Surat untuk Ibu (2)
Ibu, terimalah realita tentang
hidup, tentangku, atau tentang apa saja.
Bukan kepasrahanku pada takdir atau
pesimis pada dunia kedokteran
yang kuyakini maupun klenik yang
kau percayai, membuatku enggan
berpaling dari dunia yang tak kau
pahami.
Aku telah coba menerima diriku
sebagaimana adanya, seperti halnya
cinta tuhan yang menguji keyakinan
pada rukun iman yang enam.
Maka adakah yang lebih baik saat
ikhtiar berubah menjadi
obsesi tak sampai-sampai, selain
ikhtiar dalam bentuk lain.
Aku telah coba membangun diriku
selama 23 tahun bukan kesia-siaan.
Persetan dengan pendengaran,
setidaknya hatiku tak tuli.
Aku tak perlu minta pada Tuhan agar
pendengaranku kembali,
lantaran aku takut menyalahgunakan
indraku seperti orang kebanyakan.
Meski kupahami rasa cemasmu akan
masa depan,
namun percayalah aku tak akan
sendirian, sepeninggalmu esok nanti.
Hanya satu yang kupinta, agar aku
selalu berada di jalan-Nya.
Dan kau rida melahirkan,
membesarkan, lalu melepasku tanpa sesal.
Sebab aku selalu terngiang puisi
Gibran tentang anak
yang mengajarkan pemberontakan saat
usiaku 14 tahun.
Maafkan kepicikanku, Ibu. Aku
terlalu dimanja duniaku,
dunia sunyi yang sarat beban
sekaligus tantangan menawan
untuk kutaklukkan, namun juga
menyajikan ketenangan.
#Bandung, 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D