Apa Makna Maut, Gabriel?
Senin, 17 Juli 2006
K
|
etika gempa itu mengguncang bagian bumi yang ia diami. Ketika
air laut Pantai Pangandaran yang sedang ia renangi mendadak surut. Ketika dalam
hitungan detik atau menit entah
berikutnya, dalam ketercengangan, ia menyadari harus berbuat sesuatu
untuk lari sejauh-jauhnya dari sisi laut yang surut menuju tempat yang lebih
tinggi sebelum ditelan tsunami.
Namun terlambat, sore itu gempa dan air
lebih melampaui gerakan yang ia bisa. Dan Gabriel Alexander Dijkstra terperangkap
dalam adegan serba lambat ketika suatu kecepatan tak terhingga dari gelombang
maharaksasa, seraksasa yang baru kali ini ia saksikan, menghantamnya. Mengombang-ambingkannya.
Begitu keras. Dan ia merasakan seluruh kekuatan air merajamnya. Pedih, perih,
asin, pahit! Seolah seisi laut berusaha menggelembungkan tubuhnya, kemudian
menubrukkannya pada benda-benda asing yang ikut ditelan gelombang.
Ia mencoba mengingat suatu kalimat dalam
bahasa Arab. Kalimat yang kerap ia dengar dari kumandang azan.
Gelap.
***
Jelang Zuhur,
Laut begitu damai. Dari kejauhan tampak
beberapa perahu berlayar. Angkasa berhiaskan serakan burung camar. Orang-orang
berenang di tepian. Laki-laki, perempuan. Tua, muda, anak-anak; semua beragam
usia dan kebangsaan. Ada
juga yang cuma berjalan-jalan.
Sepasang muda-mudi belia menyaksikan semua
dalam keheningan. Yang perempuan berseragam SMA, yang lelaki berpakaian biasa.
Angin laut mengembus mereka dengan kelembutan yang menyejukkan. Ada beberapa pepohonan di
sekitar yang menjadi naungan. Mereka cukup lama berdiri mematung.
Tiba-tiba si perempuan berpaling, menatap
lelaki di sampingnya dengan tajam, setajam kalimat yang diucapkannya. “Gue hamil,
Gabe….”
Siang tiba-tiba menyedot tubuh si lelaki
dalam gerah tak terkira. Gabriel merasa terbakar. Apa, hamil?! Bagaimana bisa
Regina Siti Hajar Ishaq, perempuan yang ia pacari dua tahun lalu sejak
sama-sama 1 SMA, bisa hamil padahal mereka melakukannya cuma sekali saja.
Ia balas menatap Regina dengan gusar. “Gimana bisa?!”
Yang dibentak cuma diam, balas menatap
dengan mata bersalah campur entah. Sesuatu yang sulit Gabriel selami. Namun
dari itu ia menyadari ada pergolakan dahsyat dalam ekspresi wajah dan mata Regina. Dan ia luruh
dalam rasa bersalah campur marah, sekaligus bingung dan hilang jalan. Gabriel
mengembus napas dengan keras, napas yang panas.
“Lo yakin?” Ia mencoba lunak dalam
keguncangannya.
Regina
mengangguk. Menggigit bibir bawahnya keras-keras hingga berdarah. Darah itu
merembes dari sudut bibir. Mengalir ke arah dagunya. Tak tahan campur iba
Gabriel coba menyeka tetesan itu. Namun
Regina mengelak, tangannya menepis tangan Gabriel dengan kasar. Lalu disapunya
darah dengan punggung tangannya sendiri. Partikel-partikel air tampak
mengambang di kedua matanya. Perempuan itu siap menumpahkan buncah gundahnya,
barangkali dalam ledakan dahsyat tak terkira. Dan Gabriel cuma bisa mematung,
bingung.
“Udah tes?” Gabriel coba memastikan
keraguan yang mestinya tak ia rasakan; bahwa semua cuma ilusi semata, bahwa ia
tak berada dalam posisi seperti ini. Hamil? Regina benar-benar hamil, oleh dirinya pula!
Apa yang harus dilakukannya?! Gabriel sungguh linglung.
