Jumat, 14 Februari 2014

Poli

 
(Sumber foto sampul buku diambil dari blog punya M. Badri di http://ruangdosen.wordpress.com)


Poli




            Ini terjadi di suatu malam terang bulan yang tenang, pukul sembilan.
P
ilihannya hanya dua: bercerai atau poliandri?
Ia limbung disodori pilihan demikian. Itu ide Run, istri pertamanya. Dan jelas ia tak ingin memilih salah satu di antara keduanya. Ia mencintai Run, setidaknya itu yang diyakininya, dan ia pun tahu Run masih mencintainya. Selain itu, ada Tristan, bayi mereka yang baru berusia 6 bulan. Bagaimana mungkin ia bisa berpisah dengan mereka? Apa kata dunia nantinya? Keluarga, kerabat, kawan, tetangga, sampai kolega mereka?
Ia tak ingin bercerai. Apalagi poliandri!
Di seberang meja persegi berukuran 1 X 1 m dengan kaki rendah beralaskan karpet kecil dan beberapa bantal jenis tatami, Run masih beku dengan pendiriannya, duduk bersila di atas bantal dengan punggung tegak sekaligus tegang. Ia begitu anggun dalam balutan lingerie abu-abu dan rambut tergerai sepunggung, sekaligus tak terjangkau. Sementara ia sendiri hanya berkaus oblong putih dan sarung kotak-kotak ungu, berusaha menilai sang istri di balik lensa kacamatanya. Rumah terasa senyap tanpa suara-suara yang biasa berderak. Keheningan seolah mencengkeram keretakan hubungan sepasang insan yang gagal membina mahligai perkawinan. Terang lampu dan segala keserasian pernak-pernik ruang tengah seakan tak mampu mengusir hawa muram di antara mereka.
Ia mencoba tersenyum. Pahit. Run balas tersenyum. Sama pahit.
Bercerai? Mungkin itu kata kerja yang biasa. Namun poliandri? Tidakkah Run mengada-ada, atau memang hendak membalas dirinya yang hampir dua tahun berpoligami, dimulai sejak bulan Mei? Ia merasa nyeri. Sesuatu menusuk bagian jantungnya, membuat pembuluh darah seolah tersumbat, mengacaukan sirkulasi jalan udara, berakhir di kepala.
“Kukira itu cukup adil bagi kita.” Run memecah hening, menambah pening.
“Kita? Ada apa dengan kita, bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja?” Ia gusar sekaligus menyangsikan ucapannya sendiri sehingga nada suaranya tak yakin.
Run tersenyum, masih pahit. “Abah sendiri tidak meyakininya, bukan?” Ia tak bisa mendengar namun cukup peka akan suasana hati suaminya. “Lagi pula, tujuan perkawinan kita telah hilang arah. Jadi, apa salahnya kita bercerai, setidaknya Ayu bisa menggantikan posisiku sebagai istri pertama. Namun jika Abah keberatan dengan perceraian,” Run mengambil jeda namun sepasang matanya tajam menghunjam kornea mata suaminya yang dipanggil Abah, “Aku bisa menikah lagi dengan Deni secara poliandri, setidaknya mempertahankan perkawinan semu kita dengan syarat kita tak bercampur sebagai suami istri lagi.”
Itu ide gila! Ia tahu itu. Run sering melakukan hal-hal gila dalam hidupnya. Atau Run sengaja menyodorkan alternatif poliandri untuk membagi lukanya sebagai istri yang dimadu? Ia lesu.
Ia telah mengenal Deni, kawan SMP Run. Mereka dua tahun duduk di kelas yang sama namun waktu itu tak akrab sebagai kawan. Run pernah terpaksa tiga tahun berhenti sekolah setamat SD, namun pada akhirnya bisa melanjutkan lagi dan selalu belajar di sekolah umum tanpa alat bantu dengar.
