Cernak Rohyati Sofjan
DI depan rumah kami ada kandang sapi kepunyaan Pak
Atep. Pintu kandangnya menghadap samping timur sedang pintu rumah kami
menghadap selatan. Jarak antara pintu rumah dengan kandang sapi hanya sekira
dua meter. Bisa dibayangkan pada saat tertentu udara beraroma kotoran sapi yang
pup bergunduk-gunduk soalnya ada enam ekor sapi besar.
Aku kaget waktu pertama kali melihat dari luar kandang, sapi-sapinya besar sekali seperti bison. Kata
Mamah itu sapi khusus buat dipotong bukan diperah. Warnanya kecokelatan, tidak
mirip sapi dalam gambar susu kalengku; putih dengan bercak belang-belang hitam.
Aku terganggu dengan bau sapi yang kerap menerobos masuk rumah, sangat
tidak nyaman. Mamah minta aku bersabar soalnya kami tinggal di rumah ini
sebagai penumpang. Ya, kami menempati rumah kosong sekeluarga berempat, hanya
ada satu kamar dan sangat tidak memadai. Jika malam, aku dan palung
tidur di kamar, mamah dan bapak di ruang tengah dengan kasur lipat digelar.
Untuk bikin rumah kata mamah sangatlah mahal. Mamah dan Bapak sedang
mengupayakan itu. Bapak bekerja sebagai buruh tani serabutan di mana-mana.
Sejak menempati rumah ini Bapak selalu dapat kerjaan dan kami bisa tenang.
Sebelumnya kami tinggal di rumah nenek, beberapa ratus meter dari sini, namun
di sana tidak nyaman.
Sejujurnya aku terganggu dengan kandang sapi, kandang yang sudah sejak lama
ada dan sempat kosong karena sapinya dijual dulu. Sebelum terisi sapi semuanya oke-oke saja. Aku malu rumahku
berdekatan dengan kandang. Teman-teman jadi malas main. Kecuali Palung adikku
yang baru berusia dua tahun lebih, ia senang saja karena setiap hari bisa
melihat sapi. Palung yang lucu akan meniru suara sapi dengan mooo... panjang,
mulutnya dimanyunkan. Celotehan riangnya selalu tentang sapi. Mamah dan Bapak akan
menanggapi Palung dengan senang, sebaliknya aku cemberut.
“Aduh!” seruku gusar ketika aku sedang membaca komik Asterix koleksi
Mamah, Palung menerobos masuk kamar dan
langsung menubrukkan tubuhnya ke tubuhku yang sedang duduk di kasur,
menggangguku dengan mooo-nya yang konyol.
“Sapi!” kata Palung dengan polos. Anak itu tak kenal rasa bersalah sama
sekali.
“Iya sapi. Di luar saja, Pal. Teteh mau baca.”
“Sapi!” ulang Palung sambil berdiri, menarik-narik lenganku, “Hayu!”
Aku bergeming. Palung kesal. Ia mengentakkan kakinya dan mulai memukulku
berulang-ulang sambil mengerang. Waduh. Aku kewalahan. Tenaganya tak kira-kira.
Mamah membuka tirai dan masuk kamar.
“Temani Palung main di luar, Najm.”
“Mah!” protesku.
“Hanya sebentar, Sayang. Mamah sedang masak.” Mamah berkata dengan lembut
sambil mengusap kepalaku dan Palung, tersenyum padaku dan Palung yang masih
berceloteh sapi sambil menunjuk ke luar. Lalu menandak-nandak senang.
Aku menggerutu. Menggendong Palung ke luar. Main bersama Palung aku oke,
tapi anak ini ingin nonton sapi, dan aku alergi berdekatan dengan sapi. Susu
sapi aku doyan, bertetangga baik dengan sapi sama sekali tak pernah
kubayangkan.
Kini kami berdiri beberapa meter dari pintu kandang yang terbuka dan hanya
menampakkan bagian samping tubuh sapi, mereka semua sedang berdiri. Aku hanya
bisa bengong, ini pemandangan yang membosankan, kecuali bagi Palung tentunya
yang sedang asyik menonton sapi. Masing-masing tiap sapi dipisahkan sekat
tembok sepanjang separuh badan. Berada di bagian lebih tinggi dan ada parit
kecil tempat saluran air kotor kalau sapi atau kandangnya habis dibersihkan.
Dari arah bawah jalan setapak bagian selatan, Bapak tahu-tahu muncul. Baru
pulang kerja dari kebun punya Pak Ipit nun di bukit timur, kasihan pulang pergi selalu jalan kaki,
namun wajah lelahnya sumringah. Syukurlah. Bapak menyapa kami. Palung menyambut
Bapak dengan antusias dan merentangkan kedua lengannya minta digendong.
