Rohyati Sofjan
Episode
: Februari 2000 – Januari 2004
#Prolog
Berdoalah untukku, aku berhenti
mencintaimu,
tak bisa lagi menulis puisi tentangmu
-- jika kau tak rida.
Segala yang ada dalam benakku, semata
kekosongan
yang membutuhkan penghuni baru. Dan kaulah
sihirku.
IAku mencintai sesuatu dengan caraku.
Kau mencintai sesuatu dengan caramu.
Kuterima itu, kau terima itu.
Lalu badai menerjemahkannya dalam hening
di ufuk langit. Tempat kita berumah
dalam gelisah dan ketergesaan yang lelah;
ketika segalanya hampir puing.
Tidak seperti pintu yang terbanting angin.
Jangan kau tutup lagi pintu itu, sebelum aku
sempat mencapainya dalam hitungan terakhir.
II
Aku mencintaimu dengan caraku
yang dungu, ganjil, atau apa saja.
Segala yang menggenapkan luka
mewujud bahagia.
Kau bebas menerjemahkannya.
Atau juga menampiknya.
Akan kuterima itu, akan kau terima itu.
Sebab hidup telah menakdirkannya.
Sebagaimana menakdirkan senyummu tak usai
kupahat dalam relung jiwa.
Kaulah penghuninya.
Tetapi kau bukan milikku.
Kau juga utuh bukan milikmu lagi.
Layakkah aku mencoba memiliki kau
bukan sebagai kau yang telah dimiliki sekian jiwa.
Sebab ada yang lebih memiliki kita.
III
Aku mencintaimu bukan sebagai bara
di sepertiga malam yang tercuri dalam kantukku.
Tetapi kaulah tempat kuyakin harus terjaga,
kembali mendapati sepertiga malam itu untuk berdoa,
berusaha menggenggamnya agar tak berulangkali tercuri.
Tetapi kau tahu tubuh kita dizalimi ambisi.
Maka untuk doa yang terlewat dari malam-malam usiaku
yang seperempat abad, akankah kau memaafkan,
ganti mendoakan dalam malam-malam usiamu
yang lebih dari seperempat abad.
Di belahan lain kota ini, saat lelap dirangkum malam;
apakah kita bangun pada saat bersamaan.
Meyakini ada pemilik Cinta di arsy mana
kau dan aku tak pernah sampai padaNya.
III
Jangan berhenti mengirimiku kata-kata ajaib,
akan kurangkum semua kilobyte
dalam mailbox sampai menguning.
Kaulah penghuninya.
Sebab aku mencintaimu dengan caraku.
Kaulah sumur pengetahuan itu. Bagi dahaga jiwa
yang tak lelah mengembara dalam tanya.
Tetapi kau bukan dewa.
Bagiku kau tak perlu jadi dewa, atau sosok serba sempurna
yang harus tahu segala sampai segala yang tak ingin kau tahu.
Sebab jika kau dewa, kau tak layak lagi
jadi guru dalam benturan peradaban ini.
Kaulah inspirasi, akulah inspirasi.
Biarkan mereka saling bersilaturahmi.
IV
Aku mencintaimu dengan alasan yang kupahami,
dengan alasan manusiawi yang kau coba pahami.
Tetapi kita berlaku seakan tak terjadi.
Melemparkan kata-kata resmi, bijak bestari,
sekaligus berhati-hati.
Kau mengajariku arti tawadhu.
Berdoalah untukku, semoga bisa menemu
lelaki lain untuk saling memahat senyum
yang terangkum dalam dua jiwa.
Sebab ada sepi yang tak bisa kau isi.
Ada tubuh yang tak bisa kau bagi.
Ada rumah yang tak bisa kau dan aku huni.
#Epilog
Namun aku akan selalu mencintaimu,
sebagaimana kucintai diri.
Dan kuingin kita berjumpa
di padangNya dengan cahaya.
Aamiin.
Gudang, 8/1/2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D