Bagi Moh. Syafari Firdaus
Lagi-lagi kau bawa aku mengendus
aroma hujan,
seperti entah berapa tahun silam
perjalanan.
Mungkin kelebat Layang-layang
dan Delirium itu hadiah bagi pulangku ke asal.
Rumah puisi bagi jiwa teramat sunyi
namun selalu dahaga akan sunyi yang
hakiki.
Aku lupa asal, lupa kata, lupa
makna sajak.
Kemudian hujan yang kau guyurkan
seumpama ucapan selamat datang.
Aku rindu sajakmu, yang murung,
bertahun-tahun, lalu kau kembali muncul, menyambut wajahku yang muram disaput
debu kehidupan.
Umpama mana lagi yang harus kureka
kala rindu telah menemu muara:
kesedihan berulang sebagai tikaman
dengan medium hujan.
Aku telah hidup di tepian rel,
menyaksikan kereta lewat
seumpama rentetan peristiwa lain,
mengikuti siklus musim.
Juga anak-anak yang kehilangan hangat
rumah, menghirup kekerasan,
uap karbon, sodom, bahkan lem
aibon; sebagai cinta.
Mereka didewasakan nasib dengan
cara lebih gasing
daripada yang kau dan aku kenal dan
ratapi sebagai takdir.
Juga kunang-kunang yang telah lama
punah di tanah lapang,
digantikan laron-laron pemburu
cahaya; jalan layang Kiaracondong
dengan sampah dan kubangan di
bawahnya. Kota kita
kian sesak dijejali sekian jiwa --
bahkan mayat-mayat -- tak dikenal.
Meruapkan aroma tak sedap bagi
ketidakpastian masa depan
yang kau dan aku cemaskan sebagai
udara; ketika segala
sesuatu singgah dan berebut peran
begitu saja.
Kukunyah semua, kala kau bertanya
pukul berapa sekarang,
dengan jiwa hampa karena aku tak
tahu berapa lama waktu
telah berlari dan membelakangi
perjalananku yang menyimpang
dalam pencarian abadi bagi cinta
tak terpahamkan:
menyusuri kesedihan sebagai puisi.
Seperti sajak-sajakmu, seperti
suratku yang tak jadi kukirim
ke alamatmu.
: Karena aku tak mengharap kau
menggali kubur!
#Bandung, 30 April 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D