Intermezo
Cerpen ROHYATI SOFJAN
Stage
in: room; sound design, kali ini TV harus mati; 19.30, weker 5000-an yang
kubeli di toko (gratis dari batu batere ABC); Senin, 18 Agustus 2003 (bagaimana
Agustusanmu?). Dan mengamati.
Auditorium CCF de Bandung, 7 Agustus 2002
Aku
datang dengan sensasi yang tak kupahami. Yang jelas aku gugup sekali. Memasuki
halaman CCF adalah memasuki wilayah baru yang penuh keasingan. Terminus Kafe
tampak dipadati orang-orang. Aku menyapa seorang pria di sana mengenai
acaranya. Ia mempersilakanku terus saja melewati kafe dan masuk gerbang di mana
kulihat beberapa orang tampak bergerombol. Insan yang kukenal dalam pandanganku
adalah Beni R. Budiman, almarhum. Aku menyipitkan mataku untuk mengamati
sosoknya sembari jalan mendekat, ia balas menyipitkan matanya untuk
mengenaliku. Langsung kusapa dan kusalami saja ia, “Beni R. Budiman? Rohyati.”
Lantas aku menanyakan kehadiran istrinya, tetapi Teh Nenden katanya tidak
hadir. Lalu kutanyakan Kang Erwan atau anggota Jendela Seni lainnya, ia tidak
tahu dan mempersilakanku duduk menunggu di depan. Kutinggalkan saja ia berikut
orang-orang yang berbincang dengannya.
Aku
tidak tahu apa yang akan terjadi. Duduk sendiri di bangku panjang sembari
mencoba mengamati suasana sekitar. Masing-masing tak ada yang kukenal, dan
kuharap tak ada yang mengenaliku. Aku tidak tahu yang mana kamu di antara
sekian lelaki yang berlalu-lalang. Tadi aku sempat tertawa membaca brosur di
dinding yang bagiku kejutan: kamu ikut mengisi acara, entah baca puisi atau apa.
Suatu ketakterdugaan yang membuatku riang. Namun bagaimana jadinya jika aku
ketahuan sewilayah denganmu? Salah-salah langsung “ditendang”.
Seorang
lelaki duduk di depanku, di tangga batu yang menuju ruang kantor CCF, bersama
kawan-kawannya; mengamatiku. Aku heran ditatap seperti itu, tetapi ia membalas
keherananku dengan terus saja memerhatikanku. Entah siapa ia, dan apakah ia pun
entah siapa aku? Kami bersitatap dengan bahasa orang asing selama entah berapa
detik sampai menit, bagiku terasa lama. Lantas aku mengalihkan pandangan ke
arah lain, tetapi ia masih saja memerhatikanku. Aku cemas kalau ia kamu, tetapi
aku yakin ia pasti bukan kamu. Lalu aku cemas ia kawanmu, tetapi apakah mungkin ia mengenaliku. Lalu
kusadari sesuatu: tatapannya adalah tatapan seseorang yang ingin menyapa,
“Halo, boleh kenalan?” atau sebangsanya. Dan itu yang kutakutkan. Aku tak boleh
ketahuan. Pasang wajah tak ramah padahal serba salah, sebab ia seolah nekat
untuk tetap demikian. Begitu pun saat aku hendak minum dan gagal menusukkan
sedotan ke dalam gelasnya. Ia memperoleh keasyikan untuk memerhatikan setiap
gerakanku. Sialan benar ia! Apa tidak tahu sikon saja?! Sampai
sedotannya gagal kutusukan karena ujungnya malah tumpul. Aku coba membuka
tutupnya yang sulit dibuka, dan ia menghargai usahaku dengan terus mengamati.
