DONGENG Rohyati Sofjan
DI tepian sungai dari padang rumput yang luas, di antara bunga-bunga
liar yang merekah bahagia menyambut musim semi, seekor kura-kura berduka.
Barusan kala sedang berjalan, seekor kelinci putih melewatinya, kelinci
menertawakan kura-kura yang katanya lamban. Kura-kura hanya bisa diam, tak
membalas ocehan kelinci, namun tak urung ia sedih dengan kepongahan kelinci.
Sekarang
kura-kura hanya bisa tercenung menyaksikan kelinci melompat ke sana kemari
dengan lincah dan gesit. Kelinci begitu sibuk mencari umbi-umbian yang bisa
dimakan atau sekadar merumput. Kura-kura tidak tahu haruskah iri pada kelinci.
Ia bertanya mengapa alam menasibkan kaum kura-kura harus lamban kala berjalan.
Tadi
kelinci sempat mengatainya, “Ayo, kura-kura pemalas, jangan lamban saja!”
Kura-kura
tidak terima, ia bukanlah binatang malas. Dan sekarang kura-kura menangis.
Menyesali apa yang alam berikan.
“Apakah
pagi yang indah ini hanya akan kamu habiskan dengan berduka?”
Kura-kura
terkejut. Ia menoleh ke arah sumber suara tak jauh di dekatnya. Di bawah
terlihat keong tersenyum bijak. Kura-kura malu ketahuan menangis. “Kelinci,”
jelas kura-kura, “tadi ia mengolokku.”
“Aku
dengar apa yang dikatakannya,” kata keong. “Ucapan tak bermanfaat. Abaikan
saja, Kura-kura. Kelinci hanya lupa diri.”
“Aku
merasa tak berguna,” sesal kura-kura. “Aku bergerak lamban.”
Keong
tertawa terbahak-bahak. Kura-kura heran, “Apanya yang lucu?”
“Kamu
melupakanku. Tidakkah kamu tahu fakta sebenarnya tentangku? Aku lebih lamban
daripadamu. Dan jika kamu jeli, masih ada yang lebih lamban lagi daripadaku.
Aku tidak mengeluh sepertimu. Tidak juga ulat, semut, cacing, dan segala
binatang lamban lainnya yang merayap di muka bumi.”
Kura-kura
kian malu dinasihati keong. “Tapi ulat akan menjelma kupu-kupu yang gesit,
terbang di langit.”
“Ah,
Kawanku. Jika kita membahas soal binatang mana yang terlamban atau tercepat,
bagiku itu pekerjaan sia-sia. Alam menganugerahi kita kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Amat merugilah mereka yang tak mensyukurinya dengan pongah atau
menyesali diri.”
Kura-kura
merenung memikirkan ucapan keong barusan.
“Ya,”
kata-kura-kura akhirnya. “Kamu benar, terima kasih telah mengingatkanku,
Keong.”
Keong
tidak berkata apa-apa lagi. Bersama mereka mengamati padang rumput yang luas
itu. Di kejauhan, kelinci masih melompat-lompat. Dan mendadak dalam gerakan
sangat cepat sekaligus tak terduga, seekor macan tutul menerkam kelinci hingga
mati. Keong dan kura-kura terkejut menyaksikannya. Kelinci telah jadi sarapan
pagi bagi macan tutul itu. Alangkah malangnya.
“Inilah
hukum alam,” gumam keong. “Yang tercepat menjadi mangsa bagi yang lebih cepat
lagi. Tidak selalu yang lambat tak bermanfaat. Justru bisa selamat.” Keong
geleng-geleng kepala, lalu ngeloyor meninggalkan kura-kura. Ia tak suka
menyaksikan pemandangan di depan sana.
Kura-kura
hanya bisa diam. Mungkin sekarang ia harus berhenti menyesali diri. Alam tak
selamanya tak adil.***
#Cipeujeuh, 2 Maret 2012
~Gambar hasil paint sendiri
#Dongeng #Kura-kura #Kelinci
#BinatangTercepat #MamahPalung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D