Bagi Raudal Tanjung Banua
/Yogya, 27 Mei 2006
I
Aku ngungun di punggung gunung.
Merindukan gelombang laut bergulung
hutan bakau dan hamparan nyiur
udara asin, angin kering kesiur.
Langit telah lama memahat warna.
Merah, jingga, hitam, biru, ungu,
atau kelabu.
Ada rahasia kadang luput terbaca
pada saat itu kau hanya bisa termangu.
II
Di atas bufet tua, televisi usang berkisah
tentang musibah, pesta-pora, sampai silsilah
perkibulan.
Lalu tiba di bagian kota
persemayaman.
Merapi terjaga dari gerah
dan mulai marah.
III
Lelehan lava pijar begitu indah.
Awan panas mengirim cemas.
Aku gelisah menanti detik-detik hari.
Tanpa tahu pasti nasib para pengungsi
juga sekian orang yang kusayangi.
IV
Semalam aku merindukan seseorang.
Berandai kami memasuki gerbang perkawinan.
Menghayati rotasi bumi di kota kelahiran
yang ia cintai, yang ingin belajar kucintai.
Barangkali itulah harapan sebelum petaka
sebab esok paginya bumi menggeram.
Ribuan jiwa dan hunian sontak lantak
tanpa kuasa mengenal tolak.
V
Aku kehilangan rasa.
Tak tahu bagaimana cara berduka.
Tak tahu kabar kawan-kawan di sana
sampai orang asing yang tak kukenal.
Tak tahu bagaimana pula kau beserta keluarga.
Tak tahu bagaimana lelaki yang kuharapkan
sebagai takdir bagi rahim dan qowwam.
Aku menyesal kehilangan kabar.
Tak ada warnet, ponsel, apalagi koran.
VI
Aku ngungun di punggung gunung.
Mencium aroma kubur yang harum.
Merindukan jabat hangat persahabatan
dari iringan peziarah yang melambai.
Namun yang ada hanya sawah ladang
dan lembah; dikepung pegunungan subur.
Udara purba, angin basah kesiur
menghanyutkan sisa umur.
VII
Pada akhirnya aku paham pulasan lain
dari warna langit yang kukenal.
Namun rahasia masih juga luput kubaca.
Pada saat itu aku hanya bisa termangu saja.
VIII
Telah tibakah kau di batas cakrawala maut.
Ketika takdir dan selembar nyawa saling pagut.
Apakah kala hidup kita taqarrub
atau termasuk ujub?
IX
Innalillahi wa innailahi rojiun.
Segala amsal hidup mengajarkan makna penyerahan
pada Sang Maha Penggenggam.
Masih adakah berkas iman yang mengenal sabar.
Wa likulli ummatin ajalun fa idzaa jaa’a ajaluhum
la yastaakhiruuna saa’atan wa la yastaqdimuuna.
(Al Araf:
34)
Benar, tiap umat punya batas waktu
yang ditetapkan.
Seperti juga mereka dan kau dan aku
suatu ketika harus pulang pada asal
sebab kita tak berhak mengundurkan
apalagi memajukan ajal.
Namun siapkah akan bekal?
#Limbangan, 2 Juni 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D