Wacana
Hidup
Terbakar Kutuk
Oleh
Rohyati Sofjan
Dan
apabila seseorang dari mereka diberi kabar
dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya,
dan dia sangat marah. (An Nahl: 58)
Saya
menemukannya di gerai toko buku diskon Ultimus Jalan Jakarta, Bandung. Tempat
menginap saya (ditemani Wida Waridah/Widzar Al Ghifary), sehabis menjadi
narasumber di Kampus Unpas Jalan Setiabudhi, Bandung, 4 Maret 2009, atas
undangan Bu Senny Susan Alwasilah dosen Unpas, dan Pak Tendy K. Somantri
pewarta senior H.U. Pikiran Rakyat yang mengajar di sana dan merupakan
sahabat terbaik; untuk mengisi mata kuliah imajinative writing,
penulisan imajinatif dan berbagi pengalaman proses kreatif dalam menulis.
|
Demikianlah,
dalam keadaan hamil muda (7 mingguan), saya beroleh pengalaman baru:
mengoptimalkan keterbatasan sebagai tunarungu agar berdaya guna dengan
memotivasi anak-anak yang jumlahnya sekira 35-an. Meski itu bukan undangan
pertama, sebelumnya pernah diundang Pak Tendy untuk jadi narasumber di Klub
Kepenulisan HARDIM Bandung pada 4 September 2004.
Berbicara
dan menuturkan pengalaman proses kreatif ibarat bumi dengan langit dibanding
berbicara mengenai kekejaman hukum patriarkal kaum lelaki seperti yang
dituturkan Souad dalam Burned Alive (Alvabet, 2006). Buku itu pernah saya
baca resensinya beberapa tahun lalu, tetapi berhubung tinggal di sudut kampung
suatu kecamatan kecil, saya kesulitan mengakses bacaan baru sebab tidak ada
toko buku.
Souad
betul-betul mengajak saya, sebagai pembaca subjektif, untuk menjelajahi
pengalaman hidupnya sebagai perempuan yang tak lebih berharga dibanding
binatang, sesuatu yang bahkan tak pernah terbayangkan oleh saya sebagai
perempuan yang dibesarkan dalam kebebasan dan kesetaraan.
Beberapa
waktu lalu saya risau menonton berita di televisi tentang kian maraknya praktik
aborsi. Pedih sebagai calon ibu begitu mengetahui bahwa klinik itu telah
memendam ribuan janin tak dikehendaki, seolah tak ada hak bagi janin itu untuk
mengenal kehidupan selain dimatikan. Janin salah karena tak diinginkan, dan
Souad salah karena ditakdirkan terlahir sebagai perempuan: sama-sama kutukan!
Dalam
Al Quran, terdapat beberapa ayat (ada banyak!) yang melarang bahkan mencela
praktik keji berupa membunuh anak-anak perempuan dan membiarkan yang lelaki
hidup. Itu adat istiadat jahiliyah Arab sebelum Islam masuk. Dan memoar Souad
menghenyakkan saya, betapa praktik keji pra-Islam itu masih berlangsung bahkan
dalam keluarga yang konon muslim di berbagai belahan dunia, tetapi yang ini di
Tepi Barat Palestina, Tanah yang diberkati dan sedang diamuk perang tak
berkesudahan sampai sekarang.
Di
negeri itu, tutur Souad, jika seorang perempuan melahirkan bayi laki-laki dan
bayi itu hidup, maka itu berarti kemuliaan besar bagi si ibu dan seluruh
keluarga. Jika anak laki-laki meninggal, semua orang akan meratapinya dan itu
dianggap sebagai kemalangan keluarga. Laki-laki sangat diperhitungkan, tetapi
tidak perempuan.
Maka,
sebagai perempuan, ia hidup dalam hukum yang menistakan harkat dan martabatnya.
Menjadi budak kaum lelaki, dipaksa bekerja keras sampai dipukuli dengan keji
jika dianggap telah melakukan kesalahan. Dan semua perlakuan buruk itu
ironisnya dianggap sudah merupakan kewajaran karena terindoktrinasi adat istiadat
jahiliyah Arab yang kuat mengakar. Maka, akses pendidikan pun sengaja
ditiadakan bagi kaum perempuan; agar mereka tetap berkubang dalam kebodohan,
agar tetap menjadi budak lelaki paling abadi. Hanya segelintir kecil yang
beruntung beroleh pendidikan. Itu pun diiringi olok-olok kaum perempuan lain
yang bebal: bahwa anak gadis yang bersekolah akan sulit dapat jodoh.