Tiga kali ia bertemu Deni dan keluarganya di Yogya, Bandung, lalu Yogya lagi. Dua yang terakhir untuk alasan medis ketika Deni memeriksa kondisi kesehatan Run kala hamil dan pascalahir. Lelaki itu tampan dan simpatik, usianya 3 tahun di bawah Run namun tampak matang dan santun. Deni seorang dokter spesialis khusus di suatu rumah sakit Kota Bandung. Dan ia tak punya pretensi apa-apa tentang lelaki itu, lelaki yang diam-diam telah menjalin persahabatan khusus dengan istrinya, selama hampir dua tahun! Dan selama masa itu ia pikir semua baik-baik saja dalam hampir tiga tahun perkawinan mereka. Ia tak pernah berpikir Run akan mencari alternatif lain, ketika perkawinan disudutkan situasi yang membuat ia terpaksa menikah lagi dengan perempuan lain.
Ia merasa terhina. Begitu cepat Run beralih setelah hampir dua tahun mampu menyamarkan ketidakberesan yang menghantam mereka. Namun haruskah ia menyalahkan Run? Perempuan mana yang rela berbagi suami dengan perempuan lain? Namun apakah ia akan rela berbagi istri dengan lelaki lain? Ia tahu Deni pun pasti sama tidak relanya.
“Apa alternatif Deni?”
“Bercerai.”
“Dan jika aku tidak setuju?”
“Mengapa Abah mempersulitnya? Apakah aku mempersulit ketika Abah berpoligami?” Nada suara Run menukik naik. “Aku akan sodorkan alternatif poliandri agar adil bagi kalian. Tak peduli kalian suka atau tidak!”
Adil? Ia tertawa getir. Suka atau tidak? Lagi-lagi ia tertawa lebih keras. Tak memedulikan tatapan istrinya yang memicing dalam ketersinggungan.
Ia dihempaskan pada realita tak terduga dari sandiwara kehidupan yang mereka lakonkan. Ia sadar Run adalah subjek sebagaimana dirinya, sebagaimana Ayu, sebagaimana Deni. Dan sebagaimana pula Tristan yang tak terusik di kamarnya dalam naungan kelambu, kamar bergradasi kuning pastel dengan boneka bebek-bebek kuning kecil berbaris di salah satu rak.
Run yang menata desain interior rumah kontrakan mereka. Ia hanya membantu dari segi pengerjaan akhir yang berat-berat seperti memaku dinding, mengecat warna, atau menaruh furnitur. Sampai menata tanaman di kebun hidroponik mereka. Run sangat suka berkebun, tanaman hias campur apotek hidup yang subur di sela kolam ikan besar bagian belakang rumah dan kolam hias berair mancur kecil di halaman depan, membuat suasana rumah sederhana berdinding gedek ini tampak teduh dan asri. Sedikit menyepi dari keramaian perkotaan meski tidak terlalu terpencil. Masih dipenuhi rindang pepohonan.
Rumah mereka jenis rumah panggung di lembah yang arah belakangnya menghadap hamparan sawah. Kiri-kanan rumah tetangga tidak berdempetan. Ada listrik, sumur, dan kamar mandi. Terdiri dari 6 ruangan yang masing-masing dibagi dalam 2 kamar tidur; ruang tamu dengan kursi-kursi rotan ringan dan lemari berisi televisi, pemutar DVD portabel, dan buku-buku; ruang tengah yang merangkap perpustakaan dan ruang kerja; gudang yang beralih fungsi jadi musala; dapur yang ditata secara apik dengan peralatan masak elektronik dan masih menyisakan ruang untuk makan secara lesehan. Ditambah kamar mandi berlantai keramik dengan sumur yang merupakan bagian agak terpisah, menyatu dengan bagian kanan dari belakang rumah dan merupakan tempat jemuran sekaligus garasi motor Abah yang aman.
