J
|
annah muncul, setelah aku menunggu dengan gelisah
di sudut meja area Organicstage Barcode Kemang, terlambat hampir
setengah jam dari waktu yang dijanjikan. Senyumnya mengembang lebar menghampiri
mejaku. Aku berdiri dan mendorong kursi untuknya.
“Terima kasih.”
“Kau terlambat, seperti biasa,
Jannah....” kataku ketika telah duduk di kursi seberangnya.
Jannah tertawa, lekukan di
pipi kanannya kian menggemaskan. Ia tidak cantik namun terlihat menawan dengan
lesung pipinya. “Seperti biasa, meski
aku sudah berusaha on time. Aku berjumpa teman lama di parkiran
tempat ini, ngobrol ngalor ngidul, hehe....”
Ia sama sekali tak merasa
bersalah telah membuatku menunggu. Demi Tuhan, pekerjaan menunggu adalah hal
yang paling dibenci kaumku. Tapi Jannah, aku berusaha membuat pengecualian
untuk kebiasaan buruknya, kebiasaan yang seolah hanya untukku, selalu.
Sedang pada orang lain,
terutama klien-klien pentingnya, Jannah seolah tak leluasa membuat mereka
menunggu. Hanya padaku ia selalu menguji, dengan acara menunggu untuk hal apa
saja, dan karena itu, aku pernah memutuskan untuk tidak menunggu lagi, segera menikahi Amara. Adapun
Jannah, ia belum menikah juga, seolah menunggu, setelah pernikahanku tiga tahun
lalu.
Aku melambai pada waiter.
“Mau pesan apa?”
“Seperti biasa,” jawab Jannah
sambil tersenyum. Seperti biasa, pikirku, setelah tiga tahun perpisahan
tanpa sekali pun pertemuan, ia seolah tak ingin waktu berubah! Padahal hidupku
telah berubah, sedangkan hidupnya entah.
Aku memesan makanan nostalgia
kami, yang serba organik. Waiter berlalu. Ada waktu untuk berbincang,
pada inti pokok persoalan, sembari menunggu pesanan datang.
“Kau memintaku datang seolah
hendak membuka tabir gawat?” Jannah memulai, tanpa basa-basi. Ia selalu
kontradiktif, membuatku menunggu, tapi tidak untuk percakapan basa-basi. Ia tak
suka bertele-tele.
“Aku butuh pendapatmu, karena
itulah kita di sini.”
“Bercerai dengan Amara jalan
terbaik, aku bersyukur, “ ia tertawa, “Tapi jika hanya ingin memenangkan kasusmu, layakkah kau beberkan semua aib
istrimu?”
“Skandal, lebih tepatnya.” Aku
merasa santai. “Skandal istri sosialita dengan aktor busuk itu.” Aku mengembus
napas, ada beban berat. Percakapan via telefon dengan Jannah sama sekali tak
membantu memaparkan semua. Aku ingin bertemu dan bicara dengan Jannah. Aku merindukannya.
“Amara akan terbunuh.”
“Amara membunuh dirinya dengan
kesalahan bodoh itu, Jannah.” Aku merasa pahit. Sebagai suami sudah merasa
melakukan hal terbaik agar istri bahagia. Namun Amara membalas dengan tuba. Ia
berzina dengan Dandy dan video rekaman mereka tersebar di YouTube. Suami
macam apa aku ini?
Aku menggugat Dandy ke
pengadilan untuk pornografi dan perzinaan, aku menggugat cerai Amara untuk
kedua alasan itu. Dandy menyangkal, menyewa sepasukan pengacara busuk untuk
membela dan memutarbalikkan kasus. Amara bungkam dan menghindar entah ke mana.
Publik tentu saja heboh.
Setelah kasus seorang bupati sekaligus aktor yang digugat suami dari istri
sosialita yang berselingkuh, kini ada suami dari istri sosialita lain yang
menggugat kasus perzinahan dan pornografi.
Dandy adalah aktor sekaligus
penyanyi papan atas. Ia selalu dandy. Dan Amara yang cantik, ternyata
pacar lama Dandy.
“Apa yang kau inginkan
dariku?” Jannah menyeruput jus alpukat kesukaannya yang sebelumnya telah kupesan bersama minuman
penungguku.