“Gue pakai test pack,
berulang. Tapi hasilnya selalu positif.”
“Udah periksa ke dokter?” Gabriel
benar-benar cemas, bukankah ia sengaja memakai “pengaman”, kok bisa
kebobolan?
“Yang itu udah gue lakuin. Sendirian.
Ke bidan gak dikenal di Banjar, di tempat yang orang-orangnya gak
kenal gue. Dan gue tetap positif hamil. Sebulan lebih, Gabe!”
Kali ini partikel-partikel air luruh, membasahi kedua pipi Regina, dan seolah tak ada habisnya karena
ada lagi yang masih mengambang. Gabriel tidak tahu apakah akan siap menerima
badai ledakan kesedihan dan barangkali campur kemarahan Regina. Perempuan keras kepala yang ia kenal
sebagai makhluk anticengeng.
Gabriel meremas rambut di kepalanya yang
keriting kecil sewarna rambut jagung. Gen warisan dari warna rambut ayahnya,
Hendrick Willem Dijkstra, lelaki asal Belanda peranakan Jerman yang telah alih
kewarganegaraan sebagai WNI. Lelaki 49 tahun yang telah 25 tahun menikahi
perempuan asli Pangandaran, Mimi Mustika Maemunah, kini 45 tahun. Dan dikarunia
dua anak: Gabriel dan Veronica Alexandra Dijkstra, 24 tahun, yang bermukim di Bandung.
“Gimana bisa?” Gabriel mencoba
sangsi, sekadar meyakinkan diri bahwa semua dusta. “Bukankah gue waktu
itu pake kondom?”
Regina
melengak. Kilatan marah di matanya yang cokelat gelap terbayang jelas. “Jadi lo
sangsi, Gabe? Kondom gak bisa mastiin seks itu aman. Ada risiko bocor meski
sekali, apalagi waktu itu gue barangkali dalam fase subur siklus
bulanan. Dan gue ngerasa bodoh!” Isak itu tiba-tiba berevolusi menjadi
guncangan hebat. Gabriel ingin merengkuh tubuh itu ke dalam pelukan aman agar Regina kembali damai
seperti yang sering ia lakukan dulu sebelum “badai”. Namun tangannya seolah
mengambang.
“Lo gak main-main ‘kan, Gina?” Mata cokelat terang Gabriel
memicing, alisnya yang tebal beralur bagus sewarna rambut membingkai kelopak
matanya, memberi sapuan tegas pada parasnya yang tampan dengan kulit putih
kecokelatan.
“Gak, Gabe! Kalo mau bukti,
mari kita ke dokter sekalian tes DNA jika lo masih sangsi.” Ia merogoh sack
pack Eiger merah marun, hadiah ulang tahun Regina dari Gabriel November lalu. Ia
mengambil sesuatu dari dalam, sesuatu yang dibungkus plastik bening dengan
tulisan spidol: TES KEHAMILAN POSITIF. “Ini!”
Gabriel menerimanya dengan tangan dan tubuh
gemetar. Benda kecil itu bagian warnanya jelas menunjuk tanda positif. Dan
disodok seperti ini Gabriel merasa lemas. Ia mengenal Regina dengan baik. Bukan perempuan gampangan
apalagi sembarangan. Namun sekarang?
Ia harus meminta maaf pada Regina. Mendiskusikan jalan keluar dari
persoalan yang membelit mereka. Namun sesuatu menghalangi. Gabriel malah
menawarkan solusi aborsi, dan Regina
berang.
“Lo pikir aborsi itu enak? Barangkali
enak bagi lo jika gak punya nurani, tapi gak bagi gue.
Ini rahim gue, Gabe, tubuh gue. Sakit….” Ia berhenti sebentar,
mengusap perutnya. “Lo pikir gue gak tahu risikonya? Gue gak
mau jadi pembunuh apalagi mati konyol gara-gara coba aborsi janin hasil kerja
sama lo dan gue. Camkan itu, Gabe. Janin ini bagian dari darah
daging kita!” teriak Regina
nyaris histeris. Tiba-tiba angin berdesing, begitu kencang, nyaris
menenggelamkan suara Regina
yang tertahan dalam isak tangis.