Beranda depan berlantai papan dengan tiga undak anak tangga dari gelondongan bambu di bagian samping yang sama terlindung atap tripleks. Di beranda itu ada sepasang kursi plastik dengan meja plastik yang di atasnya ditaruh jambangan berisi rangkaian daun pakis dan bunga segar dari kebun. Kuda-kuda beranda dipenuhi pot tanaman hias yang tergantung dengan aneka spesies herba menjulur. Ia mencintai rumah ini. Run telah bersusah payah menatanya sejak bulan-bulan pertama pernikahan mereka. Bahkan mereka mengontrak rumah ini sebelum menikah atas ide Run agar bisa segera menempati rumah “pribadi” yang terpisah dari kawan-kawan sekontrakan, dua rekan kerjanya.
Ia menyukai Run yang efisien dan detail dalam setiap perencanaan. 3 tahun ia mengenal Run sebagai kawan semilis bahasa Indonesia. Baru tahun ke-4 ia bertemu langsung dengannya, memutuskan untuk segera menikahinya. Meski keluarganya menentang, meski kawan-kawannya mempertanyakan, meski Run ragu, meski kawan-kawan Run ikut menyangsikan, meski keluarga Run menyeretnya dalam permufakatan keluarga besar seolah hidup Run adalah urusan mereka pula. Namun ia meyakini keputusannya untuk berbagi hidup, berbagi tubuh, dan berbagi jiwa dengan perempuan yang berusia 5 tahun di atasnya. Ia mencintainya, setidaknya ia bisa belajar akan makna cinta bersama Run. Dan selama ini, setidaknya tahun pertama perkawinan mereka, ia bahagia, Run juga. Sampai sesuatu mengubah hidup mereka: ketidakhadiran anak!
Ia dan Run bersabar. Apalagi dokter bilang mereka berdua sehat dan normal untuk memiliki keturunan, masalahnya cuma waktu saja. Barangkali belum saatnya. Namun mereka tak henti berdoa dan ikhtiar agar bisa utuh sebagai orang tua, berharap Tuhan sudi memberi kepercayaan.
Di tahun pertama perkawinan mereka, di sela masa penyesuaian diri dan pengenalan karakter, Run sangat menikmati hidup dan penuh gairah. Kian produktif menulis apa saja. Menata rumah, memasak, berkebun, belajar menjahit dan kriya, mengatur dan menambah koleksi literatur. Sampai belajar secara e-learning dari www.kampussyariah.com, http://ocw.mit.edu, dan lain-lain.
Run tidak muda dan segar lagi. Usianya 31 tahun waktu mereka menikah, namun ia sangat antusias pada berbagai hal yang mampu menarik perhatiannya. Ia suka perjalanan dan petualangan. Belajar fotografi dari sang suami. Sesekali mereka trekking atau tracking atau hiking atau bermain air. Run perempuan outdoor, perbatasan antara kota dan kampung, lebih tepatnya orang gunung, bukan tipikal perempuan rumahan yang santun. Namun ia mencoba menjadi istri yang baik baginya. Kawan diskusi dan bercinta di atas ranjang. Partner masa depan yang bisa diandalkan. Ia melakukan hal-hal yang tak pernah dilakukan semasa lajang: belajar dandan. Sebab ia ingin tampil menarik di dalam rumah sekalipun, khusus demi suami. Run telah mencoba berbagai cara untuk meningkatkan kualitas kepribadiannya, juga kualitas kehidupan mereka.
Haruskah ia menyalahkan Run seperti yang dilakukan keluarga dan kerabatnya hanya karena 12 bulan pernikahan mereka tidak beroleh anak? Dan ia dihadapkan dilema oleh keluarganya: menikah lagi, tidak tanggung-tanggung calonnya langsung disodorkan kala ia dipanggil pulang kampung sendirian.
Sebagai anak sulung yang berbakti ia tak bisa mengelak. Ia tak ingin menceraikan Run seperti yang diminta keluarganya. Namun ia juga tak ingin menikahi perempuan ayu yang bernama Ayu dan usianya 24 tahun waktu itu, sebab ia tahu bagaimana perasaan Run dan komitmen perkawinan yang telah mereka pegang selama 13 bulan. Namun ia terpaksa. Tanpa izin Run, tanpa setahu kawan-kawan dan kolega mereka. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia serasa menjadi pengkhianat besar. Dan ia telah menelan akibat dari “pilihannya”.
