Esai
Puisi: Refleksi Jiwa atau Permainan Kata?
Oleh Rohyati Sofjan
M
|
enurut Rendra;
sebuah karya seni yang bagus atau bernilai hanya akan lahir jika di dalam karya
seni tersebut mengandung kekuatan batin, isi pikiran dan perasaan. “Pendeknya
bukan hasil rekayasa, yang diada-ada. Jika seorang seniman terjebak oleh
rekayasa, dan mengabaikan kekuatan batin, isi pikiran dan perasaan, niscaya
karya yang dibikinnya itu tidak memberikan nilai apa pun yang berguna bagi
apresiatornya. Karya itu hanya sampah belaka. (Pikiran Rakyat,
24/10/1999)
Menurut Soni Farid Maulana, “Sebuah
puisi ditulis harus berangkat dari pengalaman hidup yang dialami secara
konkret.”
Akan
tetapi, ketika saya meragukan arti puisi karena sering merasa terjebak oleh
permainan kata, Soni menyanggahnya, “Puisi itu bukan permainan kata. Puisi
adalah ungkapan hati. Mencari kata yang tepat hanya merupakan sarana bagi
ungkapan hati. Sebuah puisi indah karena ada bahasa figuratif.”
Bahasa
figuratif?
“Bahasa
metafora atau imaji,” jelasnya, lalu memberikan contoh.
Ketika
saya berbicara soal artikel yang saya buat. Soni menyarankan agar saya jangan
dulu menulis artikel. Dengan kata lain, belajar menulis puisi adalah belajar
menguasai bahasa. Setelah lancar mengusai bahasa, logika, baru artikel. Sebab
di dalam artikel, menurutnya, selalu ada logika yang signifikan dengan
kehidupan dan teks (bacaan) yang dijadikan referensi. Nah, menulis puisi
belajar juga tentang logika.
Demikianlah
percakapan saya dengan Soni Farid Maulana, di ruang tamu kantor redaksi Pikiran
Rakyat, 24 Mei 1999 lalu. Percakapan itu ternyata memberi arti bagi wawasan
saya tentang puisi. Terus terang, saya sering dibingungkan dengan arti puisi,
sesara esensial. Berapa banyak teori tentang definisi puisi yang saya baca lalu
menguap begitu saja. Meski Samuel Johnson bilang, puisi adalah seni
menggabungkan keindahan alam.
Atau Tendy K. Somantri, memberi
definisi lain tentang puisi: “Awalnya dari rasa, kemudian mengalir melalui
pembuluh-pembuluh merayapi relung-relung dalam bilik perenungan. Lalu, lahirlah
kata demi kata, memancar deras untuk menonjok rasa dan perenungan lainnya.
Itulah puisi! Terangkai lewat kata-kata ‘sakti’ bernuansa magis, juga
melankolis.” (Galamedia, 15/8/2000)
Baiklah,
barangkali saya harus terus berproses untuk mencari arti puisi secara alami
dari aneka bacaan dan pengalaman yang
saya jumpai dalam perjalanan hidup yang penuh teka-teki. Bagi saya, puisi itu
refleksi jiwa. Akan tetapi, refleksi tersebut bisa menjebak dalam permainan
kata. Mungkin itu sensasi dari puisi. Kita bisa mencurahkan segenap perasaan
dan pikiran dalam kalimat yang bercita rasa, atau gagal sama sekali.
Akan
tetapi, apakah puisi itu harus indah? Penuh dengan kata-kata yang melodius,
liris, bahkan sentimental? Bagaimana jika proses penciptaan puisi itu tak
selalu “menghanyutkan”? Bisa saja kreatornya berada dalam mood yang
amburadul. Lantas menciptakan kalimat atau tema yang sarkas, satir, berkesan
verbal, jauh dari kata puitis, vulgar, bahkan liar.
Dalam
“Sutardji” (Orba, 1998), Jeihan dengan nakal bermain kata, Seorang
lelaki sambil buka baju/ berteriak lantang:/ Aku Sutardji Calzoum Bachri/
Turunan bangsa bahari/ Ini dadaku.// Dari kejauhan sekelompok anak/ berteriak:/
Itu tidak lucu, tanpa susu!//
Puisi
mbeling yang ditulis oleh Jeihan,
jika dilihat sepintas, mungkin hanya permainan kata, tetapi mengapa Jeihan
menjadikan Sutardji sebagai subjek? Pasti ada maksudnya. Entah untuk meledek
penyair Sutardji Calzoum Bachri dengan humor ala Jeihan, atau ada maksud lain:
Sutardji adalah simbol dari penyair mana pun, yang ketika bicara (baca:
membacakan puisi), tidak selalu dimengerti, dikecam, atau jadi bahan olok-olok
alias respons negatif dari audiens. Wallahu a’lam.
Mungkin
(atau memang) hidup jadi penyair itu tidak mudah. Akan tetapi, mengapa minat
orang untuk jadi penyair tak pernah surut? Media massa pun semakin membuka
ruang untuk berpuisi ria -- selain di jagat maya. Belum lagi berdirinya
berbagai komunitas sastra di seantero nusantara. Jika demikian, puisi memang
tak pernah mati. Ia selalu ada, hidup, dan menghidupkan jiwa manusia agar lebih
manusiawi. Tak peduli apakah mereka mengerti definisinya.
Apakah
menulis puisi itu mudah?
“Menulis
puisi itu sesungguhnya sulit,” kata Soni Farid Maulana. Dengan jam terbangnya
yang cukup tinggi (dari tahun 1976), boleh jadi Soni tak main-main dengan
perkataannya. Ada makna signifikan dari ucapannya. Tentunya bukan hanya seorang
Soni saja yang mengalami hal demikian, penyair macam J.E. Tatengkeng pun
mengakuinya.
Atau
lebih jelasnya, menurut Abdul Hadi W.M., “Menulis puisi itu tidak mudah.
Pengetahuan dan pengalaman semakin pelik, untuk bisa dinyatakan dalam sajak
menuntut batasan yang lain lagi. Sedang untuk menangkap momen kreatif juga
tidak gampang, sebab momen-momen itu justru datang ketika kita belum siap.” (Proses
Kreatif, hlm. 190)
Ya,
tiap penulis puisi pasti mengalami hal semacam itu. Siapa pun dia.
Positif
dari puisi itu ada. Kita bisa mengeluarkan aneka rasa. Dari yang menyenangkan
sampai menyebalkan, kebahagiaan sampai kekecewaan, kepasrahan sampai kemarahan,
rasa syukur sampai frustrasi, dan entah apa lagi. Mungkin puisi bisa menjadi
terapi kejiwaan bagi orang-orang yang cenderung frustrasi?
Mungkin saya tak bisa hidup dengan puisi, tetapi
sensasi saat menulis puisi tak bisa dinilai dengan materi. Ada kepuasan jiwa
tersendiri. Jadi, apa salahnya menulis puisi?!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D