Gabriel segera merengkuh Regina, meminta maaf atas semua dan ikut
menangis bersama. Tenggelam dalam lamunannya, Regina benar. Ia pun tak ingin jadi pembunuh.
Pembunuh bakal bayi, dan barangkali nyawa Regina;
karena aborsi. Ia ngeri.
“Kita udah berbuat dosa besar dengan
zina, Gabe. Dan inilah akibatnya.”
Hening mengambang di udara pantai. Siang
perlahan menuju titik garang. Selain pekik camar, mereka mendengar kumandang
azan dari kejauhan, begitu nyaring beresonansi seolah tak mempan ditelan deru
gelombang.
Mereka berada di lokasi cukup terpencil dari
keramaian. Regina
sengaja mengajaknya ke tempat mereka biasa kencan, menikmati sunset atau
sunrise dengan nyaman sebagai orang asli Pangandaran yang rumahnya dekat
pantai. Tadi pagi mereka ke sekolah cuma untuk mengurus daftar ulang dan pemilihan
jurusan.
Gabriel berdehem. Ia hilang kata. Jujur ia
merasa damai bersama Regina,
namun ia tak siap dengan langkah selanjutnya. Ia baru 17, Regina 18. Beda usia mereka 8 bulan. Gabriel
lebih jangkung dan tegap dibanding rata-rata anak sebayanya hingga sering
disangka mahasiswa. Selama dua tahun ia dan Regina duduk di kelas dan bangku yang sama,
sebuah sekolah negeri Kecamatan Pangandaran. Sekolah yang sekarang lebih besar
dibandingkan dengan masa kanak-kanaknya dulu. Mereka baru naik kelas 3. Gabriel
memilih IPA, Regina IPS. Gabriel yang cerdas ingin jadi ahli geologi kelautan, Regina pembenci angka
namun sangat kuat hafalan ingin jadi jurnalis.
Apa cita-citamu, Gabriel? Sekarang kau akan
jadi ayah. Ayah dari perempuan yang kau cintai dan sayangi. Perempuan yang
mencintai dan menyayangimu pula. Saling apa adanya. Luar dalam. Meski kadang
bertengkar.
Namun siapkah ia dan Regina berperan sebagai orang tua, apalagi
dalam usia belia? Bagaimana reaksi para orang tua mereka? Kawan-kawan,
guru-guru, sampai tetangga?
Ah, ribet sekali, Gabe!
Dari segi materi keluarga Gabriel
berkecukupan sebab memiliki rangkaian jaringan penginapan, restoran, toko
kelontong, sampai bahan bangunan yang masing-masing tersebar di sepanjang
pesisir pantai, mulai dari Kalipucang sampai Cijulang. Ia tak perlu khawatir
soal materi, toh ia juga biasa bekerja mengurus tempat usaha
keluarganya. Ia bukan tipikal anak manja melainkan pribadi mandiri yang
disiplin, hasil imbas pola pikir Barat untuk bagian positif.
Ia yakin bisa menghidupi Regina dan anak-anak mereka kelak meski harus
pontang-panting. Masalahnya, bagaimana ia akan diterima keluarga Regina dan Regina diterima
keluarganya. Bagaimana cara menyatukan kubu Dijkstra dan Ishaq yang banyak
bedanya, apalagi soal agama?
Papi ateis meski dalam KTP tertera Nasrani.
Mami? Dari lahir Islam, namun sampai sekarang tak pernah sekalipun puasa,
zakat, apalagi salat. Bahkan mereka tak pernah merayakan natal apalagi lebaran.
Tak heran Gabriel menjadi insan gamang. Tak beragama apalagi mengenal Tuhan.
Vero lain lagi. Setelah ke sana kemari mencobai berbagai keyakinan,
tiba-tiba membuat keputusan dengan menjadi muallaf dan menikah dengan
Muhammad Fajar Ibrahim, kawan kuliahnya di Bandung. Mami dan papi membiarkan, mereka
keluarga liberal yang cukup demokratis. Vero bilang ia telah menempuh sekian
simpang soul searching dan berada dalam titik pertemuan dari apa yang
selama ini dicarinya. Ia (dibantu Kang Fajar) berusaha mengajak keluarganya
dalam jalan Islam. Namun mami, papi, apalagi Gabriel enggan. Cuma Vero tak
putus asa meski harus tinggal berjauhan mengikuti pekerjaan Kang Fajar sebagai
editor penerbitan Islam. Vero sendiri editor bahasa di penerbitan yang sama cum
ibu rumah tangga.
