Cerpen Rohyati Sofjan
“Aku tidak menyesal
terlahir sebagai perempuan, Ibrahim, sebab aku berharap dari rahimku kelak, aku
akan melahirkan generasi yang lebih baik daripada yang dilahirkan ibuku berupa
diriku.”
IBRAHIM tertegun,
jadi inilah Run yang sebenarnya, perempuan yang pernah tergila-gila padanya,
namun cuma dalam batas kekaguman berupa cinta yang bersifat platonik. Ya,
perempuan itu mencintainya, diam-diam, meski tidak cukup yakin dan dalam.
Ibrahim tidak keberatan, toh Run tak
bermaksud mengganggunya.
Namun kini, cinta Run begitu
menggelisahkannya. Padahal ia begitu jauh dan Run tak mendekatinya. Lalu
mengapa Ibrahim bisa gelisah; sebab Run pun gelisah dalam cintanya. Dia
mencintai Ibrahim, namun dia menyadari tak mendapat tempat dalam tatanan hidup
Ibrahim yang ternyata tak lengkap. Dan menyadari itu, Run merasa dunia cinta
yang Tuhan berikan padanya mengoyaknya meski bukan hal yang salah alamat.
Mencintai pria seperti Ibrahim, orang lain
pasti akan mengecamnya tidak tahu diri. Namun Run tak merasa demikian, dia
percaya pada takdir yang menggerakkannya untuk itu. Dia harus menunggu selama
tiga tahun. Tiap pria cuma lewat di depan matanya tanpa kesan apa-apa; namun
pada Ibrahim, Run menemukan ironisme tak terduga. Dia ingin tertawa. Betapa Tuhan
penuh selera humor. Betapa cinta Tuhan yang besar dan tak bisa dia imbangi
malah membuatnya bertemu dengan makhluk yang kelak akan mengajarinya bagaimana
fragmen cinta itu.
“Cinta itu apa, Ibrahim?”
Kali ini Run bertanya, dan bisakah Ibrahim
menjawabnya.
“Bukankah telah kau temukan jawabannya pada
puisi “Kasidah Cinta” yang
kau tulis,” Ibrahim mengelak. Namun Run menjawab dengan ekspresi murung,
tegakah Ibrahim melihatnya. Dia terlalu baik, Ibrahim tahu itu. Bibir itu,
bibir yang menggoda, inginkah Ibrahim melumatnya?
Run pasti kaget jika demikian. Dia akan
menganggap cinta bisa pudar karena sebuah ciuman, sebab dibarengi unsur nafsu hubbussyahwat. Ibrahim tersenyum. Namun
sayangnya, mampukah ia melakukan itu? Padahal Run bisa amat menggemaskan di balik
keluguan dan kesederhanaan yang dia pancarkan sebagai perempuan yang berusaha
meniti kedewasaan.
“Cinta itu,” Ibrahim masih tersenyum, “ia bisa
muncul dalam berbagai bentuk sebagai wujud dari adanya Sang Khalik.” Ibrahim mencoba menjawab. Namun Run tampak tak puas.
“Sudahkah kau temukan makna cinta yang
sesungguhnya, atau telahkah kau dapatkan itu di Jabal Rahmah, juga saat kau mengunjungi Padang Arafah?”
Ibrahim tersentak. Run menatapnya tajam. Ah, perempuan itu bagaimana bisa tahu,
cenayang macam apa pula?
“Aku hanya menduga,” Run seolah bisa membaca
jalan pikirannya. “Aku berharap engkau ke sana
untuk menemukan kekuatan agar bisa mendapat pencerahan bagi jalan hidupmu yang
penuh persimpangan.” Run tersenyum, namun bibir itu tampak pucat.
Mata Ibrahim menerawang ke depan, angannya
menengok ke belakang, ke masa di mana ia hidup dalam tatanan yang tak
terpahamkan. Dan Run menunggu jawaban. Bisakah Ibrahim memuaskan keingintahuan
yang penuh cabang. Kapan bisa Run hentikan, sebab hanya dia sendiri yang menciptakan?
“Dalam benakmu,” Ibrahim bergumam, “adakah
kehidupan lain yang engkau ciptakan bagi kehidupanku?”
“Hanya ilusi liar, seperti halnya aku
berfantasi seksual, kala jenuh dan terangsang oleh suatu pikiran kotor yang
mengajak beronani.”
“Kau berfantasi liar tentangku juga?” Ibrahim
tertawa. Kali ini Run ikut tertawa dalam sinar matanya.
“Aku
tidak tahu bagaimana rasanya persanggamaan itu, namun aku menginginkan seorang
lelaki menyetubuhiku bukan cuma untuk birahi semata, melainkan dia bermaksud membuahi
dengan kejernihan cinta dari nutfah yang
dina, agar kami bisa menciptakan generasi cahaya untuk kami didik mengenal Maha
Cahaya; dalam ikatan keluarga sakinah yang mawaddah
war rahmah.”