Sepulang dari pernikahannya, ia mengakui semua ketelanjuran yang dilakukan. Ia ingin jujur, apa pun risikonya. Run terpukul. Ia pikir mereka akan bertengkar, justru Run memilih senyap dalam diam. Tidak menerima, tidak menolak, tidak berkomentar apa-apa, juga tidak membadai dalam cucuran air mata. Hal itu membuatnya bingung. Namun Run enggan mendiskusikannya lagi.
Lalu semuanya berubah. Hubungan mereka terasa kaku dan formal. Tidak ada lagi kehangatan dan spontanitas. Pelan namun pasti, ada jarak terentang di antara mereka. Jarak yang membuat percintaan di atas ranjang tak lebih dari suatu formalitas ritual perkawinan.
Ia sadar Run masih mau bercinta dengannya demi kewajiban campur keinginannya sendiri sebagai seorang istri pada suami. Namun semua berbeda, Run tak pernah mendesah dengan mesra sambil membisikkan namanya lagi. Tak ada lagi getaran-getaran yang dulu pernah mereka rasakan. Dan saat ia menyapu wajah berkeringat yang disiram redup lampu, tak ada lagi kecantikan ynag terbakar gairah di parasnya. Lebih sering ialah yang terbakar rasa bingung; apakah ia menyetubuhi Run dengan cinta atau nafsu atau terpaksa? Ia lebih suka mengakhiri kebingungan itu dengan mencium lembut tahu lalat kecil di atas payudara kiri Run. Satu-satunya hal yang mengingatkan pada pertama kali mereka bercinta di malam pengantin dengan keliaran tak terbayangkan.
“Apakah akan sakit?” Run menggoda namun serius.
Dan dengan nakal ia bilang bergantung bagaimana nantinya sebab belum dicoba. Mereka sama-sama terbakar oleh rasa malu dan ingin tahu. Dan ia menikmati saat itu, tubuh kurus yang menjepitnya dalam kehangatan gairah malam pertama. Tubuh mungil yang ia tindih dengan segenap kelembutan dan kasih sayang. Tubuh dengan tonjolan tulang keras yang pada akhirnya sintal setelah beberapa bulan pernikahan. Run menemukan muara aman akan makna tubuh dengan membaginya pada seorang lelaki yang menjadi suami sekaligus qowwam.
Namun masihkah ia mampu menjadi muara itu? Apakah Run jijik membayangkan bercinta dengan lelaki yang telah dan selalu bercinta dengan perempuan lain, istri kedua yang menjadi madunya. Bagi Run cukuplah Ayu berada di bagian Timur kota ini, ia tidak ingin kenal apalagi tahu sosoknya, juga tak ingin tahu apa pun tentangnya. Dan sebagai suami ia berusaha mengambil jalan aman untuk menyelamatkan perkawinan mereka, dengan berlaku adil bahwa Run satu-satunya istri yang ia cintai dan ingini. Namun sulit memang untuk adil. Sebulan sekali ia harus bolak-balik antara kota mereka dengan kota yang Ayu diami. Di sana Ayu bekerja sebagai guru.
Run tak pernah berkomentar apa-apa tentang itu. Kian menenggelamkan diri dalam proyek tulisan-tulisannya. Kadang saat ia pergi untuk berbagi ranjang, Run ikut pergi ke berbagai tempat untuk riset penulisan. Dan ia tak bisa melarang. Kadang Run seperti sengaja melakukan perjalanan panjang dengan alasan riset sebagai pelarian.
Ia menghargai upaya Run untuk mengembangkan diri, sebagaimana Run menghargai upayanya untuk mengembangkan diri. Run mendorongnya untuk kuliah lagi, sampai ia meraih beasiswa untuk melanjutkan studinya di Singapura seperti sekarang ini. Beasiswa yang membuatnya bimbang sebab Run berniat meyudahi sandiwara perkawinan mereka, melanjutkan hidup pada persimpangan jalan masing-masing. Ia tidak ingin! Ia ingin belajar di Nanyang Technological University, namun dalam dukungan Run. Ia lebih membutuhkan Run daripada Ayu, Run-lah sumber segala spiritnya, tak peduli betapa hambarnya perkawinan mereka. Suka atau tidak, Run ibu dari Tristan darah daging mereka. Darah daging yang kini diperebutkan keluarganya untuk diurus Ayu karena sampai sekarang Ayu tak hamil-hamil juga.