Sekarang, Gabriel, apakah kamu akan masuk
Islam hanya agar bisa menikahi Regina?
Padahal apa yang kamu tahu tentang Islam jika buku-buku tentang agama itu,
kiriman Vero dan Kang Fajar, tak pernah dibaca. Apalagi sekian VCD dan kaset
mengenai ajaran Islami dalam bentuk film dan lagu. Paling sering dipinjam Regina, lalu Miko.
Bagaimana pula ia harus berhadapan dengan
keluarga besar Ishaq demi mempertanggungjawabkan kelancangannya dengan
“membuahi” Regina?
Pening berdenyaran di kepala Gabriel. Dengan
gelisah ia mempererat pelukannya. Membenamkan kepala Regina lebih erat ke dadanya. Kekhawatiran
berkejaran laksana ombak di bawah jurang yang tak henti membentur karang.
Puas menangis bersama Regina sekarang ia merasa damai. Regina melepaskan
pelukannya. Mereka saling bersitatap. Gabriel menghapus sisa lelehan air mata
di wajah Regina.
“Jangan sedih, Sayang. Gue akan bertanggung jawab!” Bagaimanapun, ia
seorang lelaki. Dan lelaki mestinya jantan dalam sikap dan tindakan. Sebab,
itulah makna menjadi lelaki, kata Kang Fajar, sebagai qow…, apa ya? Ia
lupa. Qowwam-kah? Ia tahu apa yang diinginkannya kini. Ada Vero dan Kang
Fajar yang akan membimbingnya jika ia berada dalam kesulitan, termasuk
kesulitan konyol macam ini.
“Benar lo akan tanggung jawab, Gabe?”
Regina sangsi.
Gabriel tersenyum. Tiba-tiba ia merasa
menjadi lelaki dewasa dan matang dalam usia belia. Apa karena janin dalam rahim
Regina? Apa pun
risikonya akan ia hadapi semua dengan tegar. Ada Regina si optimis yang tabah
dalam cobaan. Termasuk ketika kedua orang tuanya bercerai kala ia 3 SMP. Si
sulung itu memilih tinggal dengan neneknya dari pihak ibu di Pangandaran,
meninggalkan “huru-hara” di Jakarta.
Ia enggan memilih tinggal antara ayah atau ibu seperti yang harus dilakukan
kedua adiknya.
“Apa pun risikonya, Gina. Gue minta
maaf udah bikin kamu susah. Kalo aja gue gak tergoda dan
maksa lo atas dalih cinta. Ah, ternyata lelaki mudah terangsang,
seperti yang dikatakan Kang Fajar. Tapi gimana narik ketelanjuran
itu selain melanjutkan hal yang udah telanjur sebagai….” Kalimat itu
menggantung. Gabriel bingung. Regina
tertawa dalam kedukaannya. Susah memang jika
harus berkalimat panjang macam itu. Ia terbawa Regina si gila baca dan penyuka sastra.
“Gue tahu, Gabe. Lo mau
tanggung jawab atau gak, gak masalah bagi gue. Hidup harus
terus berlanjut. Bentar lagi gue jadi ibu. Meski gue harus cuti
sekolah dulu. Meski ortu sampe nenek akan murka. Meski, ah….”
Regina menghela
napas. “Tapi gue sangat berterima kasih pada lo dan Tuhan, jika lo
mau tanggung jawab, Gabe. Demi bayi ini. Ia gak bisa lahir dan tumbuh
tanpa mengenali apalagi dikenali ayahnya. Ia harus punya orang tua utuh sebagai
keluarganya. Orang tua yang sebenarnya. Bukan orang tua macam ortu gue
yang egois dan gak pedulian pada anak-anaknya selain sibuk mengejar
materi dan ambisi. Ayah malah terang-terangan gak malu sebagai anggota
dewan yang gemar main korup. Mau gimana anak-anaknya jika dikasih makan
dari uang haram? Masih untung ada ibu yang kerja halal cuma terlalu ditelan
pekerjaan sampe lupa fungsi utamanya sebagai ibu.” Kali ini tangis Regina kembali pecah. Ia
sangat sensitif pada masalah keluarga berantakan yang harus dialaminya.
