Sabtu, 18 November 2017

Rahim



Cerpen Rohyati Sofjan


“Aku tidak menyesal terlahir sebagai perempuan, Ibrahim, sebab aku berharap dari rahimku kelak, aku akan melahirkan generasi yang lebih baik daripada yang dilahirkan ibuku berupa diriku.”

IBRAHIM tertegun, jadi inilah Run yang sebenarnya, perempuan yang pernah tergila-gila padanya, namun cuma dalam batas kekaguman berupa cinta yang bersifat platonik. Ya, perempuan itu mencintainya, diam-diam, meski tidak cukup yakin dan dalam. Ibrahim tidak keberatan, toh Run tak bermaksud mengganggunya.
Namun kini, cinta Run begitu menggelisahkannya. Padahal ia begitu jauh dan Run tak mendekatinya. Lalu mengapa Ibrahim bisa gelisah; sebab Run pun gelisah dalam cintanya. Dia mencintai Ibrahim, namun dia menyadari tak mendapat tempat dalam tatanan hidup Ibrahim yang ternyata tak lengkap. Dan menyadari itu, Run merasa dunia cinta yang Tuhan berikan padanya mengoyaknya meski bukan hal yang salah alamat.
Mencintai pria seperti Ibrahim, orang lain pasti akan mengecamnya tidak tahu diri. Namun Run tak merasa demikian, dia percaya pada takdir yang menggerakkannya untuk itu. Dia harus menunggu selama tiga tahun. Tiap pria cuma lewat di depan matanya tanpa kesan apa-apa; namun pada Ibrahim, Run menemukan ironisme tak terduga. Dia ingin tertawa. Betapa Tuhan penuh selera humor. Betapa cinta Tuhan yang besar dan tak bisa dia imbangi malah membuatnya bertemu dengan makhluk yang kelak akan mengajarinya bagaimana fragmen cinta itu.
 “Cinta itu apa, Ibrahim?”
Kali ini Run bertanya, dan bisakah Ibrahim menjawabnya.
 “Bukankah telah kau temukan jawabannya pada puisi “Kasidah Cinta” yang kau tulis,” Ibrahim mengelak. Namun Run menjawab dengan ekspresi murung, tegakah Ibrahim melihatnya. Dia terlalu baik, Ibrahim tahu itu. Bibir itu, bibir yang menggoda, inginkah Ibrahim melumatnya?
Run pasti kaget jika demikian. Dia akan menganggap cinta bisa pudar karena sebuah ciuman, sebab dibarengi unsur nafsu hubbussyahwat. Ibrahim tersenyum. Namun sayangnya, mampukah ia melakukan itu? Padahal Run bisa amat menggemaskan di balik keluguan dan kesederhanaan yang dia pancarkan sebagai perempuan yang berusaha meniti kedewasaan.
 “Cinta itu,” Ibrahim masih tersenyum, “ia bisa muncul dalam berbagai bentuk sebagai wujud dari adanya Sang Khalik.” Ibrahim mencoba menjawab. Namun Run tampak tak puas.
 “Sudahkah kau temukan makna cinta yang sesungguhnya, atau telahkah kau dapatkan itu di Jabal Rahmah, juga saat kau mengunjungi Padang Arafah?”
Ibrahim tersentak. Run menatapnya tajam. Ah, perempuan itu bagaimana bisa tahu, cenayang macam apa pula?
 “Aku hanya menduga,” Run seolah bisa membaca jalan pikirannya. “Aku berharap engkau ke sana untuk menemukan kekuatan agar bisa mendapat pencerahan bagi jalan hidupmu yang penuh persimpangan.” Run tersenyum, namun bibir itu tampak pucat.
Mata Ibrahim menerawang ke depan, angannya menengok ke belakang, ke masa di mana ia hidup dalam tatanan yang tak terpahamkan. Dan Run menunggu jawaban. Bisakah Ibrahim memuaskan keingintahuan yang penuh cabang. Kapan bisa Run hentikan, sebab hanya dia sendiri yang menciptakan?
 “Dalam benakmu,” Ibrahim bergumam, “adakah kehidupan lain yang engkau ciptakan bagi kehidupanku?”
 “Hanya ilusi liar, seperti halnya aku berfantasi seksual, kala jenuh dan terangsang oleh suatu pikiran kotor yang mengajak beronani.”
 “Kau berfantasi liar tentangku juga?” Ibrahim tertawa. Kali ini Run ikut tertawa dalam sinar matanya. 
 “Aku tidak tahu bagaimana rasanya persanggamaan itu, namun aku menginginkan seorang lelaki menyetubuhiku bukan cuma untuk birahi semata, melainkan dia bermaksud membuahi dengan kejernihan cinta dari nutfah yang dina, agar kami bisa menciptakan generasi cahaya untuk kami didik mengenal Maha Cahaya; dalam ikatan keluarga sakinah yang mawaddah war rahmah.”
