Film dan Buku dalam Perspektif Penonton
Oleh Rohyati Sofjan
K
|
etika salah satu stasiun TV swasta akan
menayangkan novel yang telah difilmkan, saya menyambutnya dengan antusias.
Dalam benak saya, film yang dibintangi Tom Hanks dan meraih Oscar itu pasti sama
dahsyatnya dengan novel Forrest Gump tersebut.
Nyatanya saya kecewa berat. Dari awal sampai
selesai tak ada kedahsyatan yang sudah saya bayangkan. Bahkan, saya tak bisa
tertawa sama sekali. Mungkin bagi orang lain film tersebut menggelitik saraf
tawa, namun yang saya rasakan parodinya menghilang, sangat berbeda dengan
novelnya. Satirenya lebih satiris, hanya saja membuat giris.
Yang saya rasakan kesepian semata. Akting Tom
Hanks yang berperan sebagai Forrest Gump memang bagus dan hidup. Tak ada
gambaran orang idiot savant biasa, boleh dikata Gump memang luar biasa.
Termasuk sangat polos, lugu dan lucu, sekaligus mengharukan. Apakah memang
demikian gambaran orang terbelakang seharusnya? Berbeda dengan idiot mongol
atau moron atau imbesil; yang bahasa kasarnya orang cacat mental.
Saya seolah diseret sebagai Gump. Betapa
dunianya terasing dari sekitar. Dikejar-kejar orang berengsek untuk diganggu
sehingga terpaksa lari, tanpa henti, sekencang-kencangnya melintasi pagar,
lapangan rumput, jalan, sampai lapangan football, hingga ke rumahnya
tempat yang dianggap aman. Menuruti apa kata Jenny Curran, “Lari, Forrest!”
Apakah itu lucu?
Yang jelas sebagai orang yang merasa senasib
dengan Gump, sulit bagi saya untuk tertawa, sama halnya ketika membaca novel Aki
(Balai Pustaka, 1950) dan semua cerpen dalam Dari Ave Maria sampai Jalan
Lain ke Roma (Balai Pustaka, 1948) keduanya terbitan lawas. Idrus
menggambarkan satirenya dengan satir. Realistis-humoristis, menurut Jassin.
Kisah Aki yang bergulat melawan malaikat maut, sampai orang-orang kalah di
antologi cerpen Dari Ave Maria sampai Jalan Lain ke Roma.
Mungkin dalam humor terdapat kepahitan, atau
dalam kepahitan terdapat humor tersembunyi maupun terang-terangan. Namun inilah
hidup: kehidupan yang sesungguhnya senantiasa menyajikan serbaneka peristiwa
paradoksal.
Kontraskah isi cerita film Forrest Gump
dengan novel aslinya karya Winston Groom (dialihbahasakan secara ringan dan
segar oleh Hendarto Setiadi)? Membaca buku dan menonton filmnya tentu sangat
berbeda. Dalam film saya bisa melihat secara hidup daripada imajinasi, sebab
adakalanya kita kesulitan membayangkan sesuatu yang tak pernah diketahui
bentuknya. Seperti The Secret Garden (Taman Rahasia) karya
Frances Hodgson Burnett yang saya baca waktu SMP, berikut filmnya beberapa
bulan kemudian. Pensuasanaan (setting) bisa membantu imajinasi yang
terasa mandek. Maklum sebagai bukan orang Inggris saya tak tahu cara hidup
mereka. Meski, terus terang, jalan cerita dalam novel dan filmnya berbeda. Ada 2 atau 3 versi film
yang saya tonton, salah satunya dibintangi Gary Oldman dan itu lebih menyerupai
pakem novel aslinya.
Atau dalam The Jungle Book, Rudyard
Kipling; inikah hutan India
yang sebenarnya? Namun Kipling yang masa kecilnya tidak bahagia, membagi
kebahagiaan bagi orang lain dengan karyanya. Dan tentunya Kipling yang begitu
Inggris mencintai India
-- tempat di mana ia lahir dan besar -- hingga membuahkan karya monumental
sepanjang zaman dan menarik untuk difilmkan (dalam berbagai versi). Meski
dulunya, sepanjang hidupnya Kipling dan keluarga dikecam habis-habisan,
dianggap terlalu mengagungkan (kolonialisme) Inggris Raya.
Akan tetapi, tak setiap film sama dengan karya
aslinya. Bisa saja yang di film lebih baik daripada novel aslinya, namun tak
selalu demikian. Bagi pembaca fanatik yang lebih dulu membaca novel aslinya,
bisa jadi akan kecewa berat jika disodorkan realita sangat berbeda daripada
yang diketahui sebelumnya.
Saya tidak tahu apakah pembaca novel Forrest
Gump yang membaca karyanya lebih dulu kecewa begitu menonton filmnya, atau
penonton film tersebut heran begitu membaca karya aslinya. Sebab, terdapat
perbedaan-perbedaan yang entah mengapa harus dibedakan.
Yang jelas dalam film yang disutradarai Robert
Zemeckis, sama sekali tak ada tokoh Miss French, Profesor Quackenbush, Sue sang
orang utan, Mayor Janet Fritch, Big Sam dengan suku Cargo Cult-nya
berikut suku pigmi yang jadi musuh bebuyutan mereka, Mister Tribble, sampai
Raquel Welch. Tak ada adegan jadi astronaut NASA, syuting film di Hollywood,
gulat, sampai permainan catur segala. Singkatnya, film tersebut tidak seheboh
novelnya. Apa boleh buat, Robert Zemeckis dkk. telah menentukan hal lain untuk
filmnya. Terasa membumi dan sederhana, memang, namun sama sekali tak parodi.
Boleh dikata sepi. Kasarnya sentimental.
Waktu film itu sedang ramai-ramainya
dibicarakan, saya masih duduk di bangku kelas 1 SMU dan tinggal di suatu kota kecil yang tidak ada
bioskopnya (Limbangan, Garut), untuk menonton ke kota besar (Bandung) pun pasti diveto orang tua. Namun
hasrat untuk mengenal siapa Gump tetap terpendam sampai akhirnya 5 hari sebelum
acara perpisahan SMU saya bisa membeli novel tersebut. Untuk itu butuh
perjuangan tersendiri. Dari menabung, sampai kesasar gara-gara salah naik
kendaraan dan salah turun. Boleh dikata, untuk mendapatkan Gump, saya merasa
mirip Gump. Dan itu akan tersimpan rapi dalam ingatan sebab konyol sekali.
Beberapa tahun
kemudian, ada Gump lain dalam film yang sangat berbeda dari novelnya, dan saya
kecewa berat! Meskipun demikian, di lain saat, saya bisa menikmati adegan
pergulatan seorang nelayan tua dengan seekor ikan besar hasil tangkapannya.
Adegan tersebut begitu dramatis dan menegaskan ini soal perjuangan hidup dan
mati. Meski saya belum baca karya aslinya (The Old Man and the Sea’s)
karya Ernest Hemingway. Film tersebut terasa sangat menarik dan manusiawi, jauh
dari kegemerlapan. Boleh dikata sangat sederhana, sesederhana kehidupan nelayan
tadisional benua mana.
Alhasil, sebagai pencinta film dan buku (sastra maupun
pop), saya mencoba menikmati hidup dan berusaha memandang dari segi yang
berbeda. Hidup ini selalu menyajikan kemungkinan-kemungknan tak terduga. Akan
tetapi, hidup lebih dari sekadar fiksi semata. Yang fiksi bisa hidup, atau
hidup memang cuma fiksi?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D