Senin, 03 Februari 2014

Lelaki di Persimpanagn



Lelaki di Persimpangan


Ia lelah hidup dalam dunianya. Dunia yang terpaksa dilakoninya dengan sepenuh sandiwara. Ia telah berkeluarga. Menjadi seorang ayah yang baik bagi sepasang anak lelaki dan perempuan. Suami ideal bagi istrinya, tetapi ia tidak mencintainya. Belasan tahun ia telah menikah. Itu pun terpaksa karena ia pikir akan bisa meredam kelainannya. Ternyata salah. Seorang istri yang baik, cantik, cerdas, sabar, setia, serta mencintainya; tidaklah cukup bagi hidupnya. Ia tidak bahagia sebab tak pernah bisa mencintainya, seberapa keras pun usahanya, sebagaimana seorang lelaki mencintai perempuan. Ia malah merasakan getaran dan kepuasan pada sesama jenisnya.

A
pa yang terjadi kini, ia melarikan diri pada beban pekerjaan karena lebih betah di luar rumah, meski ia tahu istri dan anak-anaknya akan kecewa dan merindukannya. Namun ia merasa demikianlah harusnya sebab tak tahu bagaimana lagi. Ia kecewa pada dirinya yang telah gagal berperan sebagai lelaki tulen. Ia merasa tidak jantan karena homoseksual. Ya, seorang lelaki banci dengan dibalut fisik dan perilaku yang gagah dan sportif, namun menyimpan segenap kelemahan terpendam.
Tiap becermin, seperti sekarang ini, ia menertawakan dirinya. Inilah aku, batinnya dengan getir, lelaki sejati di mata orang lain, di dalamnya tak lebih dari jiwa yang terbelah. Keterbelahan, o, hidup memang penuh keterbelahan. Mengapa ia harus menyimpang? Mengapa ia harus menyukai sesama jenisnya? Mengapa ia tak bisa mencintai perempuan seperti sudah seharusnya? Akan tetapi, apakah lelaki tercipta hanya untuk perempuan saja?!
Pertanyaan bodoh, gumamnya. Ia ingin, sangat ingin, menjadi manusia yang sadar harus menjadi sebagaimana mestinya sesuai jenis kelamin. Akan tetapi, ia tahu (atau rasa) tak bisa menolak dorongan asing yang mengacaukan eksistensi dirinya. Tiba-tiba ia merasa butuh kawan bicara.
Ia keluar dari kamar mandi. Rumah sepi. Istri dan anak-anaknya sedang pergi. Ia merasa lega dalam kesendirian sekaligus kesepian.
Di dalam kamarnya, ia berpakaian. Baju kebangsaan seperti biasanya, kaus katun biru, dan kali ini celana jins biru. Ia tersenyum pada sosok dalam cermin di lemari. Hem…, boleh juga aku, benaknya kembali bicara. Aku masih muda dan tampan, juga gagah dan menggetarkan. Bukan cuma perempuan yang bisa tergila-gila padaku, lelaki juga. Ia tertawa sekadar melepas ledakan dalam dadanya.
Lelaki?
Tiba-tiba ia gelisah. Duduk di sisi ranjang, meraih sigaret di atas meja, dan menyalakannya dengan korek. Seketika juga asap beraroma tembakau memenuhi ruangan. Lalu ia bersandar pada ranjang dengan sigaret yang menyala dan sesekali ia jentikkan abu pada asbak di dekatnya. Ia merasa damai meski tahu nikotin bisa memendekkan usia, atau bikin impoten. Ia tertawa lagi. Ingat istrinya yang memprotes kebiasaannya merokok meski jarang -- terutama jika di dalam rumah maupun di depan anak-anaknya. Ia menggaruk keningnya yang sebenarnya tidak gatal. Alasan istrinya apa, ya? Untuk kesehatan atau aktivitas seksual? Ia lupa. Namun ia tahu sudah lama mereka tidak melakukan aktivitas tersebut. Entah mengapa ia tak berselera menyentuh istrinya. Kalaupun dilakukan, toh sekadar menyenangkan istrinya saja. Ia justru tak merasakan apa-apa. Hampa. Tersiksa. Ia malah membayangkan sedang bercinta dengan sesama jenisnya. Begitu terus warna hidupnya di atas ranjang. Itu baru ranjang.