 “Suatu saat kelak, kuharap kau bertemu dengan orang yang menjadi takdirmu untuk itu.” Ibrahim mencoba simpatik, meski perutnya mual dikocok kelugasan Run. Apakah harga kejujuran terkadang memabukkan?
 “Ya,” Run separuh bergumam. “Namun aku tak tahu apakah rahimku bisa melahirkan cahaya harapan itu. Rahimku, rahim seorang perempuan 26 tahun yang gamang dalam meniti kehidupan, masihkah rahimku tetap segar sementara usia mengejarku dalam irama genta perkawinan1 yang entah bagaimana bunyinya?”
 “Belum terlambat, selalu ada suatu saat di mana akan kau temukan jawaban untuk memupus kegelisahan.” Ibrahim mencoba meyakinkan, meski ia sendiri tidak yakin, karena Run perempuan keras kepala yang sulit diyakinkan oleh suatu pendirian yang tak diyakininya.
Keyakinan? Ah, apakah keyakinan itu? Ibrahim disodok oleh suatu pertanyaan mendasar yang tiba-tiba menghantam dari ruang bawah sadar.
 “Keyakinan adalah keniscayaan yang absurd, Ibrahim.” Run membaca apa yang seolah bisa dia baca begitu saja, padahal dia hanya mencoba dengan intuisi khasnya sebagai perempuan yang dibekali kepekaan rasa yang tak dimiliki lawan jenisnya.
 “Kalau saat ini aku tidak yakin akan suatu saat kelak itu, hanya karena aku tak bisa meraba rencana apa lagi yang akan Tuhan perankan untukku.”
 “Akan tetapi, bagaimana denganku?” Ibrahim seolah menemu umpan untuk memancing pertanyaan yang menggelisahkan, tentang bagaimana Run merasa harus jatuh cinta padanya padahal ia sama sekali tak menghendaki hal itu terjadi.
 “Kau adalah bagian dari takdir yang kutemui dengan bergerak, Ibrahim. Kali pertama saat kau masuk ruangan di mana aku tengah menunggu sesuatu, dua tahun lalu, aku sempat pucat sebab takut pada bayangan akan psikopat yang pernah hampir memerkosa sahabat perempuanku dan ikut mengusikku. Tamatlah riwayatku jika ia ada di sana. Kucoba perhatikan mata dan wajahmu, aku lega, untuk kelegaan yang menenteramkan. Namun kau sempat tersenyum kecil, barangkali kau merasa juga diperhatikan seperti itu. Dan tahukah kau, senyummu itu, aku suka senyum macam itu, seulas senyum yang ditujukan bukan untuk menggoda atau sebangsanya.
Dan selanjutnya, ah, sulit menguraikannya. Yang jelas entah mengapa aku harus jatuh cinta padamu. Seolah ada kekuatan yang menghendaki aku untuk itu, padahal aku tidak tahu siapa kau apalagi namamu. Lalu kutemukan berbagai ironisme dalam fragmentasi lainnya tentang kau. Betapa hidup penuh ketakterdugaan yang mengandung perumpamaan akan hakikat keberadaan kita di muka bumi ini. Aku tak pernah menyesal pernah mencintaimu, Ibrahim, meski aku cuma mengenalmu sekelebatan saja. Aku hanya akan menyesal jika kau menyesal aku mencintaimu. Padahal aku tak ingin hidup dalam penyesalan yang tak perlu kita sesali.
Katakan apakah jatuh cinta itu dosa, sebab cinta itu milik-Nya, meski terkadang kita tak tahu bagaimana cara menempatkannya?”
Hening mengambang. Jiwa Run dan Ibrahim seolah melebur dalam spektrum cahaya warna-warni yang berpendaran.
Ibrahim tak mendapat jawaban.
Run masih mencari jawaban.
Ibrahim merasa harus berakhir.
Run bilang dia bukan Salma Kharamy.
Ibrahim bilang, “Bukankah kau tak terlalu suka Gibran yang menurutmu bahasanya terlalu berbunga-bunga.”
Run bilang dia  ingin membaca Sayap-sayap Patah-nya Kahlil Gibran, sebab dia sudah bosan mengembara dalam dunia maya dan menghabiskan entah berapa puluh ribu tiap bulannya untuk itu sehingga lupa beli buku.
Ibrahim bilang, “Karena kawan masa kecilmu yang membuatmu betah demikian.”
Run bilang dia malah ingin chatting dengan Ibrahim, namun itu akan menyalahi komitmennya tentang cinta platonis.