“Suatu saat kelak, kuharap kau bertemu dengan
orang yang menjadi takdirmu untuk itu.” Ibrahim mencoba simpatik, meski
perutnya mual dikocok kelugasan Run. Apakah harga kejujuran terkadang
memabukkan?
“Ya,” Run separuh bergumam. “Namun aku tak
tahu apakah rahimku bisa melahirkan cahaya harapan itu. Rahimku, rahim seorang
perempuan 26 tahun yang gamang dalam meniti kehidupan, masihkah rahimku tetap
segar sementara usia mengejarku dalam irama genta
perkawinan1 yang entah
bagaimana bunyinya?”
“Belum terlambat, selalu ada suatu saat di
mana akan kau temukan jawaban untuk memupus kegelisahan.” Ibrahim mencoba
meyakinkan, meski ia sendiri tidak yakin, karena Run perempuan keras kepala
yang sulit diyakinkan oleh suatu pendirian yang tak diyakininya.
Keyakinan? Ah, apakah keyakinan itu? Ibrahim disodok oleh suatu pertanyaan
mendasar yang tiba-tiba menghantam dari ruang bawah sadar.
“Keyakinan adalah keniscayaan yang absurd, Ibrahim.” Run membaca apa yang
seolah bisa dia baca begitu saja, padahal dia hanya mencoba dengan intuisi
khasnya sebagai perempuan yang dibekali kepekaan rasa yang tak dimiliki lawan
jenisnya.
“Kalau saat ini aku tidak yakin akan suatu saat kelak itu, hanya karena aku
tak bisa meraba rencana apa lagi yang akan Tuhan perankan untukku.”
“Akan tetapi, bagaimana denganku?” Ibrahim
seolah menemu umpan untuk memancing pertanyaan yang menggelisahkan, tentang
bagaimana Run merasa harus jatuh cinta padanya padahal ia sama sekali tak
menghendaki hal itu terjadi.
“Kau adalah bagian dari takdir yang kutemui
dengan bergerak, Ibrahim. Kali
pertama saat kau masuk ruangan di mana aku tengah menunggu sesuatu, dua tahun
lalu, aku sempat pucat sebab takut pada bayangan akan psikopat yang pernah
hampir memerkosa sahabat perempuanku dan ikut mengusikku. Tamatlah riwayatku
jika ia ada di sana.
Kucoba perhatikan mata dan wajahmu, aku lega, untuk kelegaan yang
menenteramkan. Namun kau sempat tersenyum kecil, barangkali kau merasa juga
diperhatikan seperti itu. Dan tahukah kau, senyummu itu, aku suka senyum macam
itu, seulas senyum yang ditujukan bukan untuk menggoda atau sebangsanya.
Dan selanjutnya, ah, sulit menguraikannya. Yang jelas entah mengapa aku harus jatuh
cinta padamu. Seolah ada kekuatan yang menghendaki aku untuk itu, padahal aku
tidak tahu siapa kau apalagi namamu. Lalu kutemukan berbagai ironisme dalam
fragmentasi lainnya tentang kau. Betapa hidup penuh ketakterdugaan yang
mengandung perumpamaan akan hakikat keberadaan kita di muka bumi ini. Aku tak
pernah menyesal pernah mencintaimu, Ibrahim, meski aku cuma mengenalmu
sekelebatan saja. Aku hanya akan menyesal jika kau menyesal aku mencintaimu.
Padahal aku tak ingin hidup dalam penyesalan yang tak perlu kita sesali.
Katakan apakah jatuh cinta itu dosa, sebab
cinta itu milik-Nya, meski terkadang kita tak tahu bagaimana cara
menempatkannya?”
Hening mengambang. Jiwa Run dan Ibrahim
seolah melebur dalam spektrum cahaya warna-warni yang berpendaran.
Ibrahim tak mendapat jawaban.
Run masih mencari jawaban.
Ibrahim merasa harus berakhir.
Run bilang dia bukan Salma Kharamy.
Ibrahim bilang, “Bukankah kau tak terlalu
suka Gibran yang menurutmu bahasanya terlalu berbunga-bunga.”
Run bilang dia ingin membaca Sayap-sayap Patah-nya Kahlil Gibran, sebab dia sudah bosan
mengembara dalam dunia maya dan menghabiskan entah berapa puluh ribu tiap
bulannya untuk itu sehingga lupa beli buku.
Ibrahim bilang, “Karena kawan masa kecilmu
yang membuatmu betah demikian.”
Run bilang dia malah ingin chatting dengan Ibrahim, namun itu akan
menyalahi komitmennya tentang cinta platonis.
Ibrahim bilang, “Kau pemimpi.”