Kepalanya berdenyut. Ia pening. Namun ia tidak tertarik minum obat pereda sakit kepala. Untuk apa? Sakit itu bersumber dari dalam. Sakit yang tak tertahankan dan harus ia rasakan berkepanjangan. Manusia. Ya, ia hanya seorang manusia yang penuh dilema, juga dosa, tetapi lebih baik daripada hewan. Ia senang menjadi manusia meski harus hidup dalam tekanan dan kegelisahan. Itu lebih baik. Ia berakal dibanding hewan, tetapi terkadang ia gamang. Apa bedanya ia dengan hewan? Meski ia merasa cukup beriman, tetap saja tak bisa menghindar dari keinginan untuk melanggar sesuatu yang diharuskan; menjadikan perempuan sebagai bagian dari hidupnya. Sebagaimana Adam dan Hawa semenjak Tuhan ciptakan mereka dan menurunkannya ke dunia sebagai makhluk yang berpasangan. Mengapa harus perempuan?!
Ia merasa kacau. Telah didatanginya berbagai psikolog sampai psikiater untuk terapi, hasilnya nihil. Ia tetap tak bisa melepaskan diri dari lingkaran itu, dan merasa barangkali sudah takdirnya harus demikian. Akan tetapi, ia takut pada akibat yang akan timbul karena gaya hidupnya. Penyakit sampai, yang terparah, terbongkarnya rahasia yang telah sekian lama ia pendam. Ia tidak takut mati (ia rasa/kira), tetapi ia tak bisa membayangkan reaksi orang-orang di sekitarnya jika penyimpangannya terbuka. Apa kata rekan-rekan kerjanya. Memaklumi, menertawakan, atau menggunjingkan? Dan bagaimana pula reaksi keluarga sampai kerabatnya? Terutama istri dan anak-anaknya?
Membayangkan itu, ia merasa sedih. Anak sulungnya seorang lelaki yang sebentar lagi lulus sekolah dasar, dan anak perempuannya baru masuk SD. Bagaimana perasaan mereka kalau tahu ayah yang selama ini mengayomi dan mereka banggakan sebagai pahlawan, bukanlah lelaki sejati? Bagaimana pula reaksi istrinya, perempuan lembut itu pasti akan sangat terluka dan kecewa, serta merasa gagal berperan sebagai perempuan karena tak bisa meraih cinta sejati sang suami yang malah lebih tertarik pada jenisnya sendiri. Atau malah jijik karena kawan seranjangnya pun memiliki lawan lain di luar ranjangnya: dia bersetubuh dengan lelaki yang menyetubuhi lelaki lain, di belakangnya!
Ia mengisap rokok dengan tergesa, kebiasaannya jika gugup dan gelisah, lalu terbatuk-batuk. Ia bangkit. Mematikan rokok di atas asbak. Keluar kamar. Berjalan ke arah kulkas di ruang makan. Mengambil gelas di atasnya, membuka kulkas, lalu mengambil botol air dingin. Menuang isinya memenuhi gelas. Lalu mereguknya. Ada rasa lega mengalir pada kerongkongan dan dadanya. Meski sekejap. Minum lagi? Ia ragu. Namun toh dituangkannya isi botol tersebut ke dalam gelas yang segera isinya tandas. Selesai. Ia menaruh botol di rak. Menutup pintu kulkas. Dan berjalan ke bak cuci piring untuk mencuci gelas yang tadi. Sebersih-bersihnya!
Dari jendela kaca di depannya, ia melihat keluar dengan perasaan mengambang. Langit begitu bersih tiada berawan, dan di luar kehijauan menghampar dari  taman yang setia dirawat istrinya. Ia tersenyum getir. Ada kupu-kupu biru hinggap di rumpun mawar. Seperti itukah kehidupan? Keindahan berjalan selaras dengan kesedihan.
Telefon selularnya berdering. Begitu nyaring. Bergegas ia menuju ruang kerja. Tepat pada dering kesekian ia mengangkatnya, melihat nama si pemanggil. Dari seseorang yang ia sebut “kawan” atau lebih tepatnya “pacar”. Ia mengernyit ragu. Perlukah mengangkatnya? Padahal ia sungguh ingin keluar dari lingkaran itu.
Tidak! Ia mematikannya. Persetan dengan semua. Ia ingin menikmati masa cutinya bersama keluarga saja. Lupakan sekian ajakan dan bujuk rayu sang kawan. Ia butuh kekuatan. Ia butuh seseorang yang bisa menguatkan. Memahaminya dan memberi jalan. Namun siapa? Berterus terang pada istrinya tidak mungkin. Apalagi meninggalkannya berikut anak-anak mereka sebab ia tak punya keberanian, tidak senoktah pun! Ia terombang-ambing.