Kehadiran Gabriel mampu membangkitkan semangat dan memupus lukanya. Kembali
Gabriel coba merengkuhnya. Namun Regina mengelak.
“Gue mau pulang, Gabe.”
“Mang napa?” Gabriel khawatir adakah
yang salah lagi dari sikapnya. Padahal ia sudah berusaha berlaku semestinya.
“Gue mau mandi junub. Salat. Taubat
nasuha. Lalu kembali mengaji Quran, juga belajar tafsir. Gue udah
bikin dosa gede, sebagai pezina. Gue kapok dan gak ingin mati
dalam gelimang dosa. Sekarang gue bukan mahram lo, Gabe, sampe
kita resmi nikah meski sederhana.”
“Mahram?” Gabriel ingat kosakata yang
baru-baru ini mulai didengungkan Miko Lukmanul Hakim, kakak sepupu Regina yang tak serumah.
Belum lagi ceramah panjang dari Vero dan Kang Fajar begitu ketahuan pacaran.
Waktu itu ia dan Regina
cuma bisa manyun. Mereka sudah tentu ogah berpisah apalagi dipisahkan
sebab sama-sama merasa sudah saling bergantung.
“Lo bisa cari tahu sendiri artinya,
Gabe, dari buku-buku kiriman kakak lo.” Regina tersenyum. Begitu lembut dan damai
menaungi paras manis dengan kecantikan samar tanpa polesan. Ia begitu natural,
ditambah warna kulitnya yang kecokelatan, imbas aktivitasnya di luaran.
“Sekarang gue pulang dulu. Lo gak usah antar. Mending lo
renungi dulu semua itu, Gabe. Gue mau bicara pada Mas Miko. Ia yang
paling ngerti gue dan juga lo. Moga ia bisa bantu kita.”
Ada
sesuatu meresap dalam jiwa Gabriel. Keharuan campur kebahagiaan yang spontan.
“Gina, gue ingin jadi ayah!” Ia teringat bagaimana Vero dan Kang Fajar
begitu bahagia dengan Sahal Habibi Ibrahim, buah hati mereka yang baru berusia
6 bulan. Dan ia jatuh hati dengan makhluk mungil itu, begitu pun mami dan papi.
“Dan gue ingin jadi ibu, Gabe. Titip
salam maaf untuk Teh Vero dan Kang Fajar. Gue tunggu lamarannya,
syaratnya lo mesti masuk Islam. Sampe nanti dan makasih,
Gabe. Assalammualaikum..” Regina
melambai dengan senyum sebelum berbalik meninggalkan Gabriel yang termangu.
Layakkah ia menjawab salam Regina barusan sedangkan dirinya dalam
surat-surat formal beragama Nasrani, namun dalam perilaku keseharian seorang
ateis yang tak peduli agama apalagi Tuhan.
***
Asar,
Gabriel berjalan menyusuri pantai. Ia ingin
membuang bimbang. Regina
telah lama pulang. Dari tadi ia sibuk memintal jaring-jaring pertanyaan sampai
tak sadar hari hampir petang. Barusan azan lanjutan berkumandang, mengingatkan
Gabriel untuk meninggalkan tempat pertemuan.
Gabriel tersenyum membayangkan bagimana ia
akan mempelajari Islam dari titik nol. Bagaimana ia akan melapor pada Vero,
Kang Fajar, dan kedua orang tuanya soal alih keyakinan untuk jadi muallaf.
Syukurnya waktu kecil ia sudah disunat. Mami dan papi yang mengharuskan demi
kesehatan. Juga keinginan untuk segera menikahi Regina sebagai istri sahnya. Bulan ini juga,
lebih cepat lebih baik.