Hampir saja aku ingin minta tolong padanya, tetapi itu ide gila. Dan
ekspresinya seolah ingin membantuku namun ragu karena aku jutek. Ia
membuatku tampak tolol. Aku ingin out segera. Akan tetapi, itu tidak
mungkin. Untung seorang kawannya menyibukkan sehingga perhatiannya beralih pada
hal lain; mendiskusikan naskah yang entah apa. Jarum jam menggelisahkanku. Lalu
seorang lelaki, yang kemudian kuketahui Iman Abda waktu ia meminjam bolpenku di
acara Malam Tiga Penyair, mempersilakan para hadirin untuk masuk ke dalam
auditorium. Yang lain bangkit. Aku ikut bangkit sembari berharap lelaki itu tak
mengusik. Bergerak cepat, tak mengisi buku tamu, malah bertemu Iman Plezz, anak
Jendela Seni, yang menyapaku dan langsung saja ku-sttt ia agar diam sebab aku
tak ingin ketahuan.
Acara
demi acara bergulir. Aku gelisah. Plezz berulang kali kuinterupsi dengan tanya
itu siapa pada setiap penampilan. Sampai ketika giliran kamu berdiri di depan
mik. Aku masih bertanya pada Plezz itu siapa, kali ini sekadar meyakinkan diri,
dan ia menjawab pertanyaanku tanpa pretensi meski barangkali merasa kesal (atau
geli jika tahu episode kita).
Aku
tertawa. Bertepuk tangan. Merasa nyaman duduk di belakang, melihat kamu
beraksi. Waktu tiba-tiba terasa berlari padahal sebelumnya slowly.
Sampai kamu mengakhirinya. Aku kecewa. Aku ingin melihatmu beraksi lagi,
mengamati setiap inci gerakanmu, menikmati sosokmu di luar mimpi. Namun kuberi
aplaus tepuk tangan yang panjang. Merayakan peristiwa betapa nikmatnya “jadi
psikopat”.
Lalu
aku harus pulang. Ibu ingin aku ngandang sebelum jam sembilan.
Kutinggalkan Plezz, kutinggalkan kamu. Aku tidak sempat menyimak bagaimana
Kelompok Kereta Angin Partikelir bermain. Seandainya aku tahu kamu ada di
antara mereka, pasti kepulanganku kutunda. Kamu ikut main bersama mereka?
Seperti apa gaya main harmonikamu? Aku tak akan pernah bisa mendengarkannya,
memang. Namun setidaknya aku bisa tahu bagaimana kamu dengan harmonikamu.
Aku
lupa wajah lelaki itu, lelaki yang tadi mengamatiku. Dan aku tak tahu apakah ia
sudah lupa wajahku. Kalau bertemu lagi rasanya aku harus minta maaf sebab tak
se-jutek yang kutunjukkan dulu. Namun semoga ia lupa aku dan segala
insiden “mengamati”. Dan kalaupun kami bertemu lagi, barangkali ia tak akan
mengenaliku serta tak akan tertarik untuk mengamati lagi seperti dulu. Sebab ia
tipe pencinta keindahan, bagiku. Ia lelaki yang menarik, tetapi sayangnya aku
tidak sedang ingin tertarik. Haruskah fisik luar jadi andalan?
Lalu
aku berpikir tentang kamu. Segalanya serba cepat untuk dihayati. Kemudian di
gedung yang sama pada malam lain di acara Malam Tiga Penyair, ketika duduk
dengan tenang bareng Hadi Fathurokhman yang baru kukenal di acara Pameran Buku
Bandung (PBB) - Korbit, sekonyong-konyong kamu muncul. Berdiri di ambang pintu.
Aku terpana. Seorang Madame menepuk bahumu menyuruh masuk, aku sempat
geli karena kamu mengedikkan bahu seolah enggan disentuh sembarang perempuan.
Dan, kamu duduk di belakang aku dan Hadi, tiga kursi dari kursiku, tepat di depan
kursi yang diduduki Abda; sampai pindah tempat ke kursi lain dekat kawanmu
karena ABG yang ikut menonton pada berisik.
