Limbangan,
Garut, 4 April 2007
Malam
berhujan menjumpai seseorang
Eria yang baik,
Semoga saat ini kamu baik-baik saja. Saya mencoba menulis
surel jawaban atas tanggapanmu untuk surel bertajuk “Kepada Yth. Ujianto
Sadewa, Iman Abda dan Badui U. Subhan”.
Masih lelah dan dada sesak setelah kemarin sore (jam
setengah empat yang alhamdulillah tak hujan) tiba di rumah, lalu
malamnya saya ketiduran di sofa dengan televisi menyala dan terjaga tepat
tengah malam kemudian tahajud. Habis tahajud malah menonton film konyol tentang
vampir di SCTV sampai pukul tiga dini hari. Begadang yang sia-sia. Saya tak mendapatkan
sesuatu dari film itu. Mestinya tidur saja. Toh, energi saya terkuras
cukup besar setelah dua hari di Bandung . Menyadarkan saya bahwa tak mungkin
kelak bisa begadang di warnet dari malam sampai subuh karena tak akan kuat.
Jarak tempuh Limbangan-Bandung (lalu Bandung-Limbangan) saja sudah melelahkan,
belum lagi dibikin jantungan kala kemarin sopir angkot trayek Stasiun
Cicalengka-Limbangan ngebut di jalan yang penuh tikungan dan jurang padahal
licin karena hujan.
The death was closer!
Sekarang saat yang tenang untuk menanggapi surelmu karena
kemarin di warnet saya sibuk kirim sana-sini sesuai yang direncanakan (setelah
bolak-balik mencuri waktu demi mengetik di rental dekat Pasar Limbangan sehabis
belanja untuk warung ibu saya).
Saya merencanakan untuk lebih sering bolak-baliknya. Mencoba
produktif, semoga beroleh rezeki berlebih agar bisa bergerak dalam dunia
menulis meski harus turun gunung ke Bandung -- plus sport jantung dan
kembali mencium aroma maut yang harum! (Sepulang dari warnet di Garut Kota yang
akses internetnya masih lamban dan billing yang mahal karena 6.000 per
jam, sopir angkot Limbangan-Garut Kota ngebut dan main salip sana-sini
tak peduli sedang hujan dan jelang malam, masih mendingan tak banyak jurang.)
Eria, saya tak tahu banyak tentang kamu. (Sekarang boleh
ber-kamu? Eria juga boleh ber-kamu pada saya.). Namun terima kasih telah
berbagi soal itu. Membukakan mata saya bahwa hidup memang penuh struktur tak
terpahamkan.
Pekerjaan, tekanan keluarga, sampai dunia menulis hanyalah irama
kehidupan; bahwa Eria masih punya pilihan. Pilihlah apa yang terbaik
menurut-Nya. Sebab bisa jadi apa yang kita kira baik ternyata sebaliknya.
Klise? Barangkali.
Akan tetapi, apa yang saya bagi dan ungkapkan dalam sekian
surel berantai hanyalah semacam refleksi diri dalam memandang dan menghayati
kehidupan. Ada keluhan, kepahitan, ketabahan, juga parodi untuk tegar. Cuma
untuk membukakan mata orang-orang yang lebih beruntung namun lupa (atau tidak
tahu) cara bersyukur.
Terima kasih telah menanggapinya secara positif.
Sekarang, Eria, selaku orang dewasa, syukurilah bahwa Eria
masih punya pilihan (atau setidaknya boleh memilih) di antara sekian pelaku
kehidupan yang bisa jadi berposisi tak bisa apa-apa dan harus pasrah pada
realita.
Ya, bagi sekian orang (yang punya banyak pilihan atau
peluang lahan penghidupan lain) menulis bukanlah segalanya; cuma sekadar
solilokui, pelipur lara, arena ekspresi atau terapi jika depresi.
Namun bagi orang-orang tertentu yang merasa tak punya opsi
lain, menulis adalah segalanya. Orang sunyi macam saya akan hampa luar biasa
jika tak kenal dunia literatur. Saya paham seperti apa rasanya karena memasuki
dunia ini pada usia 23 tahun, usia yang cukup lambat -- namun, seperti kata
pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak pernah sama sekali.
Tentu ada sekian alasan bagi sekian persona yang memilih
jalur menulis sebagai “jalan pedang”. Dan kamu, Eria, barangkali jalan pedangmu
bukan dalam bidang ini. Masih ada bidang lain yang menuntut kesungguhan dan
kegigihan (juga ketabahan dan kecerdasan) untuk kamu tapaki. Entah di kantor
tempat kerjamu atau di bisnis keluarga. Keduanya bisa dijadikan sinergi. Ya
melelahkan dan menekan! Namun coba lihat segi positifnya. Belajarlah melihat ke
bawah. Dan yang utama dekatlah dengan Allah; agar jiwa tenteram. Bahwa hidup
memang tidak mudah, namun apa arti hidup jika kita tak bisa meresapi sekian
reniknya?