“Menjadi pengacara Amara.”
Kataku tenang. Mata Jannah membelalak tidak senang.
“Itu tidak lucu!”
“Aku bukan pelawak, Jannah.
Tapi aku butuh orang yang tepat untuk mewakili Amara agar ia lebih kuat dan
bisa bertobat. Aku tak mau membayar pengacara yang bisa membuatnya bangkrut”
Jannah mengembus napas, berat.
“Kau memberiku pilihan sulit.”
Kugenggam kedua tangan Jannah.
“Aku akan membayarmu berapa saja, dan dengan apa saja. Tolonglah,” aku memohon.
“Mengapa?”
“Penebusan.” Kutatap mata itu
dalam, mata yang mengambang basah. Aku menyadari Jannah masih mencintaiku,
selalu, tapi aku saja yang bodoh tak sabar untuk menembus jantung
pertahanannya. Aku tergoda kecantikan Amara. Amara yang begitu mudah takluk
padaku, Amara yang sejinak merpati itu ternyata sarat siasat untuk menipu. Dan
aku baru menyadarinya setelah setahun pernikahan kami. Aku telah bertahan
selama tiga tahun untuk suatu alasan. Anak semata wayang kami, Allysa, yang
ternyata bukan darah dagingku!
Aku merasa seperti Patrick
Lannigan pada Trudy istrinya yang doyan selingkuh sana-sini dengan lelaki lain
dalam novel The Partner John Grisham. Namun alurnya tentu berbeda. Aku
bukan pengacara yang kabur membawa puluhan juta Dollar. Aku anak konglomerat
yang bisa sukses dengan usaha sendiri.
“Aku akan memikirkannya,” kata
Jannah lemah.
Aku kian menggenggam erat kedua tangannya. “Aku akan menunggu, tapi aku
tak bisa menunggu terlalu lama lagi, Jannah.”
“Salahku,” ia merunduk, bulir
bening jatuh mengenai meja.
Aku mengusap matanya dan
membantah. “Bukan salahmu, Jannah.”
“Kau pernah bertanya,
berulang, ‘Maukah menikah?’. Dan aku selalu menanggapinya dengan
ketidakpastian. Itu yang membuatmu lelah dan memilih Amara. Aku....” Jannah
terisak pelan.
Aku selalu tidak tega
membiarkan Jannah menangis. Aku tahu latar belakangnya membuat Jannah minder,
ia merasa anak haram tak jelas asal-usul, sesuatu yang membuatnya berulang
menolak pendekatanku. Padahal kedua orang tuaku menyukainya dan tak
berpandangan ekstrim.
Aku mendorong kursiku ke
sampingnya, lebih dekat dari tadi. Kupeluk bahunya, agar perempuan yang masih kukasihi,
selalu, merasa tenteram. Bagaimanapun, aku mencintainya. Melebihi apa pun!
Jannah puas menangis di
bahuku. Ia memandangku. “Kamu mampu menenangkan tangisku.” Ia merona malu. Aku
hanya tersenyum. Waiter datang membawa pesanan kami.
Malam ini kami habiskan dengan
keseriusan untuk membahas kasus perceraian dengan Amara. Jannah setuju mewakili
Amara. Aku dan Jannah akan berperan sebagai orang yang seakan berseberangan
namun memiliki satu tujuan. Tentu, sebagai orang yang sama-sama berlatar
belakang hukum, aku tak membeberkan pengakuan bahwa akulah yang telah
menyebabkan jatuhnya rekaman video itu pada pihak lain yang dengan suka cita
menyebarkannya!
Harap diingat, aku master
hukum dari universitas Harvard, dan Jannah adalah adik tingkatku di sana. Aku
kuliah dengan biaya orang tuaku, Jannah beroleh beasiswa untuk melanjutkan
gelar masternya.
Dan seperti Patrick Lannigan,
aku menyewa orang untuk diam-diam mengintai dan memata-matai kegiatan Amara dan
Dandy! Allysa tentu akan kulindungi
dengan bantuan Jannah agar beroleh perwalian dariku. Tak peduli ia bukan darah
dagingku! Tak peduli ia darah daging lelaki mana dengan Amara!***
Loji, 22 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D