Telefon berdering. Kembali memecah hening. Itu telefon rumah. Dengan langkah berat ia terpaksa menuju ruang tengah. Mengangkat benda sialan dengan enggan. “Halo?”
Ada suara menyapa, itu istrinya. Ia tersenyum lega. Mengiyakan permintaannya. Ia akan segera datang menjemput mereka dari sekolah dengan mobilnya. Telefon dimatikan. Kesenyapan kembali menjalar. Namun tidak lama. Ia harus bergegas menjemput istri dan anak-anaknya. Segera.
***
Di jalanan, bayang-bayang itu kembali menjalar, bayang-bayang yang menyakitkan. Panorama di luar mobilnya menyuguhkan peristiwa seperti biasa dalam kota yang dihuni sekian kaum urban. Kemiskinan, kemacetan, kepapaan, juga anak jalanan yang berkeliaran. Dulu ia pernah menjadi bagian dari sistem itu. Masa kanak-kanak yang tak bahagia membuat ia berada di alur tak semestinya. Penyiksaan yang dideranya telah meninggalkan trauma mendalam. Nyeri jiwani dari keluarga yang tak harmonis membuatnya lari ke jalanan, mencoba mencari lahan kehidupan, melebur dalam dunia preman dan gelandangan. Dunia yang membukakan matanya akan makna hidup lebih dari yang diajarkan rumah dan sekolah. Dunia yang memangsa si lemah menjadi pecundang. Ia tidak ingin jadi pecundang. Melakukan pekerjaan serabutan asal halal agar bisa tetap sekolah, sebab kedua orang tuanya yang selalu meledakkan pertengkaran dan perkelahian seolah berlepas tangan. Waktu itu ia tak punya siapa-siapa, tidak juga kerabat dan saudara.
Lalu waktu membawanya pada alur baru. Ia, yang cukup tampan melebihi anak jalanan lain dan berjualan koran, berkenalan dengan seorang lelaki yang tutur sikapnya menenangkan. Lelaki dewasa sebaya sang ayah yang mengentaskan dirinya dari kubangan kemiskinan. Memberinya pekerjaan dan biaya sekolah, juga petuah. Lelaki yang ia hormati lebih dari ayahnya sendiri itulah pada akhirnya memberi nuansa tragis. Ia tersenyum kecut mencoba menghapus jejak muram yang dibencinya. Lelaki itu telah lama mati. Ia masih tetap hidup saja namun dengan jiwa separuh zombi.
Ia mencintai lelaki itu sekaligus membencinya. Kombinasi benci dan cinta yang ganjil dari seorang anak belia berseragam SD telah membawanya pada dimensi lain. Ia tumbuh dan tumbuh sesuai usia, mengikuti alur waktu: sekolah, kuliah, dan bekerja. Semuanya selalu disambi dengan kerja keras, juga topangan dari lelaki itu. Sampai pada akhirnya ia menikah. Pernikahan yang tak diinginkannya namun harus dilakukan demi mengembalikan eksistensi diri. Lagi pula, ia baru berani melakukan pernikahan sebulan kemudian setelah lelaki itu  meninggal dalam suatu kecelakaan. Selain itu, keluarga sang pacar (ia berpacaran dengan perempuan teman kuliahnya), mendesaknya agar segera menikah begitu beroleh pekerjaan dengan alasan menghindari perzinaan. 
Ia tidak mencintai pacarnya, namun toh ia luluh juga untuk menikahi perempuan itu. Perempuan yang ia tahu sangat mencintai dan mengaguminya, namun perempuan itu tidak tahu sejarah hitam hidupnya. Ia berusaha merahasiakannya rapat-rapat!
Dan kini, rahasia itu menggerogotinya serupa tumor. Ia lelah dan sakit dalam kubangan penyangkalan. Ada masanya seseorang harus berhenti dari sesuatu, apalagi jika sesuatu itu merupakan kesalahan besar. Namun bisakah ia?
Di luar, panorama itu menggurita. Sampai ia tiba pada tempat yang ditujunya. Di depan pintu gerbang dilihatnya istri dan kedua anak mereka menanti. Ia tersenyum. Menghentikan mobilnya dekat mereka. Menyapa seperti biasa seolah tak ada peristiwa ganjil yang menyelubunginya. Mereka masuk, bergembira. Senyum istri di sampingnya seolah memberi kekuatan bagi jiwanya yang rapuh, apalagi demi dilihatnya kedua anak mereka yang akan tumbuh dan tumbuh. Tiba-tiba ia merasa menjadi nakhoda yang oleng dan ingin menaiki bahtera Nabi Nuh!***
Limbangan, Garut, 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D