Laut begitu damai. Sewarna langit. Tiba-tiba
ia ingin berenang. Menyegarkan tubuh dan pikiran dari berbagai kemumetan. Ia
membuka kaus C-59 merah marun, oleh-oleh Kang Fajar dari Bandung. Celana pantai sebetis cukup praktis
untuk berenang. Ia bersyukur tak membawa apa-apa dari rumah, toh
rumahnya dekat pantai. Selain arloji sport khusus diving hadiah ultahnya dari
Regina Juni kemarin, yang tetap ia kenakan setelah meletakkan kaus dan sandal
gunung Eiger di atas pasir, di tempat yang dirasa aman dari tangan usil. Ia
berenang ke bagian cukup aman namun tak terlalu dipadati wisatawan. Buih-buih
air segera menyambutnya, dan ia ekstase dialun gelombang. Bumi terasa bulat dan
laut tak bertepi. Air asin menerpa mulut. Ia berenang, terus berenang ke arah
tengah namun dalam batas aman agar tak disapu gelombang atau disedot pusaran.
Menikmati gelombang dan bermain di antaranya. Menikmati alur pikiran.
Gabriel ingat Miko, mahasiswa teknik
informatika yang berusia dua tahun di atasnya.
“Gue pernah takut mati, Gabe...,”
ujarnya pada suatu sore kala ia, Regina,
dan Miko berkumpul di beranda rumah Gabriel. Dan ia cuma tertawa, membalasnya
dengan tanya; mengapa, Mas, toh cepat atau lambat kita akan mati. Dengan
akibat Regina
menendang kakinya.
“Lo tahu gempa dan tsunami di Aceh sampe
Nias? Yang itu gak terlalu gue peduliin meski korbannya
banyak banget. Tapi semua berubah kala 25 Mei kemaren gue
nekat libur ke Yogya cuma buat ngeliat erupsi Merapi. Erupsinya dahsyat
sekali sampe bikin gue ngeri. Dari itu gue sadar kita tuh
keciiil banget dibanding Tuhan. Serakan pengungsi yang kebingungan sampe
penonton yang ingin tahu pada berjubel. Gimana kalo erupsinya
dahsyat banget kayak Krakatau pada
tahun 1883? Yogya, Magelang, dan sekitarnya gak cuma ancur.
Kota-kota lain juga bisa kena, Gabe. Atau malah imbas dari letusan itu adalah
tsunami yang bisa menggulung berbagai daerah pesisir pantai Laut Selatan,
barangkali sampe Pangandaran sini.”
Miko barangkali berlebihan.
“Pangandaran-Yogya ‘kan
jauh banget, Mas.” Ia coba membantah namun dalam benaknya bermain tanya,
akankah kelak ia kuliah di ITB jurusan Geologi, selain kelautan ambil
spesialisasi bidang vulkanologi atau gempa bumi, agar ia bisa lebih memahami
fenomena alam berikut isi semesta. Barangkali ia akan meneruskan jenjang master
di Belanda, lalu doktoral di Jerman, Amerika, atau Hawai. Tentunya setelah
tekun mempelajari karakteristik geografi dan geologi wilayah Indonesia,
negeri yang ia cintai selain Belanda. Toh ia cukup fasih menguasai
beberapa bahasa asing selain daerah macam Sunda dan Jawa.
“Gak pasti juga, Gabe. Waktu Sabtu
pagi, 27 Mei, gue jalan-jalan di Malioboro, cari oleh-oleh. Eh, ngedadak
bumi bergoyang. Lalu bangunan-bangunan pada runtuh. Orang-orang panik
berlarian, beberapa memekikkan Allahu Akbar. Gue ikut panik, mana
nyaris tertimpa papan iklan gede. Ikut lari. Spontan bertakbir dan berzikir dan
beristigfar. Kirain Merapi meletus, gak tahunya muasal gempa dari
Samudra Indonesia.
Gue gak tahu apa-apa. Gue tahunya cuma lari. Cari
perlindungan. Cari tempat aman. Cari selamat. Pokoknya lari saja, dengan ransel
membebani punggung dan langkah superberat. Ingin segera meninggalkan Yogya. Gak
ingat soal oleh-olehnya. Gue bener-bener lemes, Gabe.”
