Tumbangnya Beringin Kami
Betapa menyenangkannya berbagi denganmu, berbagi apa saja.
Termasuk rahasia dan cita-cita. Sesuatu yang tak begitu saja kubagi dengan
orang lain. Tentu, karena kau sahabatku dan tak pernah memanipulasi.
Cerpen Rohyati Sofjan
Sangat
lucu ketika kukatakan apa cita-citaku sekarang: membangun rumah masa depan di
kebun dekat jalan dengan panorama menakjubkan: menghadap bentang pegunungan dan
lembah-lembah di arah timur dan utara; agar buku-bukuku punya ruang dan
kawan-kawan bisa kuundang, juga bebek-bebek sampai ayam leluasa keluyuran.
|
Ya, tentu kita punya cita-cita masa
kanak yang tak kesampaian. Cita-citamu sebagai dokter terpaksa karam dan kau
malah jadi wartawan. Jika kau jadi dokter sekarang barangkali tak pernah berada
di jalur seperti ini bersama orang-orang yang mengasihimu. Akankah kau kaya
asam garam kehidupan dan sematang sekarang?
Dulu aku punya cita-cita lazim; menjadi
wartawan karena tergila-gila pada sosok Superman, lalu astronot atau ahli
astronomi karena ingin menjelajahi galaksi raya, lalu ahli antropologi karena
ingin keliling nusantara, lalu psikolog karena suka dicurhatin kawan.
Cita-citaku memang tak kesampaian, namun aku tak peduli sebab apa yang
kuinginkan di atas telah kuperoleh dari jalur menulis sebagai pilihan. Aku
punya banyak kawan yang berprofesi seperti kau. Masih bisa melihat langit malam
dan terkadang disodorkan keajaiban dari rahasia alam raya, macam gerhana bulan
total sampai bulan yang naik perlahan begitu besar berwarna kemerahan, allahu
Akbar! Dan aku masih sering dicurhatin kawan lalu mencoba menjadi
psikolog amatiran.
Kita tak pernah pasti akan apa yang
terjadi nanti.
Ketika kau umpamakan dirimu sebagai
pohon beringin, kemarin. Aku tercenung, mengapa dari sekian pohon kau pilih
pohon kehidupan demikian? Pertanyaanmu tentang apakah beringin pun tak punya
kelemahan membuatku hanya bisa diam. Ingatanku dilambungkan pada pohon beringin
di kampungku. Aku suka pohon itu. Kukira aku punya persahabatan tertentu,
persahabatan manusia dan tumbuhan tanpa kata-kata.
Pernah terpikir untuk menanam pohon
beringin di halaman rumah masa depan bersama pohon kemboja aneka warna bunga.
Namun kurasa itu ide gila. Ibuku yang masih percaya mistik akan menentang
habis-habisan dengan alasan klenik. Dan mungkin orang lewat sampai anak-anak
sekolah akan ketakutan gara-gara film Kuntilanak.
Jadi, kukira pohon bungur cukup masuk
akal, aku suka bunganya. Di tengah kebun ada pohon malaka sebatang kara yang
rimbunan buahnya jarang kumakan.
Dan inilah kisah persahabatanku dengan
pohon beringin itu.
***
AKU lupa kapan persisnya, barangkali tahun 1990. Rumahku masih
di tepi deretan balong alias empang ikan, menghadap arah utara. Dan
ibuku menyesal menempatinya. Rumah kami hanya diapit dua rumah tetangga kanan
kirinya. Ada undakan tangga batu ke bawah menuju jamban terbuka berdinding
tembok dengan sumber mata air alami. Dan ibuku masih saja beranggapan lokasi
rumahnya cukup angker sehingga membuatku ikut ketakutan. Sering mengalami mimpi
buruk kala tidur sendirian dan mengalami katindihan. Belum lagi bibiku
pernah terganggu dengan ulah jin-jin yang doyan ajojing.
Namun, terlepas dari
ketakutan-ketakutan konyol kami kala menyongsong kegelapan, aku menyukai
lokasinya dengan pertimbangan dekat alam. Bisa leluasa mengamati gugusan
bintang dan bentang pegunungan. Tepat di bawah rumah kami, hanya dipisahkan
undakan tangga batu lalu jalan setapak kecil, ada balong yang disewa aki,
kakekku dari pihak ibu. Dan aku suka bermain di sana, termasuk memancing ikan
dengan Dede, adik mantan pacarku zaman SMU kelak. Rumahnya di atas tebing
rumahku. Ia dekat begitu saja denganku, lebih tepatnya mendekatiku, dan aku tak
punya pretensi apa-apa karena usianya lebih muda dariku. Kuanggap kawan
sepermainan namun aku tak begitu akrab. Lalu ia lebih dulu berhasil memancing
ikan mas besar warna oranye dengan joran diiringi jeritanku yang senang. Namun
pesta kami terusik teriakan marah aki. Terpaksa mengembalikan ikan itu
ke balong, menghentikan permainan, lalu bubar. Dan tak pernah mancing
bareng lagi! Tidak di balong aki apalagi balong aki-nya!