Di
kursi yang kamu duduki, di barisan lain, bagian depan sebelah kiri, aku
mendapat sensasi tiada tara dengan jadi “pengamat”. Perhatianku terbagi pada
tiga hal: panggung, layar slide, dan kamu. Tiga adegan yang begitu rancak dan
dramatis.
Kala
Cecep Syamsul Hari (CSH) atau Ahda Imran atau Kang Yoyon (Moh. Sunjaya) baca
puisi, kamu bergerak dengan “puisi”-mu sendiri. Entah saat minum, membaca
antologi puisi Moh. Sunjaya dengan bantuan senter, menyapu rambut, bicara
dengan kawanmu, atau mengamati orang yang baru datang dari arah pintu. Akan
tetapi, apakah kamu tahu sedang diamati?
Namun
saat CSH baca puisi lagi, jam hampir beranjak pada angka sembilan, para ABG
bikin keributan dengan satu per satu atau beberapa orang sekaligus pada cabut.
Kawan-kawanmu pun demikian. Lantas kamu menyusul. Melewati barisan bangku
belakang. Aku sempat mengamatimu, kamu balas mengamati selintas. Lantas keluar.
Aku kecewa. Sensasi yang tadi kurasakan mendadak tawar. CSH masih baca puisi
namun ia tampak tak konsentrasi karena banyak audiens yang “permisi”,
sebagaimana aku tak konsentrasi karena kamu sudah “permisi”.
Aku
tanya pada Hadi kapan acara usai, ia tidak tahu. Namun begitu CSH usai baca
puisi, aku merasa acaraku sudah usai. Aku pamit pada Hadi hendak pulang, namun
ia malah mengantar.
Dan
di luar, pada peradaban benderang lampu neon, ketika aku menyusul Hadi sampai
di luar pintu sambil tersenyum lega, aku terenyak melihat sosokmu dan senyumku
hilang seketika. Kamu sudah duduk di bangku panjang bareng seorang kawan. Aku
mencoba meyakinkan itu kamu. Dan ekspresimu seolah orang asing yang dihantam
kejutan. Kulihat kawanmu bangkit. Selintas wajahnya seperti orang yang menahan
tawa atau hendak melepas tawa. Adakah kamu sudah tahu ini aku? Akan tetapi,
mataku tertuju pada Doni Muhammad Nur yang sedang berbincang dengan beberapa
kawannya. Aku menyapa sekadar pamit biasa. Namun ia tanya alamat. Jadi kami
saling tukaran alamat. Dan kamu masih duduk di bangku itu. Juga saat aku dan
Hadi mengamati poster pameran fotografi. Adakah kamu saat itu mengamatiku? Aku
sempat menatapmu. Ya, menatapmu. Aku ingin tahu reaksimu (kamu melengos).
Apakah itu kamu, dan apakah kamu masih kenal atau ingat aku? Lalu aku
berpapasan dengan kawanmu yang berambut gimbal tadi (siapa namanya?) Alis
kiriku terangkat, begitu pun alisnya. Kami saling melewati tanpa senyum.
Bagaimana bisa aku tersenyum padanya. Ia kawanmu ‘kan, dan aku tak mengenalnya.
Lalu
di gedung itu, beberapa malam kemudian, pada 31 Oktober yang dingin. Di acara
Malam Wing Kardjo. Kulihat kawanmu dengan rambut gimbalnya duduk beberapa kursi
di depanku. Lagi-lagi aku bertemu Hadi yang duduk di samping Matdon. Kusalami
ia dengan hangat dan riang. Kemudian Matdon pergi setelah menerima telefon yang
entah apa isinya. Aku dan Hadi berbincang dengan tulisan.
Dan
saat acara bergulir, kamu menginterupsi ketukan tutup spidol yang kumainkan di
keningku. Aku terkejut melihatmu. Namun mataku tetap saja ke depan. Saat kamu
lewat di sampingku, duduk di kursi paling ujung di barisan belakang. Gantian
mengamatiku. Aku coba tak peduli. Menginterupsi Hadi dengan melanjutkan obrolan
kami yang ditulis. Dan kamu mengamati. Apa yang ada di benakmu? Merasa sebal
atau terganggu atau menganggapku over acting? Hanya kamu yang tahu.