Gabriel menyodorkan gelas jus avokad. Pascagempa
Yogya masih membias di roman Miko yang pias. Regina tampak khusuk menyimak. Miko barusan
mengisi libur kuliah dengan jadi sukarelawan di Yogya lagi.
“Dari itu, setelah jadi sukarelawan dadakan
barang dua hari demi nolong orang-orang yang jadi korban sampe bikin
panik orang rumah,” Miko terdiam sambil memegang gelas yang barusan diteguk
isinya setengah. “Gue berpikir, apakah gue akan mati dalam
keadaan amburadul? Begitu banyak kesempatan ngenal Tuhan yang disia-siain,
dan gue ingin mati dengan cara terhormat sebab sebelumnya telah memasuki
pintu tobat. Maut itu dekat, Gabe. Allah masih bermurah, jiwa gue yang
hina diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Moga-moga gue sekarang
lebih mengerti makna hidup dan juga maut.” Miko tersenyum. Tenteram.
Gabriel garuk-garuk kepala, asli gatal
kepanasan. Tuh anak kok dalem amat. Bicara soal maut dan Tuhan
segala. Padahal sebelumnya Miko muslim sekuler dan rada kekiri-kirian agar
dianggap keren, hehehe.
Sejak kuliah sudah fanatik Che Guevara,
Pramoedya Ananta Toer, dan segala hal revolusi sosialisme. Imbas pergaulan
dengan aktivis kampus. Koleksi bukunya saja lucu. Kebanyakan soal politik dan
ideologi-ideologi yang bikin Gabriel malas meliriknya. Namun Miko yang sekarang
adalah Miko gaya
baru, pakai baju koko ijo lumut dan peci bulat. Pokoknya rapi jali namun
trendi, mana wangi. Beda dengan dulu, udah gondrong dan urakan kayak
gembel antiair mandi. Sekarang tambahan koleksi bukunya kian lucu, kajian
Islami! Dan Gabriel tetap malas meliriknya. Ia lebih tergila-gila pada fisika
quantum dan aneka tulisan Stephen Hawking, selain soal geologi. Apalagi ia
sering dikirimi buku-buku dari Paman Magnus yang dosen Universitas Heidelberg.
Mereka bertiga sering diskusi dan jalan-jalan bareng. Termasuk berburu buku di
Bandung macam Wabule, Ultimus, Tobucil, Rumah Buku, Malka, Omuniuum, Das
Mutterland, Palasari, Gunung Agung, dan Gramedia. Sekalian menginap di rumah
Vero dan keluarganya.
Diliriknya Regina. Mata Regina tampak
mengawang. Miko masih meneruskan ceritanya. Sesuatu yang Gabriel simak dengan
enggan. “Maut itu cuma awal dari kehidupan selanjutnya, demi hari perhitungan.”
Perhitungan? Bah, ada-ada saja Miko. Apalagi
Vero dan Kang Fajar. Dasar!
Namun itu dua minggu lalu.
Dan sekarang, pada kenyataan asin laut,
Gabriel menghirup udara dengan perasaan asing. Ia mencium sesuatu yang samar,
mengambang. Seperti tubuhnya diayun lautan. Aroma mautkah yang diam-diam
mengintai? Ia ingat Aceh. Ingat Nias. Ingat Yogya. Ingat sekian tempat lainnya
yang diguncang gempa dan meninggalkan gelimpangan mayat-mayat binatang sampai
manusia. Akankah Pangandaran digulung tsunami, ketika badai Laut Selatan
membuat perhitungan tersendiri?
Ia ingin seperti Miko. Ingin seperti Vero.
Ingin seperti Kang Fajar.
Ia ingat Regina dan janinnya -- janin mereka. Ingat
mami dan papi di rumah. Ingat oma dan opa di Eindhoven.
Pikirannya terus mengawang.
Tiba-tiba bumi bergetar.***
Limbangan, Garut, 22 Juli 2006: untuk
kotaku, Pangandaran dan segala kenangan masa kecil yang lantak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D