meski sudah terlambat.
“Aku
takut, Iskandar!”
Iskandar
menjawab ketakutan Ryana dengan merengkuhnya dalam pelukan yang erat dan ikut
menangis bersama. Ia pun sama takutnya, barangkali lebih takut. “Aku
mencintaimu, Ryana, maafkan aku…,” sesal itu seolah sia-sia. Di luar guruh
kembali meledak seolah langit pun murka. Angin kencang kian memainkan tirai,
memberi bebunyian asing beserta dingin. Namun Iskandar merasa terbakar.
“Aku
ingin janin dalam perutku tetap hidup, aku ingin tubuhku tak digerogoti virus
laknat,” erang Ryana. “Aku benci kamu, Iskandar keparat!” tamparnya histeris.
Lalu luruh kembali dalam pelukan lelaki yang selama dua belas tahun ini tak
lebih dari seorang pemain sandiwara gagal. Iskandar merasa tamparan itu tak
berasa apa pun bagi jiwanya yang hampa.
Hujan
turun pelan-pelan. Kemudian menderas dan menderas, beserta gelegar guruh yang
keras. Di luar, taman tampak kelabu dan muram. Di dalam, sepasang insan
berpelukan dalam tangis penyesalan. Ada sesuatu yang belum usai.***
Limbangan,
Garut, 10 Agustus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D