Pada
posisimu, gantian kamu yang mengamati. Aku tahu lewat ekor mataku. Juga saat
aku membagi permen pada Hadi (sayang aku cuma punya dua biji, coba kalau lebih
pasti aku akan berbasa-basi untuk menawarimu juga).
Bagaimana
rasanya jadi pengamat? Benda apa yang kamu mainkan di matamu; kamera atau
teropong? Lalu saat aku bilang pada Hadi hendak ke belakang, kamu ikut-ikutan
mengamati. Juga saat aku hampir terpeleset dari anak tangga yang tak kulihat
sampai kaget, sempat kulihat kamu pun menyaksikannya. Ruangannya gelap ya, aku
belum hafal jajaran kursinya pakai pembatas ketinggian. Semoga kamu tak
mensyukuri insiden itu. Lebih memalukan jika aku terpeleset sungguhan, salah-salah
bikin keributan.
Begitu
aku kembali. Kamu tak terlihat lagi di kursi itu, pindah ke depan bareng
kawan-kawanmu. Namun saat Abda bangkit dari kursinya diikuti kamu, aku tanya
pada Hadi pukul berapa sekarang. Kami saling memperlihatkan arloji, apakah waktunya
sesuai . Dan kamu menyaksikan itu sembari berjalan melewati kursi barisan
belakang. Lalu kusadari Abda malah berdiri di dekatku untuk beberapa lama,
entah hendak apa. Kupersilakan ia duduk di barisan kursiku. Namun dia malah
memilih duduk di barisan belakang (kecuali kamu). Sebenarnya kalian mau ke
mana, sih?
Abda
dan Hadi bertukar salam, seolah sudah lama kenal. Aku tersenyum melihat mereka
demikian. Kamu masih berdiri. Lalu kutanya Abda kapan acara usai sebab aku
takut tidak kebagian angkot. Ia tidak tahu namun mempersilakanku jika ingin
pulang lebih dulu.
Lucu,
aku jadi anak kecil, main lambai tangan berulang kali. “Dadah...,” namun
sebenarnya enggan beranjak pulang. (Aku terkena jam malam!)
Saat
aku berdiri dan hendak menuruni anak tangga, kulihat posisi lain tak nyaman
bagi langkahku karena jarak ketinggiannya, kecuali posisimu yang tepat di
sebelah kursiku dan dekat lantai. Aku terpaksa ngomong punten padamu
agar kamu bergeser, habis kamu menghalangi sih (atau sengaja
menghalangi?). Begitu dekat kita waktu itu. Bagaimana rasanya? Jauh, ya? Ya,
aku merasa jauh denganmu meski entah berapa senti dalam berapa detik aku
melewatimu. Mataku tertunduk ke bawah, kali ini aku takut terpeleset lagi.
Lucunya kamu ikut melihat ke bawah, memerhatikan langkahku atau kakiku? Terima
kasih kamu berdiri di sana. Setidaknya berjaga-jaga agar aku tak jatuh.
Saat
ke luar, kusadari sesuatu, kamu mengikutiku. Namun kamu cuma mendekati meja
hidangan untuk mengambil gelas kopi. Aku lega campur kecewa. Aku ingin menyapamu
dan berbincang namun tak punya cukup keberanian, apalagi sikapmu sedingin udara
malam. Tak adakah kehangatan selain segelas kopi yang juga ingin kucicipi --
seandainya kamu berbagi.
Aku
pulang dengan dada sesak tawa sekaligus kecewa.
Aku
ingin tertawa mengingat segala adegan di dalam gedung itu. Sekaligus sesak
karena ketegangan yang terjadi di antara kita entah berapa tensinya.
Dan
begitulah namanya perang dingin -- yang entah kapan berakhir.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D