“Aku membangun mimpi sebagai pondasi
hidupku, kelak akan menjadi istana bagi kediaman ruhaniku yang telah mengembara
selama sekian lama.”
“Namun kau akan lelah juga pada akhirnya,”
tukas Ibrahim.
“Kita sudah sama-sama lelah, Ibrahim. Namun
selalu akan ada oase bagi jiwa kita yang kadang nestapa.”
“Oase itu berupa puisi yang hendak kau
tawarkan padaku,” Ibrahim mengejek.
“Aku bukan penyair bagi hidupmu, kaulah yang
penyair bagi hidupmu sendiri!”2 Run tegang.
Ibrahim diam. Ia cuma tak ingin menambah
ketegangan. Ia harus mengalah, membiarkan Run mencintainya seperti itu. Sampai
Run bosan dan menemu cinta lain, atau dipertemukan pada cinta selanjutnya oleh
Yang Memberi Cinta. Meski entah kapan?
Apa salahnya membiarkan Run mencintai
seseorang, toh orang tersebut membuat
hidupnya lebih hidup. Barangkali takdir itu rumit dan berkelindan.
Ibrahim ada agar Run merasa ada dan
hidupnya lebih berirama dan berwarna. Meski Ibrahim merasa kehidupan cintanya
penuh tanda tanya.
Ia pun merasa memburu bayangan. Dan cinta
adalah bayangan itu.
Ibrahim gelisah dalam cinta yang tetap
menyisakan rahasia besar untuk diungkapkan.
“Seseorang pernah bilang padaku tanpa
diminta, apalah arti cinta. Hanya manusia sok perfek saja yang mengaku tahu
segalanya tentang cinta dan Tuhan tidak gombal. Tuhan memang tidak gombal,
Ibrahim. Namun untuk apa Dia ciptakan Adam dan Hawa? Telah kulemparkan
kitab-kitab sufi peninggalan almarhum ayahku karena aku tidak paham kehidupan
sufi macam apa yang sengaja mengasingkan diri dari kehidupan duniawi sedemikian
rupa dan terlalu asyik dengan hal rohani. Seperti yang pernah kubaca dalam Kemarau-nya A.A. Navis saat usiaku
sekira 14 tahun.3
Untuk Rabiah Al Adawiyah, aku masih bisa
memahami intisari dari buku yang kubaca
tentangnya. Namun ayahku tak terlalu paham soal tarekat kesufian sehingga ia
salah memilih buku, kecuali Al Ihya ‘Ulumuddin karya Imam Al Ghazali
yang kini berada di tangan sepupuku.
Iqbal saja membahas soal sufi dalam Dinamika Islam karya Syed Habibul Haq
Nadvi.4 Ia pun minum dari
cangkir Rumi. Namun sebagaimana halnya dengan Rumi, ia pun tidak taklid. Maka, Ibrahim, aku mencintaimu bukan sesuatu yang taklid.
Kelak sayapku akan mengepak pada jiwa yang
kuharap telah Tuhan kehendaki bagi rahimku. Aku hanyalah pemain dalam panggung
sandiwara dunia ini. Dan lakon yang kita perankan sepenuhnya bergantung
bagaimana kita masing-masing. Kita tetap punya pilihan, Ibrahim. Namun aku
merasa bahwa engkau tidak menginginkan aku berperan sebagai seorang pencinta
mabuk kepayang dalam anggapan sesiapa yang merasa demikian. Maka selamat tinggal.
Aku harus melesat ke lain cakrawala, mudah-mudahan kutemukan mahabbah-Nya.”
Ada
kilat di langit kelam.
Ibrahim dan Run merasa kilat itu
memisahkan mereka. Dalam getar-getar doa.***
Bandung, 21 April 2002, 23.45 WIB
Revisi: Bandung, 16 Desember 2003
Dimuat di BEN! #20 -
Januari 2005
Catatan:
1 Diambil
dari judul cerpen Abidah El Khalieqy dalam Menari
di Atas Gunting, Jendela, 2001: 145.
2
Pada dasarnya ia bukan penyair, kata itu merupakan kiasan bagi hidup
seseorang atau siapa saja yang menyadari bahwa hidup adalah semacam puisi tak
bertepi untuk diisi.
3
Terima kasihku bagi mendiang Navis yang lewat karyanya itu sempat
memengaruhi aspek kejiwaanku sehingga membekas sampai aku berada di dunia
menulis ini.
4 Penerbit
Risalah, Bandung,
1984
# Kupersembahkan fiksi
ini bagi seorang “guru” dari sekian guru yang kukenal sepanjang sejarah
hidupku; salam takzim sepenuh cinta dan semoga memaafkan kesalahpahaman
(berikut keliaran imajinasi) yang berbuah karya ini. Anda adalah inspirator
dalam duniaku. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D