Ibrahim bilang, “Kau pemimpi.”
“Aku membangun mimpi sebagai pondasi hidupku, kelak akan menjadi istana bagi kediaman ruhaniku yang telah mengembara selama sekian lama.”
 “Namun kau akan lelah juga pada akhirnya,” tukas Ibrahim.
 “Kita sudah sama-sama lelah, Ibrahim. Namun selalu akan ada oase bagi jiwa kita yang kadang nestapa.”
 “Oase itu berupa puisi yang hendak kau tawarkan padaku,” Ibrahim mengejek.
 “Aku bukan penyair bagi hidupmu, kaulah yang penyair bagi hidupmu sendiri!”2 Run tegang.
Ibrahim diam. Ia cuma tak ingin menambah ketegangan. Ia harus mengalah, membiarkan Run mencintainya seperti itu. Sampai Run bosan dan menemu cinta lain, atau dipertemukan pada cinta selanjutnya oleh Yang Memberi Cinta. Meski entah kapan?
Apa salahnya membiarkan Run mencintai seseorang, toh orang tersebut membuat hidupnya lebih hidup. Barangkali takdir itu rumit dan berkelindan.
Ibrahim ada agar Run merasa ada dan hidupnya lebih berirama dan berwarna. Meski Ibrahim merasa kehidupan cintanya penuh tanda tanya.
Ia pun merasa memburu bayangan. Dan cinta adalah bayangan itu.
Ibrahim gelisah dalam cinta yang tetap menyisakan rahasia besar untuk diungkapkan.
“Seseorang pernah bilang padaku tanpa diminta, apalah arti cinta. Hanya manusia sok perfek saja yang mengaku tahu segalanya tentang cinta dan Tuhan tidak gombal. Tuhan memang tidak gombal, Ibrahim. Namun untuk apa Dia ciptakan Adam dan Hawa? Telah kulemparkan kitab-kitab sufi peninggalan almarhum ayahku karena aku tidak paham kehidupan sufi macam apa yang sengaja mengasingkan diri dari kehidupan duniawi sedemikian rupa dan terlalu asyik dengan hal rohani. Seperti yang pernah kubaca dalam Kemarau-nya A.A. Navis saat usiaku sekira 14 tahun.3
Untuk Rabiah Al Adawiyah, aku masih bisa memahami intisari dari buku yang  kubaca tentangnya. Namun ayahku tak terlalu paham soal tarekat kesufian sehingga ia salah memilih buku, kecuali Al Ihya ‘Ulumuddin karya Imam Al Ghazali yang kini berada di tangan sepupuku.
Iqbal saja membahas soal sufi dalam Dinamika Islam karya Syed Habibul Haq Nadvi.4 Ia pun minum dari cangkir Rumi. Namun sebagaimana halnya dengan  Rumi, ia pun tidak taklid. Maka, Ibrahim, aku mencintaimu bukan sesuatu yang taklid.
Kelak sayapku akan mengepak pada jiwa yang kuharap telah Tuhan kehendaki bagi rahimku. Aku hanyalah pemain dalam panggung sandiwara dunia ini. Dan lakon yang kita perankan sepenuhnya bergantung bagaimana kita masing-masing. Kita tetap punya pilihan, Ibrahim. Namun aku merasa bahwa engkau tidak menginginkan aku berperan sebagai seorang pencinta mabuk kepayang dalam anggapan sesiapa yang merasa demikian. Maka selamat tinggal. Aku harus melesat ke lain cakrawala, mudah-mudahan kutemukan mahabbah-Nya.”
Ada kilat di langit kelam.
Ibrahim dan Run merasa kilat itu memisahkan mereka. Dalam getar-getar doa.***
Bandung, 21 April  2002, 23.45 WIB
Revisi: Bandung, 16 Desember 2003
Dimuat di BEN! #20 - Januari 2005

Catatan:
1 Diambil dari judul cerpen Abidah El Khalieqy dalam Menari di Atas Gunting, Jendela, 2001: 145.
2 Pada dasarnya ia bukan penyair, kata itu merupakan kiasan bagi hidup seseorang atau siapa saja yang menyadari bahwa hidup adalah semacam puisi tak bertepi untuk diisi.
3 Terima kasihku bagi mendiang Navis yang lewat karyanya itu sempat memengaruhi aspek kejiwaanku sehingga membekas sampai aku berada di dunia menulis ini.
4 Penerbit Risalah, Bandung, 1984
# Kupersembahkan fiksi ini bagi seorang “guru” dari sekian guru yang kukenal sepanjang sejarah hidupku; salam takzim sepenuh cinta dan semoga memaafkan kesalahpahaman (berikut keliaran imajinasi) yang berbuah karya ini. Anda adalah inspirator dalam duniaku. Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D