Bagi
kaum perempuan sana, perkawinan adalah jalan keluar agar beroleh “kebebasan dan
derajat”, meski itu berarti dipukuli dan dinistakan suami, tak ada bedanya
dengan di rumah sendiri.
Ayah,
abang, paman, sampai suami adalah pembuat hukum yang harus ditaati. Maka
pembunuhan atas nama kehormatan keluarga pun dianggap sebagai kewajaran, bahkan
kewajiban! Jika seorang perempuan di sebuah keluarga telah melakukan atau
dianggap melakukan perbuatan charmuta (pelacur) maka, pihak lelaki dalam
keluarga itu wajib membunuhnya, dengan cara setimpal. Seperti seorang ibu yang
dianggap telah berzina hanya berdasarkan dugaan dan desas-desus antar kaum perempuan
sana sehingga saudara-saudara lelakinya memenggal kepala ibu malang itu dan
memamerkannya pada seluruh penduduk desa, sedang suaminya menyambut dengan
gembira. Padahal belum tentu istrinya bersalah, namun nyawa harus melayang demi
alasan fitnah sampai kepicikan kaum lelaki sana. Jika tidak, sendi-sendi
kekuasaan kaum lelaki akan guncang!
Dan
Souad, dengan kebodohannya menjadi korban pembakaran yang dilakukan oleh abang
iparnya karena telah hamil akibat perzinaan. Sesuatu yang tak diinginkan,
tetapi ia menyerah karena menginginkan perkawinan dan menyerahkan
keperawanannya pada seorang lelaki yang pernah melamarnya namun ditolak ayah
Souad yang kejam dan tak pedulian pada kaum perempuan dengan alasan Kainat,
kakak perempuan, belum dinikahkan karena tak kunjung jua dilamar.
Akan
halnya lelaki itu, Faiez, yang masih bertetangga begitu diberi tahu Souad bahwa
ia hamil, malah bertindak pengecut: kabur tanpa jejak!
Maka,
demi kehormatan keluarga agar tak dikucilkan penduduk desa dan diusir mereka,
si pembuat aib diputuskan oleh ayah-ibunya untuk dibunuh dengan cara dibakar
abang ipar. Akan tetapi, pembunuhan itu tak berlangsung mulus. Souad selamat
meski harus sekarat.
Bisakah
dibayangkan, seorang gadis muda dalam keadaan hamil dibakar layaknya obor? Dan
gadis itu harus mati agar pihak keluarga terbebas dari aib. Ajaibnya, Souad
seolah ditakdirkan untuk tetap hidup, tinggal di negeri baru atas bantuan
Jacqueline sang pekerja sosial asal Eropa yang telah menyelamatkan dan
menolongnya agar memiliki kehidupan kedua di negeri baru. Menikah, meski penuh
liku karena harus meninggalkan bayinya untuk diadopsi keluarga lain, memiliki
pekerjaan yang baik, membesarkan anak-anaknya, dan menjadi pembeber kekejian
yang pernah dialaminya. Dan segala kepedihannya tak cuma dipaparkan lewat
wawancara atau konvensi, tetapi dibukukan agar menjadi saksi abadi. Meski untuk
itu harus mengupas nyeri jiwaninya, mega
dukkha terdalam: menguak ingatan kolektif yang telah coba dipendam; ingatan
acak campur-balau yang hilang timbul.
Dibutuhkan simpati dan empati dari sesama
perempuan, bahkan dari lelaki, agar korban bisa bangkit dan membangun kehidupan
baru. Tidak banyak yang seberuntung Souad, kebanyakan mereka tetap tertindas
dan berkubang dalam ketiadaan pilihan, menjadi korban dari kebrutalan pemeran.
Apakah tradisi macam itu memang dilegalkan agama, bahkan dalam Islam? Atau si
pembuat tradisi sendiri sangat tidak memahami agama dan memutarbalikkannya
sesuai selera demi kepentingan kelompok (kaum lelaki). Bahkan di belahan bumi
Indonesia pun hal tersebut kerap dijumpai, terselubung atau terang-terangan.
Lalu bagaimanakah perempuan memosisikan dirinya di antara ketertindasan?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D