Ibu mana yang mau menyerahkan anaknya pada orang lain, apalagi pada rivalnya? Padahal, ketika Run ketahuan hamil dan ia berkabar pada keluarganya di Jember. Mereka malah skeptis, khawatir anaknya cacat fisik seperti ibunya atau Run tak bisa mengurus anak. Ia coba mencurahkan perhatian penuh pada kehamilan Run, fase semacam itulah yang membuat jarak di antara mereka perlahan memudar. Sampai Run melahirkan seorang bayi lelaki dengan selamat. Run ngotot agar bayi itu dinamai Muhammad Tristan Munir. Untuk 9 bulan lebih perjuangannya mengandung lalu bertarung dengan rasa sakit tak terkira dalam persalinan, ia menyetujuinya. Run mengagumi Tristan Jones, pelaut legendaris asal Inggris yang menjadi muallaf itu.
Bagaimana mengubah ketelanjuran? Seandainya Run hamil satu bulan sebelumnya, pasti ia tak perlu menikah dengan Ayu. Namun janin Tristan tercipta pada bulan ke-14 perkawinan mereka. Suatu subuh di bulan ke-16, Run muntah-muntah di kamar mandi. Semula mereka pikir hanya sakit biasa apalagi sebelumnya Run habis bepergian jauh. Namun ketika makin sering, ia yakin Run hamil. Memeriksanya ke bidan di puskesmas terdekat meski Run sangsi. Hasilnya positif. Ia bahagia, namun mata Run tampak hampa. Dan ia malu teramat sangat. Malu pada kegagalannya sebagai suami yang menyangsikan istri.
“Kita masih harus berjuang agar janin ini bisa lahir dengan sehat dan selamat,” kata Run lemah dan tak bersemangat, terutama ketika mengucapkan kata “kita”. Namun Run tak mengurangi aktivitas luarannya dalam riset kepenulisan. Itu membuatnya cemas, ia berpikir Run tak peduli pada bayi itu, atau bayi itu bukan benihnya. Ada lelaki lain yang membuahinya. Bahwa ialah yang bermasalah bukan Run. Apalagi pada bulan-bulan selanjutnya ketika kandungan Run membesar, Ayu tidak hamil juga. Ia uring-uringan; pada Run, pada Ayu, dan pada dirinya sendiri.
Namun Tristan berhasil memupus sangsinya. Makin lama makin tumbuh besar, makin serupalah dengannya. Terutama rambut, alis, hidung, dan bibir. Kecuali mata dan kulitnya yang mengikuti sang ibu dengan bulu mata lentik dan warna kulit terang. Ia mencintai Tristan, ia mencintai Run. Namun juga menyayangi Ayu meski ragu apakah mencintainya.

Kini apa yang harus dilakukan pada perempuan yang hampir dua tahun rela berbagi suami dengan perempuan lain? Perempuan yang tak menuntut apa-apa. Kadang tenggelam dalam kesenyapan dunia sunyinya. Run masih berperan sebagai istri dan ibu rumah tangga yang baik. Koki piawai menghidangkan masakan lezat dan sehat.
Run merawat dan mencatat perkembangan Tristan dengan telaten. Memeriksakan kesehatannya secara berkala, berpantang beberapa makanan yang ia tahu bisa merusak kualitas ASI-nya. Menenggelamkan diri dalam literatur perawatan anak. Sesekali bertanya pada rekannya yang sudah berkeluarga, atau dalam milis tentang keluarga. Mereka berlangganan internet di rumah.
