Makalah
Menulis Bukan untuk Menyerah
Oleh ROHYATI SOFJAN
K
|
etika saya menulis ini di rental dekat Pasar Limbangan,
saya sungguh tak tahu apa yang akan ditulis. Saya penulis yang menulis tanpa
konsep. Konsep berjalan begitu saja di sel-sel kelabu otak saya. Saya sudah
lama memikirkannya, namun semua hanya dalam pikiran, yang tersulit adalah
menyusun rangkaian alur pikiran itu agar menjadi makalah seperti yang diminta
Pak Tendy K. Somantri. Semacam intisari.
Akan
tetapi, saya tahu tak boleh menyerah. Mencoba mengembalikan alur itu meski
tidak persis sama seperti yang dulu pernah dipikirkan. Ada banyak hal yang
menyita fokus saya. Maaf, saya baru menikah dan harus membiasakan diri dengan
siklus baru. Menjadi istri dan tentunya beban pekerjaan rumah tangga bertambah
banyak karena saya harus mondar-mandir antara rumah ibu saya -- selain rumah ibu mertua yang ditempati
bersama suami.
Baiklah,
kita di sini bukan untuk membahas kehidupan baru saya, hanya berbagi pengalaman
rekaman proses kreatif sebagai penulis yang sejujurnya kurang produktif karena
masalah sarana dan mobilitas. Jadi, saya hanya mencoba mengikuti saran beberapa
penulis terkenal, seperti Jhumpa Lahiri: duduk dan menulislah! (Semoga saja
saat menulis ini tak ada pemadaman aliran listrik.
Bicara
soal menyerah, begitu mudah bagi kita untuk demikian. Namun sebelum patah arang
total, cobalah himpun kembali semangat dan tujuan: untuk apa kita menulis?
Kita
menulis sekadar hobi, keinginan mengembangkan potensi, ajang pencarian jati
diri, atau sekadar mengerjakan tugas akademis, bisa juga sebagai profesi. Kita
di sini untuk berbagai alasan. Alasan yang membuat kita merasa tetap ada. Juga
mengenal dunia dalam perspektif berbeda.
Saya
merasa hidup dengan menulis, dan yakin bisa hidup dari dunia menulis meski
jalan untuk itu penuh aral! Pernah juga honor saya tak dibayar!
Ada
banyak hal yang telah saya peroleh dari dunia tersebut. Wawasan, perkawanan,
persahabatan, finansial, juga kesempatan, termasuk kesempatan untuk berada
seruangan dengan Anda semua. Dan saya bahagia.
Ide.
Ide adalah hal tergila yang kadang membuat penulis mana pun merasa frustrasi.
Alangkah sulitnya menangkap momen puitik dan kreatif. Momen yang bisa
menggugah.
Bagi
saya, lelaki adalah inspirasi terbesar dalam setiap tulisan. Lelaki yang telah
saya kenal atau sekadar dalam pembayangan. Juga tulisan lelaki.
Baik,
kita akan bicara soal dari mana ide dalam tulisan saya berasal. Bagaimana jika
kita bahas beberapa yang telah dimuat dalam media cetak sampai saiber?
Ide
cerpen “Apa Makna Maut, Gabriel?” yang dimuat di www.titikoma.com (lihat link http://www.titikoma.com/cerpen/apa_makna_maut_gabriel.php),
terjadi ketika saya ingin menulis cerpen tentang tsunami di Pangandaran. Saya
mengenal kota itu sebagai bagian masa kanak-kanak yang hilang timbul dari
ingatan karena sudah lama sekali tak berkunjung ke sana lagi. Ada ikatan
emosional, juga kekerabatan. Lalu saya ingat cuplikan berita Fokus Siang di
Indosiar. Seorang remaja bernama David selamat dari musibah itu dan sedang
diwawancarai wartawan. David indo dan tampan. Saya terpikir mengapa tak
menciptakan tokoh fiksi berupa “David lain”? Jadi begitulah Gabriel menjadi
prototipe lain dari David. Saya sengaja membuka alur maju-mundur
berturut-turut. Alur yang menurut saya adalah hal biasa. Yang jelas saya merasa
senang bisa menulis lalu menyelesaikan itu meski ada banyak kelemahan. Tak
peduli pada mulanya saya saya tidak tahu akan apa yang harus ditulis dan
kelanjutannya. Percayalah, menulis memang sulit. Ada aspek-aspek yang harus
diperhatian. Pemilihan bahasa, data, dan logika agar tulisan kita bukan sekadar
fiksi sambil lalu.