Saya telah melepas pekerjaan (yang ikut menghidupi dunia
menulis secara finansial) demi sesuatu: kebebasan dan harga diri selaku
individu. Bukan saya tak bertanggung jawab, namun ada saatnya kita harus
memilih ketika situasi kian runyam. Perusahaan mundur karena gaya hidup
keluarga bos yang cenderung konsumtif; rekanan pada “menyingkir” atau
“disingkirkan”; ketidakpercayaan distributor karena soal pembayaran utang;
pelanggan adalah arus pasang-surut; lalu yang terburuk bos punya masalah
pribadi dengan keluarganya dan mengambil jalan untuk kebahagiaan (entah itu
semu atau apa) sendiri sehingga mengabaikan kinerja perusahaan karena beralih
pada bisnis lain. Selain itu, saya menguatirkan kesehatan fisik dan psikis yang
cenderung menurun dengan ritme hidup 12 jam lebih di luar rumah demi pekerjaan
setiap hari tanpa libur, ditambah dunia menulis dan sekian orang yang berbagi
peran. Toko itu bukan lagi tempat yang baik bagi saya, keterbatasan saya pun
mengganggu mereka karena harus memasuki wilayah yang bukan kapasitas saya di
awal-awal masa kerja.
Uf, apakah saya patut dikagumi karena mencoba memilih jalan
menulis sebagai lahan penghidupan? Eria, saya pernah tiga tahun berada dalam
situasi seolah penganggur di awal-awal karier kepenulisan (Mei 1999 – Februari
2002). Dan saya tahu risikonya dengan hengkang dari pekerjaan. Namun dibanding
dulu, sekarang lebih lumayan.
Jaringan perkawanan dan wawasan yang kian bertambah!
Bersyukurlah bahwa Eria pernah memilih dunia menulis
kala kuliah karena pada saat itu dunia lebih beragam untuk dijelajahi dan
mengantarkanmu menjadi seperti sekarang ini.
Kamu pernah berwarna, Eria. Sekarang pun kamu masih bisa
memberi warna pada hidupmu. Bekerjalah karena itu memang suatu kehormatan di
antara sekian ketidakberuntungan yang terpaksa dicecap orang. Jikapun membuat
kesalahan, semoga bisa belajar. Saya pernah tertekan karena dalam satu hari
membuat begitu banyak kesalahan di tempat kerja. Lalu saya sadar sedang futur
berat dan terlalu membiarkan diri ditelan rutinitas sehingga beribadah pun
terasa hambar seolah tak ikhlas dan hanyalah ritual tanpa penghayatan.
Ya, jadi orang kota yang masuk kategori urban worker
itu tidak mudah. Hidup seolah diburu-buru sesuatu demi materi yang ternyata
semu. Untuk apa materi? Bisa bertahan di tengah kerasnya kehidupan? Bisa
belanja dan membahagiakan ibu? Barangkali. Namun pada akhirnya terbentur
kenyataan: kepuasan adalah titik nadir dalam hidup, orang memburu itu sampai
lupa mencerap maknanya. Semoga Eria tidak menjadi bagian dari pelaku demikian.
Maaf, saya melulu bercerita tentang diri sendiri. Ini
hanyalah cermin bagi sekian perumpamaan. Berbahagialah jika Eria memang yakin
layak berbahagia. Melangkahlah dengan waspada namun tak meninggalkan sikap
tawakal. Hidup memang penuh prasangka, namun cobalah untuk tawadu. Jika Eria
tahu apa yang harus dilakukan, lakukanlah dengan penuh pertimbangan, yah
semacam salat Istikharah. Dunia memang penuh muslihat namun semua tipu daya itu
tidak mempan jika kita termasuk orang yang berserah diripada-Nya.
Tidak, saya
tidak memaparkan sikap pasif! Hidup harus aktif, dinamis, kalau bisa agresif.
Namun tolong jangan jadikan materi sebagai segalanya dan tolok-ukur
kebahagiaan. Itu hanya sarana agar kita tetap bisa melangkah pada jalan pedang
yang hakiki: jalan yang diridai-Nya.
Doa, Eria, semoga kamu masih menjadikannya sebagai muara. Di
kala susah, saya berdoa (ya, begitulah kita tak lebih makhluk lemah yang cuma
bisa berkeluh kesah pada-Nya namun pada saat senang bisa lupa diri dan
lupa-Nya), dan semua kesusahan seolah tak terasa menyesakkan. Sebab selalu ada
jalan dan pintu-pintu untuk kita ketuk dan masuki.
Yakin dan tabahlah, Eria.
Mungkin suatu saat kamu bisa punya waktu untuk menulis.
Mungkin menulis itu butuh waktu. Namun selalu ada waktu untuk apa saja sejauh
kita masih diizinkan-Nya mencerap hidup sebelum maut merenggut!
Tersenyumlah, Eria.
Selalu ada tempat dan insan untuk berbagi; berbagi sapuan
warna-warni.***
Wassalam,
Rohyati Sofjan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D