Run menolak campur tangan siapa saja untuk mengurus Tristan. Tidak keluarganya, tidak ibu kandung Run yang masih berperspektif sempit. Run tidak keberatan Tristan ikut diasuh mereka, namun sebagai perempuan praktis yang tak memercayai klenik, ia enggan mengikuti konsep yang tak sesuai keyakinannya. Sebagai suami yang baik ia berusaha mengimbangi upaya Run dalam merawat dan membesarkan Tristan. Sesekali ikut ambil bagian dalam pola asuh tersebut. Run berterima kasih atas andilnya. Sesuatu yang membuat rasa malu itu kembali menyergap, seolah ia tidak layak jadi ayah. Karena itu ia berupaya keras agar keberadaannya di rumah terasa berarti bagi Run dan Tristan. Sampai Ayu uring-uringan dan sering menelefonnya kala ia lupa giliran. Barulah ia sadar posisinya sebagai lelaki muda dengan dua istri yang jika orang dekat mereka tahu maka akan hancurlah reputasinya.
Ia merasa dunia menertawakannya. Dan Deni, bajingan itu mengapa harus hadir dan mengudeta posisinya? Ia sudah merasa nyaman dengan karier mapan, jenjang pendidikan, dan rumah tangga yang…. Ia ragu rumah tangga macam apakah itu. Ia bahagia, namun apakah Run pun bahagia?
“Apa yang Teteh tahu tentang Deni? Yakinkah bahwa ia lelaki yang baik bagi Teteh dan Tristan?” Ia mencoba berdiplomasi sembari mengingat kejadian tak enak di suatu malam pada bulan Mei, ketika dengan tenang sekaligus dingin Run meletakkan sepucuk surat di meja rendah itu. Surat untuk Run, dari Ayu!
“Tolong bilang padanya, aku tidak ingin terlibat dalam komunikasi apa pun apalagi menjadi orang sok bijak bagi perempuan yang telah mengambil sebagian dari hidup suamiku.” Itu merupakan pemicu pertengkaran pertamanya dengan Ayu. Run tak mau tahu apa isinya. Itu bukan urusan Run! Dan ia terpukul dengan isi surat tersebut. Ayu menuntut agar Run membagi suami secara lebih adil. Dari itulah jurang antara ia dan Ayu mulai terentang.
“Untuk apa Mas habiskan waktu dengan perempuan tuli itu? Mestinya Mas di sini, ganti karier dan lebih sering bersamaku agar aku bisa segera hamil?! Atau aku di sana dan suruh Run pulang kampung saja!” Itu badai pertengkaran pertama mereka di Surabaya. Dan tiba-tiba ia benci Ayu. Run memang tuli, namun haruskah dicaci maki? Ia membenci siapa pun yang menghina Run tanpa alasan layak dibenarkan. Nalurinya sebagai lelaki entah mengapa membuatnya selalu demikian. Run masih istrinya. Namun sekarang, apakah Run masih menganggap ia sebagai suaminya?
“Apa yang aku tahu tentang Deni?” Run tersenyum seolah memaklumi ketidaktahuan. “Bahwa pada tahun-tahun sulit itu ketika Abah berpoligami, pada akhirnya aku menemu kawan bicara yang mengenal segi baik dan kurangku tanpa takut akan dicela. Seorang kawan yang bisa memulai persahabatan tanpa pretensi….”
“Pretensi?!” Ia memotong. “Teteh pikir lelaki tak punya pretensi?!” Kali ini dengan bahasa isyarat cara abjad dua tangan.
“Jangan dulu memotong,” tukas Run gusar. “Intinya ia telah membantuku melewati semua fase sulit dalam hidup. Apakah Abah pikir berbagi suami itu hal yang mudah? Deni mengerti bagaimana rasanya keterbelahan, apalagi disingkirkan karena soal anak.”
“Tak ada yang menyingkirkanmu, Teh,” ia berusaha keras meyakinkan dengan bahasa isyarat lagi, lebih tepatnya meyakinkan diri sendiri. Entah mengapa ia merasa hilang pegangan. “Aku, aku, hanya… terpaksa menikahi Ayu. Itu suatu,” tenggorokannya tercekat, “kesalahan.” Kali ini bisa juga ia ucapkan itu. Namun Run bergeming meski paham.