Kadang
beberapa orang dekat sampai kawan menjadi “korban” permainan fiksi saya. Mereka
menjadi sumber inspirasi tak terbatas. Mengapa tak terbatas? Ya, karena hidup
saya lebih kaya warna berkat mereka, orang biasa yang menurut saya hebat dalam
kapasitas lain. Mereka luar biasa meski tak menyadarinya. Dari merekalah saya
bisa menulis puisi, cerpen, kadang juga esai. Ada semacam pertukaran pemikiran.
Sesuatu yang membuat dunia sunyi saya terasa lebih bermakna.
Kita
pada dasarnya hidup bukan untuk menyerah!
Mengenal
banyak orang adalah hal terbaik ketimbang menjadi makhluk asosial. Sebab, ada
banyak hal yang tak bisa diberikan buku semata. Berinteraksi dengan insan lain
lebih membuat kita paham intisari kejiwaan dari yang dipaparkan aneka bahan
literatur. Mereka juga bisa menjadi penyemangat kala rapuh dalam hal apa pun.
Atau sekadar korektor bagi ide-ide yang telah dihasilkan.
Saya
butuh korektor, pendapat kawan lain. Percayalah ide kita bisa saja tak sejalan
atau kurang dalam perspektif orang lain, namun pendapat kesekian itu
penting agar karya kita bisa lebih berkembang.
Selain
Pak Tendy yang menjadi motivator saya, ada seorang Redaktur dari harian Suara
Karya yang entah mengapa begitu berbaik hati menyemangati saya agar
mengirim tulisan lebih baik. Pak Ami Herman adalah redaktur dari sekian kecil
redaktur yang peduli.
Maka,
jangan kecewakan mereka yang percaya. Teruslah berkarya! Tak peduli karya kita
sangat sering ditolak, tak punya komputer, warnet jauh dari rumah, kekurangan
mesiu berupa bahan bacaan, ide macet, capai, sibuk, atau sekadar bosan.
Anggap
saja semua aral itu sebagai bagian dari proses menjadi. Nikmatilah karena hidup
ini penuh hikmat tersembunyi. Jangan iri pada kesuksesan orang lain karena
mereka pun barangkali telah dan sedang menjalani proses untuk sukses. Seperti
lagu dangdut Jatuh Bangun.
Suatu saat, saya
sedang membawa keyakinan ini, pasti segala usaha saya tak sia-sia sebab akan
ada hasilnya. Dan saya meyakini mimpi itu. Namun saya pun butuh aneka bahan
bacaan agar impian tersebut memiliki arah yang lebih baik.
Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Itu
diktum yang pernah saya baca. Saya bukan pembaca yang baik, saat ini. Namun
keterbatasan bahan literatur bukan alasan untuk menyerah. Ada internet meski
warnet jauh dari rumah. Jadi syukurilah apa yang masih ada bukan menyesali apa
yang belum ada. Lagi pula, berkarya itu adalah hal menyenangkan. Apalagi
berjuang!
Forrest
Gump adalah buku yang sangat menginspirasi saya. Betapa tokoh rekaan
Winston Groom yang dibaca selepas ujian akhir SMU begitu menggugah kesadaran
saya. Saya kagum pada Gump, pada Groom. Dan saya tak tahu apakah saat diminta
bicara di ruangan bersama Anda semua untuk berbagi proses kreatif demi mata
kuliah imaginative writing, akan menjadi Gump lain -- yang pernah
diminta menjadi “contoh” bagi mata kuliah karya sastra tentang peranan idiot
savant dalam karya sastra dunia.
Groom telah meramu kegigihannya agar menghasilkan
Gump yang gigih pula. Di sini imajinasi Groom berkembang begitu liar melebihi
aspek pengalamannya sendiri. Ada sesuatu yang dibagi Groom pada pembacanya.
Sesuatu yang sangat bermakna. Dan tentunya ia kaya literatur, atau setidaknya
seorang pelahap buku yang sangat mumpuni. Kalau tidak, bagaimana ia bisa turut
menginspirasi pembacanya pula?
Kita
bisa terinspirasi pada sembarang buku. Entah karya sastra atau sekadar pop
biasa. Saya terinspirasi pada Gump dan Groom untuk alasan “karena berbeda”. Dan
saya coba tuangkan pengalaman membaca tersebut menjadi karya berupa esai (juga
makalah ini).
“Mencermati
Humor Cerdas Winston Groom” adalah esai yang saya buat beberapa tahun lalu.