Beberapa langkah di sebelah kiri balong
aki, ada pohon beringin besar sekali. Tingginya melebihi tinggi atap
rumah di tebing atasnya. Usianya melebihi usia kampung kami. Merupakan sarang
nyaman untuk kaum burung. Termasuk seekor rajawali berwarna merah dan biru di
bagian leher dan dadanya. Konon kala kampung kami masih berupa hutan raya,
daerah itu merupakan tempat pertempuran. Banyak serdadu Jepang mati di sana.
Dan konon pula, arwah mereka gentayangan. Aku tak tahu persis. Apakah yang
gentayangan itu kaum pejuang, penjajah, atau romusha. Atau memang
jin-jin doang yang sudah dari sononya jadi penghuni pertama
sebelum digusur kaum manusia.
Saat
itu musim hujan. Aku sedang main di rumahku bareng Sepupu Annisa, anak dari Wa
Ail sepupu ibu dari pihak nenek. Di luar hujan cukup deras dan angin kencang.
Kami dikejutkan bunyi gelegar yang keras dibarengi kilatan cahaya, segera
berlari ke jendela kaca dan membuka tirai untuk tahu apa yang terjadi. Pohon
beringin itu tumbang dihajar petir dan ikut menumbangkan tiga pohon sekaligus.
Aku terpesona dan mengikuti arah tumbangnya hingga mataku tertumbuk pada
pemandangan di balong Bi Titi.
Astagfirullah, suami Manah, kawanku, yang sedang
mandi ngibrit keluar sambil telanjang sebelum pohon itu roboh menghantam
jamban. Itu bukan pemandangan bagus. Aku hanya melihatnya sekilas. Tidak sopan
melihat lelaki yang bukan suamimu telanjang. Namun Sepupu Annisa spontan ngakak
sambil memukul lenganku menyaksikan lelaki yang panik itu buru-buru balik ke
jamban untuk menyambar handuk sebelum pohonnya
benar-benar menghantam jamban. Siapa pun dalam posisinya sudah tentu
akan sepanik itu, tak ada yang ingin mati konyol kejatuhan pohon tanpa
berpakaian; atau ia terpaksa menyingkir sejauh mungkin lalu merendam tubuh
telanjangnya di balong yang lain, menunggu pertolongan.
Aku hanya terpesona pada prosesi
penumbangan pohonnya. Pelan namun pasti, bagaimana pohon besar yang barangkali
usianya ratusan tahun bisa begitu saja tumbang dihajar petir, lalu ikut
menumbangkan barisan pohon lain. Bagaimana kekokohannya tak abadi. Diameter
pohon itu luar biasa dengan sulur-sulurnya, apalagi panjangnya melampaui balong
Bi Titi.
Dalam sekejap, orang sekampung pada
berbondong menonton sampai menebangi jatuhan pohon. Aki, seperti biasa,
sempat marah karena pohonnya ikut tumbang dan melarang orang lain menebanginya:
itu hak milik aki! Para anak-cucu lelakinya pun dikerahkan untuk
mengambiltebangi pohon. Termasuk ibu. Kecuali aku yang tak terima disuruh-suruh
mengangkuti kayu karena merasa bukan kewajibanku. Aku lebih suka menonton saja
dan baru sadar malah diperhatikan seorang anak lelaki 1 SMA, cakep, Amir
namanya; kala ibunya mengomel. Rupanya pohon mereka yang tumbuh di pematang balongnya
-- tepat di bawah balong aki, sama-sama kejatuhan beringin! Sang
ibu mengomeli Amir agar segera menebang pohonnya karena kepergok lebih asyik ngecengin
cewek lain.
Ia tampak malu karena omelan ibunya.
Aku pun sama malu karena dianggap biang keladi. Kurasa aku senasib dengan pohon
beringin itu. Keterpesonaan pada sesuatu yang misterius namun sama rapuhnya.
Ada kecantikan sekaligus kelemahan di balik kekokohan akar dan rimbun daunnya.
Dan Amir belum menyadari perihalku sebenarnya, telingaku tak berfungsi, maka
aku tak memperhitungkannya. Tidak juga saat kami tumbuh dewasa mengikuti siklus
usia.