“Aku tak membagi hal itu dengan siapa pun. Tidak ibuku, Rusi sahabatku, Pak Tendy guruku, bahkan ‘Eyang’ kita. Untuk apa melibatkan mereka dalam urusan pribadi, bisa tambah runyam nanti. Deni dan aku begitu saja mendiskusikan masalah kami yang nyaris serupa. Bukankah Abah telah mengenalnya?”
Ia bantah dengan mengatakan tidak cukup mengenal Deni kawan SMP Run yang dipertemukan jaringan Friendster. Namun Deni nyata, dan Run merasa yakin cukup mengenalnya untuk menggantikan posisi sebagai suami sekaligus ayah bagi Tristan. Ia merasa nyeri membayangkan Run akan meninggalkan kehidupan di rumah nyaman mereka, beralih pada rumah nyaman yang lain. Membawa serta Tristan yang masih menyusui. Meninggalkannya seorang diri di rumah kontrakan yang perlahan akan gersang tanpa kehangatan. Membiarkannya membeku dalam penyesalan.
Ia akan kehilangan Tristan, kehilangan Run, kehilangan hangat rumah yang telah terjaga selama hampir 3 tahun. Namun upaya apa yang akan dilakukan untuk mencegah hilangnya rasa nyaman itu? Ia ragu.
Ia membuka kacamatanya dan bangkit. Mengitari meja persegi, duduk di sebelah sang istri. “Kumohon,” ia menggenggam jari jemari yang sudah beberapa bulan terasa dingin. “Jangan beri aku pilihan yang jauh dalam lubuk hatimu pun tak kau inginkan, tak kita inginkan.” Ia bicara dengan artikulasi suara dan gerakan yang jelas agar Run paham. Sejenak Run diam.
“Apa yang Abah tahu tentang keyakinan ‘apa yang kuinginkan’, apalagi mengatasnamakan ‘kita’?” Tangan itu masih dingin, tak bereaksi pada remasannya.
“Sebab, aku mencintaimu….” Ia mengucapkannya dengan rasa takut, takut akan penolakan. Sungguh ia ingin merengkuh perempuan itu, namun tubuh Run menegang seolah enggan dipegang. Dan ia frustrasi membayangkan seorang Deni akan menjadi tempat bersandar Run. Atau memang telah? Namun ia tak berani melontarkan tanya itu, ia lebih suka menelan kecemburuannya.
“Hampir dua tahun lalu,” gumam Run. “Saat Abah bilang telah menikah lagi, mestinya aku sangat marah. Namun aku merasa tak berhak. Aku merasa salah. Tidak semestinya aku menempati posisi di samping Abah, apalagi keluarga Abah tak tulus menerimaku.” Suara itu seolah datang dari arah yang jauh. “Aku ingin bercerai, menyingkir dari hidup Abah. Kutenggelamkan diri dalam pekerjaan, berusaha meredam segenap kesedihan dan kemarahan. Aku belum siap untuk bercerai, rasanya menakutkan. Lalu seminggu kemudian, entah kebetulan atau bagian dari takdir, aku menemu nama Deni di jaringan Friendster. Kubaca biodatanya. Ia telah menikah dan bekerja sebagai dokter. Aku hanya ingin menyapa selain menanya kabar kawan-kawan masa SMP. Jadi kukirim pesan tanpa meng-invite-nya, ternyata ia membalas. Dari itu kami sering berkomunikasi. Aku menemukan kekuatan dan semangat darinya. Deni pun menemukan hal serupa dariku. Perkawinannya ternyata sama berantakan karena soal anak. Istrinya telah menikah lagi dan dikaruniai anak dari lelaki lain. Beberapa waktu kemudian, aku pikir mungkin ada baiknya kita segera bercerai agar lebih adil bagi masing-masing. Aku belum berpikir akan langkah selanjutnya. Namun di suatu kesempatan, Deni singgah ke Yogya ditemani adik perempuannya. Tanpa setahu Abah, kami bertiga bicara banyak secara leluasa. Ternyata ia diam-diam sudah menyukaiku sejak kelas 3 SMP. Ia mengajakku menikah, memulai awal baru. Namun aku ingin tahu reaksi keluarganya dulu. Lalu kepergianku ke Bandung mengubah segalanya. Keluarga Deni lebih tulus menerimaku. Mereka ikut mendukung soal rencana pernikahan kami, sebab bagi mereka soal anak biarlah Allah yang mengatur. Namun nyatanya aku harus hamil dulu, dari Abah….”