“Sapi.” Palung berceloteh sambil menganggukkan kepalanya, lalu menunjuk ke
dalam kandang.
“Dari tadi pengen nonton sapi, Pak.” Aku agak cemburu karena Bapak asyik
menciumi pipi Palung. Bapak hanya tertawa. Aku bersiap kabur, mengabari Mamah
bahwa Bapak sudah pulang. Lalu aku akan melanjutkan membaca petualangan Asterix
dan Obelix yang sedang membak-bik-buk pasukan serdadu Romawi hingga kocar-kacir. Namun Pak Atep muncul
dari arah belakang kami dan menyapa Bapak. Mereka berbincang sebentar, lalu
Bapak mengikuti Pak Atep masuk kandang.
“Ayo Najm,” ajak Bapak.
Coba bayangkan, baru kali ini aku terpaksa mengikuti Bapak masuk ke dalam
kandang. Terus terang aku penasaran juga untuk tahu ada apa di dalam, anak-anak
suka mengintip melalui celah dinding kandang yang terbuat dari pagar bambu
menjulang. Kami melewati ambang pintu lalu berbelok ke samping kiri sekat
tembok. Melihat sapi dari depan. Mereka sedang mengunyah jerami padi yang habis
dipanen.
Aku bengong. Duduk-duduk di bangku panjang. Melihat sekitar. Di belakang
kami ada tumpukan pup sapi yang ditutupi abu bekas bakaran kayu. Bapak
asyik mengobrol dengan Pak Atep. Bujang pengurus sapi sibuk bekerja. Bujang itu
tidur di loteng, tepat di atas jalan
masuk. Aku kasihan padanya. Apa tahan berkutat dengan bau-bauan? Banyak nyamuk
lagi kalau malam.
Harus kuakui kandang ini tak parah. Setiap ada sapi yang pup,
kotorannya langsung diseruk dengan sekop lalu dikumpulkan ke gundukan belakang
kami. Aneh memang, tak ada banyak lalat. Sepertinya Pak Atep apik mengurus kandangnya
agar tak terlalu bau sebab berada tepat di tengah permukiman penduduk kampung.
Hanya pada waktu tertentu bau meruak, itu jika sapi sedang pup.
Dan rumahkulah yang sering menerima aroma macam itu karena merupakan
bangunan terdekat. Selebihnya bagian timur dan selatan merupakan sebidang tanah
kosong yang memisahkan dengan rumah lain. Bagian barat adalah kebun Pak Atep
dan membentang luas sampai perbatasan permakaman.
Aku bertanya pada Bapak untuk apa kotoran sapi itu dan akan dibuang ke
mana. Pak Atep yang mendengarnya hanya tertawa, ia menangkap nada
kekhawatiranku.
“Diolah dulu untuk dijadikan gemuk lalu dijual,” ujar Pak Atep
sambil menunjuk tumpukan pup di belakang kami.
Gemuk adalah bahasa
Sunda untuk semacam pupuk kandang. Bapak mengusap kepalaku dan berkata agar
jangan khawatir.
Aku pernah baca artikel di koran atau majalah apa, gitu. Mamah yang
berprofesi sebagai penulis lepas punya banyak bahan bacaan di rumah. Fetus
alias kotoran sapi bisa diolah jadi bahan bakar biogas sampai campuran pembuat
bata dan gerabah yang kuat. Sepertinya Pak Atep belum berpikir ke sana karena
masih merupakan peternakan kecil. Baru dimulai pula setelah sempat vakum lama.
Kalau saja kami punya peternakan sapi mungkin bisa mengolah limbah
kotorannya jadi sesuatu yang bermanfaat. Sebagai sumber bahan bakar alternatif agar
kami tak perlu masak di tungku kayu bakar. Kata Mamah gas mahal dan takaran
isinya meragukan karena sering kurang
dari timbangan.
Aku berharap suatu saat kelak kami punya rumah sendiri dan peternakan yang
canggih. Siapa tahu aku dan Palung bisa sukses sebagai pengusaha dari hasil pup
sapi, hehe.
Semoga saja bibit pohon jati, jabon, alba, dan sengon yang ditanam Bapak di
kebunnya bisa menghasilkan. Kata Bapak butuh waktu 5 tahun lebih untuk tumbuh
besar sebelum dijual. Itu bisa jadi modal bagi kami. Karena itu Bapak minta
agar kami bersabar tinggal berdekatan dengan kandang. Belajar dari apa yang
dikaruniakan alam.***
Cipeujeuh, 30 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D