Esai “gagal” yang berulang kali ditolak beberapa media cetak. Saya hanya
merevisinya sedikit lalu menyertakannya dalam pengiriman beberapa karya untuk Suara
Karya. Entah mengapa mereka memuatnya. (Lihat link http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=202750)
Ada objektivitas dan subjektivitas yang bermain di sana. Karya kita bisa
saja ditolak suatu atau beberapa media karena dianggap tak laik muat (atau tak
terbaca), namun jika diperbaiki lalu kita tak menyerah untuk mencoba
mengirimnya ke media lain, insya Allah akan ada hasilnya. Kalaupun tidak
dimuat juga, tak apa-apa, buatlah blog pribadi untuk memajang
karya kita di sana atau menyebarkannya ke milis (mailing list) sampai
kawan-kawan.
“Film
dan Buku dalam Perspektif Penonton” adalah esai kejutan yang dimuat kawan saya
di majalah maya asuhannya, www.titikoma.com.
(Lihat link http://www.titikoma.com/esai/film_dan_buku_dalam_perspektif_penonton.php.)
Beberapa tahun lalu saya hanya
iseng menyebarkannya ke milis dan sekian kawan. Lalu Hasta Indriyana, pengasuh
situs tersebut malah memuatnya. Tidak cuma itu saja, ia dan medianya mengirim 3
kaus untuk 3 tulisan saya yang dimuat sebagai kontraprestasi. Ada persahabatan
di sana. Berkat Gump dan Groom karena saya masih membahas soal perbedaan film
dan buku. Lucu, berkat buku saya beroleh kaus.
Bagi
saya suatu tokoh cerita bisa menjadi sumber inspirasi, bisa juga karena
penulisnya. Saya suka tulisan Seno Gumira Ajidarma. Gaya bahasanya terkadang
berat dan mengalun. Seno sering menyisipkan permenungan dalam karyanya.
Pengaruh Seno terbawa dalam beberapa tulisan saya, salah satunya cerpen “Abu”.
Cerpen yang saya buat karena teringat seorang kawan lama. Kawan masa SMU yang
sama-sama tak bertukar kabar. Saya membuat kemungkinan lain bagi hidup sang
kawan, juga hidup saya. Latarnya Jakarta dan kampung saya di Limbangan. Itulah
asyiknya jadi penulis, bisa memfiksikan sesuatu. Meski harus saya akui ada
beberapa kelemahan di awal penulisan seperti salah ketik sampai logika sehingga
harus beberapa kali direvisi. Catatan perjalanan Seno yang dimuat di majalah Jakarta-Jakarta
menjadi bagian dari cuplikan adegan cerpen.
Akan
tetapi, meskipun terinspirasi, saya sadar tak akan bisa sepenuhnya menjadi
“seperti Seno”, apalagi menangkap ruhnya. Biarlah saya tumbuh menjadi penulis
yang mengikuti kaidah benchmarking namun tetap mencari ruh sendiri,
semacam warna jiwa pribadi. Saya adalah saya bukan Seno. Saya bisa saja
mencontek gaya bahasa Seno yang berat, berirama, dan mengalun. Namun saya tak
menguasai kekayaannya dalam mengolah metafora. Di sini cakrawala wawasan dan
pengalaman bermain.
Apakah
menulis semacam permainan juga? Bisa jadi.
Imajinasi
adalah sebagian kecil “perangkat lunak” bagi permainan tersebut. Saat jadi
narasumber di HARDIM pada tahun 2004, atas undangan Pak Tendy, saya pernah
kelimpungan kala ditanya seorang peserta kursus menulis HARDIM: “Menurut Anda,
apakah imajinasi itu?”
Sungguh
itu pertanyaan bagus, sangat bagus sampai saya tak tahu bagaimana jawabannya
karena ternyata mengenal imajinasi sebatas praktik tidak penguraian secara
lebih rinci dan mendalam. Dari situlah saya menyadari betapa kita sering
mengenal suatu kata sebagai kata semata tidak secara harfiah. Bahwa kata telah
dimatikan makna tersembunyinya, bahwa saya ternyata hanya bisa melihat sesuatu
sebagai “sesuatu permukaan” bukan “sesuatu yang penuh kemungkinan dan
mengundang sel-sel kelabu agar bisa mengimajinasikannya”.
Yang
jelas, imajinasi lebih daripada yang dipaparkan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Imajinasi bukan hanya sekadar khayalan. Jadi, apakah imajinasi itu sesungguhnya?
Sejujurnya saya tidak tahu, sampai sekarang ini, barangkali Pak Tendy yang
cukup berpengalaman dalam bidang bahasa dan mengajar bisa menjelaskan?
Sebagai
penulis, saya punya bacaan favorit yang sangat menunjang agar tak kuper.