Hanya kesenyapan yang merambat.
“Dan Deni harus menunggu sampai Tristan lahir?” Ia coba memecah senyap yang seolah berabad-abad, meski tidak ingin. Membayangkan sekian kehilangan berikut penantian sepasang “kekasih”; ketika istrinya berencana untuk meninggalkan kehidupan yang telah mereka jalin hanya dalam rentangan masa 3 tahun saja. Demi lelaki lain, lelaki yang sama mengagumi dan (apakah?) mencintai istrinya. Lelaki yang sudah tentu menginginkan Tristan untuk memanggilnya sebagai ayah, tak peduli ayah yang sebenarnya teronggok sepi menyesali poligami. Haruskah ia menceraikan Ayu, toh Run tetap tak akan kembali. Memilih mengepakkan sayap ke tempat lain, ke kota kelahiran (dan juga kota kelahiran Deni) yang ia cintai. Hidup damai dan bahagia tanpa harus berbagi suami, apalagi ditampik mertua dan kerabatnya. Akankah Deni berlaku sebagaimana mestinya sebagai suami sekaligus qowwam? Tiba-tiba ia merasa gagal untuk dua hal.
Malam merambat pelan. Ia sadar Run ingin bercerai, mendapatkan tempat yang adil dan sesuai bagi hidupnya, namun ia sadar Run pun masih mencintainya, hanya membutuhkan Deni sebagai tempat aman akan kepastian posisi. Bisakah ia berbagi istri?
Perlahan ia bergeser lebih dekat, merengkuh tubuh Run ke dalam pelukan. Dengan kepala bersandar pada hangat dadanya ia menumpahkan tangis sebagai jawaban. Perempuan itu tidak menangis. Balik membelai dan menciumi kepalanya dalam diam. Begitu hangat dan menggetarkan. Di luar, suara-suara mulai berderak. Desing angin dan konser serangga mulai mengorkestra. Berkas-berkas cahaya bulan menyiram panorama malam. Membuat genting, tanaman, dan air dalam kolam berkilauan.***
Limbangan, Garut, 11 Agustus 2006
Catatan:
Qowwam: Dari majalah Ummi (No. 11/XV April-Mei 2004), pertama kali saya menyadari akan makna kata yang sering terlewat kala mengaji Al Quran. Bermakna pemimpin namun dalam cakupan yang lebih luas lagi seperti dalam beberapa ayat Quran (QS 2:228, 2:282, 4:12, 4:34, dan 6:9). Satu kata itu sangat memengaruhi dan terus terang saya jadi terobsesi sehingga sering masuk dalam setiap tulisan. Seolah merupakan kata favorit untuk menentukan ciri khas tersendiri.            

> Cerpen "Poli" ini alhamdulillah masuk nominasi lomba Creative Writing Indonesia (CWI) bekerja sama dengan Menpora pada tahun 2006. Dan dibukukan dalam antologi cerpen Loktong. Yang juara pertamanya ya M. Badri dengan cerpen "Loktong", indah sih karyanya, hehe.
Gak dapat hadiah doku tapi satu buah buku sebagai nomor bukti kesertaan plus piagam. 
Sekarang mah gak bisa ikut lomba kayak gitu lagi, bukan pemuda, hehe. Sudah jadi emak-emak, alias jelang kepala empat. 
Tetap semangat kejar target sebelum kepala empat!    





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D