***
JADI jika kau tanya apakah ada hal lucu sekaligus ironis dari
tragisme tumbangnya pohon beringin di kampungku, kau tahu aku selalu berusaha
menikmati hidup yang terkadang komikal. Aku terpesona pada perspektifmu dalam
banyak hal. Meski mungkin kau akan malu karena merasa tak layak dikagumi, namun
percayalah kekagumanku pada sesuatu dengan pertimbangan masuk akal, bukan untuk
menjerumuskanmu ke dalam jurang kesombongan. Aku selalu berusaha melihat sisi
positif sama sejajar dengan sisi negatif; bahwa hal negatif bisa diubah menjadi
positif, atau sebaliknya. Itu yang kau ajarkan, itu yang kucerap dari
kehidupan. Bahwa kita terkadang harus mengarungi rimba kelam sebelum menemu
jalan terang, namun dibutuhkan seseorang untuk menguatkan.
Suami Manah? Ia baik-baik saja. Tak
terluka sedikit pun. Sekarang anak mereka satu. Lelaki umur 5 tahun, matanya
lucu, merupakan anak kedua karena yang pertama -- lelaki juga -- meninggal kala
balita dengan kelainan jantung bawaan.
Amir? Ia sudah menikah dengan kawan
kuliahnya. Anaknya dua. Konon jadi guru. Aku tak tahu banyak perihalnya,
rumahnya cukup jauh dari rumahku, di atas tebing sebelah timur dan dipisahkan
hamparan balong. Barangkali ia sudah lupa bahwa aku perempuan yang
pernah membuatnya tampak bodoh delapan belas tahun silam.
Pohon beringin kami? Ajaibnya setelah
tumbang dan menyisakan sedikit batang tubuh, telah tumbuh besar lagi melebihi
tinggi atap bekas rumah kami, meski tak sebesar dan seraksasa dulu. Pada musim
tertentu, biasanya pagi, ratusan burung kecil terbang berputar-putar di
dekatnya; dan buahnya yang seperti melinjo berguguran memenuhi balong-balong
di bawahnya. Dan orang-orang masih saja mandi sampai buang bom di jamban Bi
Titi. Dan kehidupan masih berlangsung damai. Hanya menunggu masa sampai
beringin itu kembali menumbangkan diri, entah dihajar petir atau angin.
Namun ada yang berubah. Tepat di bawah
beringin itu ada sumber mata air. Kolam kecil yang selalu penuh meski kemarau
sekalipun. Dari situlah sumber pancuran jamban Bi Titi. Dulu aku suka mandi di
sana, sekarang tidak lagi. Pada masa sekarang airnya tak lagi murni, ada
tambahan aliran air dari balong Pak Ade di atas kiri. Barangkali
peristiwa penumbangan silam membawa pengaruh pada debit airnya, wallahua’lam.
Namun yang jelas, jika tak ada beringin, barangkali beberapa sumber mata air
akan kering. Akarnyalah yang menyaring dan menyimpan cadangan air.
Kita tumbuh untuk berubah, atau berubah
untuk tumbuh. Dan seiring usia, aku tak lagi percaya pada hal klenik. Aku tak
setakut dulu kala melewati pohon beringin,
malah terkadang bernaung di keteduhannya yang berangin. Termasuk boker
di jamban Bi Titi sambil menontoni burung kala pagi, siang, bahkan jelang magrib.
Tinggal baca doa masuk-keluar jamban saja, beres. Yang kukhawatirkan hanyalah
kejatuhan buah kelapa atau pelepah kering kala sedang enak-enaknya menongkrongi
benteng penghabisan terakhir.
Tak peduli nenek Sepupu Annisa pernah
menakuti kami dengan cerita seramnya, bahwa jelang magrib ia pernah bertemu
makhluk halus sejenis dedemit. Waktu itu ia lewat sana dan melihat seorang
perempuan berambut panjang dan berpakaian serba putih (seperti laiknya dalam
adegan film horor Sundel Bolong), berdiri di depan pohon beringin
sambil memunggungi.
“Neng, Neng, nuju naon?” sapa
nenek sepupuku. Perempuan itu tak menjawab. Tidak juga kala sang nenek terus
mengulang pertanyaan. Dan selanjutnya? Aku tak begitu menyimak cerita macam
itu. Yang jelas nenek sepupuku langsung ngibrit dari TKP begitu
menyadari atau merasa bahwa ia malah menyapa kaum dedemit.
Aku harap semoga tak bertemu kaum itu.
Bukan hal bagus untuk jadi penakut. Bacaan Al Quran-ku baru 5 juz. Entah untuk
khatam ke berapa, 4-5? Aku lupa. Pada saat seperti ini aku sungguh sangat butuh
ketenangan jiwa, juga pegangan. Biarlah alam menyimpan misterinya. Dan
barangkali kau bisa berbagi lebih banyak kisah kehidupan untuk kuhikmati.
Terutama persahabatanmu dengan alam sebelum ajal memisahkan.
Kaulah beringin yang lain.***
Limbangan, Garut, 12 Juli 2008