Majalah Annida dengan moto “inspirasi tak bertepi” adalah bagian dari
hidup saya. Majalah yang saya baca sejak tahun 2002 itu lebih dari sekadar
menginspirasi, ada perubahan atau pembaruan yang diembuskannya. Maaf, anggap
saja majalahnya semacam angin sejuk bagi dunia literatur Indonesia. Saya sering
terkagum-kagum pada karya penulis yang dimuat Annida. Sering juga
geregetan. Namun sekarang ada perubahan signifikan, Annida kini lebih
fokus pada dunia literatur dan perbukuan. Betapa sangat sedikit majalah yang
mengusung ideologi macam itu. Dan bagi penulis mana pun Annida sangat
membantu agar mereka bisa tahu. Ya, setidaknya bagi yang tinggal di tempat agak
terpencil tak merasa terkucil.
Terkucil?
Kata itu mendadak menyentakkan saya. Apakah saya sepenuhnya terkucil? Dalam kungkungan
dunia sunyi sebagai takdir? Entahlah. Dengan menulis saya merasa tak sepenuhnya
terkucil. Saya adalah perempuan yang suka pada hal-hal baru dan menantang. Tak
bisa saya bayangkan bagaimana seandainya hidup saya
hanya-harus-berakhir-dengan-pendidikan-sampai-Sekolah-Dasar-saja karena
menyerah untuk tak mencoba hal baru yang menantang berupa menjadi sama seperti
anak kebanyakan. Saya tak suka dibedakan karena perbedaan!
Dengan
menulis saya merasa lebih hidup. Berbagi makna pada sesama lewat aksara. Mengenal
banyak orang tak terkira dan memiliki kawan tak terhingga. Setidaknya saya
bahagia dengan dunia pilihan ini. Saya tak bisa membayangkan menjadi saya-lain
yang tak pernah mengenal dunia literatur apalagi menggelutinya.
Bahasa.
Bahasa adalah keajaiban. Saya sering bingung bagaimana suatu kata bisa ada dan
menjadi bahan percakapan bagi semua orang. Di masa kecil, saya mengenal begitu
banyak kosakata dari bacaan majalah Bobo dan Ananda. Dan
perbendaharaan kosakata saya terus berkembang seiring usia. Tentunya saya hanya
bisa mengenal suatu kata dari apa yang dibaca bukan didengar. KBBI sangat
membantu saya untuk lebih memahami kata yang dirasa asing dan baru.
Selain
itu, saya bisa belajar bahasa, terutama gramatika bahasa Indonesia, di milis guyubbahasa
Forum Bahasa Media Massa. Ternyata bahasa bisa menjadi fenomena yang aneh,
ajaib, bikin pusing tetapi asyik, atau malah memberantemkan orang.
Ah
sunyi. Sesunyi apa dunia saya ini? Belum sepenuhnya sunyi karena saya hanya
tahu bisa mengisinya dengan membaca dan menulis, juga berinteraksi dengan
sekian persona.
Saya
tahu diminta Pak Tendy agar seruangan dengan Anda semua untuk sesuatu: semoga
bisa menginspirasi, atau setidaknya menyemangati hidup Anda kala merasa lebih
nelangsa. Kita harus bisa melihat ke segala arah,
atas-bawah-samping-belakang-juga depan untuk tujuan; menyangkut pertanyaan
besar:Untuk apa kita ada, dan untuk apa kita menulis?
Maka
menulislah sejauh Anda yakin bahwa itu memang merupakan jalan Anda. Jangan
menyerah karena hidup memang melelahkan namun selalu harus diperjuangkan.
Selamat
berjuang. Semoga kita saling melihat diri kita bukan sebagai insan yang lekas
patah arang. Amin.***
Rental
BBC Limbangan, Garut, 21 Januari 2009
Catatan:
Saya menulis
ini mulai dari pukul 08.45 sampai 12.15. Makan waktu lama memang. Saya harus
bolak-balik membacanya dari awal karena benar-benar tak tahu harus menulis apa.
Barusan dari pasar bareng suami, belanja untuk warung kecil-kecilan kami. Suami
pulang lebih dulu, dan saya bekerja menulis ini. Yang menyenangkan tadi pagi
adalah kami bisa jalan pagi menyusuri jalanan desa sejauh 3 km kurang-lebih ke
jalan besar kecamatan. Kemudian naik sado ke pasar yang bayarnya cuma seribu
rupiah per orang. Saya mencoba menikmati hidup sebagai sesuatu yang masih ada
segi baiknya.
Di rental ini
pula saya bersua dengan Bu Kades yang sedang dibuatkan cetakan foto jalan desa.
Jadi tahu bahwa beliau memang sedang memperjuangkan agar perbaikan jalan bisa
segera direalkan. Jalannya sudah sangat lama rusak parah. Ya, setidaknya saya
melihat seorang pejuang lain. Juga beberapa pejuang yang membutuhkan jasa
rental yang dikelola seorang pejuang muda yang berusaha menafkahi diri dan
keluarganya. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D