Sabtu, 18 November 2017

Jannah



J
annah muncul, setelah aku menunggu dengan gelisah di sudut meja area Organicstage Barcode Kemang, terlambat hampir setengah jam dari waktu yang dijanjikan. Senyumnya mengembang lebar menghampiri mejaku. Aku berdiri dan mendorong kursi untuknya.
“Terima kasih.”
“Kau terlambat, seperti biasa, Jannah....” kataku ketika telah duduk di kursi seberangnya.
Jannah tertawa, lekukan di pipi kanannya kian menggemaskan. Ia tidak cantik namun terlihat menawan dengan lesung pipinya.  “Seperti biasa, meski aku sudah berusaha on time. Aku berjumpa teman lama di parkiran tempat ini, ngobrol ngalor ngidul, hehe....”
Ia sama sekali tak merasa bersalah telah membuatku menunggu. Demi Tuhan, pekerjaan menunggu adalah hal yang paling dibenci kaumku. Tapi Jannah, aku berusaha membuat pengecualian untuk kebiasaan buruknya, kebiasaan yang seolah hanya untukku, selalu.
Sedang pada orang lain, terutama klien-klien pentingnya, Jannah seolah tak leluasa membuat mereka menunggu. Hanya padaku ia selalu menguji, dengan acara menunggu untuk hal apa saja, dan karena itu, aku pernah memutuskan untuk tidak menunggu lagi, segera menikahi Amara. Adapun Jannah, ia belum menikah juga, seolah menunggu, setelah pernikahanku tiga tahun lalu.
Aku melambai pada waiter. “Mau pesan apa?”
“Seperti biasa,” jawab Jannah sambil tersenyum. Seperti biasa, pikirku, setelah tiga tahun perpisahan tanpa sekali pun pertemuan, ia seolah tak ingin waktu berubah! Padahal hidupku telah berubah, sedangkan hidupnya entah.
Aku memesan makanan nostalgia kami, yang serba organik. Waiter berlalu. Ada waktu untuk berbincang, pada inti pokok persoalan, sembari menunggu pesanan datang.
“Kau memintaku datang seolah hendak membuka tabir gawat?” Jannah memulai, tanpa basa-basi. Ia selalu kontradiktif, membuatku menunggu, tapi tidak untuk percakapan basa-basi. Ia tak suka bertele-tele.
“Aku butuh pendapatmu, karena itulah kita di sini.”
“Bercerai dengan Amara jalan terbaik, aku bersyukur, “ ia tertawa, “Tapi jika hanya ingin memenangkan kasusmu, layakkah kau beberkan semua aib istrimu?”
“Skandal, lebih tepatnya.” Aku merasa santai. “Skandal istri sosialita dengan aktor busuk itu.” Aku mengembus napas, ada beban berat. Percakapan via telefon dengan Jannah sama sekali tak membantu memaparkan semua. Aku ingin bertemu dan bicara dengan  Jannah. Aku merindukannya.
“Amara akan terbunuh.”
“Amara membunuh dirinya dengan kesalahan bodoh itu, Jannah.” Aku merasa pahit. Sebagai suami sudah merasa melakukan hal terbaik agar istri bahagia. Namun Amara membalas dengan tuba. Ia berzina dengan Dandy dan video rekaman mereka tersebar di YouTube. Suami macam apa aku ini?
Aku menggugat Dandy ke pengadilan untuk pornografi dan perzinaan, aku menggugat cerai Amara untuk kedua alasan itu. Dandy menyangkal, menyewa sepasukan pengacara busuk untuk membela dan memutarbalikkan kasus. Amara bungkam dan menghindar entah ke mana.
Publik tentu saja heboh. Setelah kasus seorang bupati sekaligus aktor yang digugat suami dari istri sosialita yang berselingkuh, kini ada suami dari istri sosialita lain yang menggugat kasus perzinahan dan pornografi.
Dandy adalah aktor sekaligus penyanyi papan atas. Ia selalu dandy. Dan Amara yang cantik, ternyata pacar lama Dandy.
“Apa yang kau inginkan dariku?” Jannah menyeruput jus alpukat kesukaannya  yang sebelumnya telah kupesan bersama minuman penungguku.
“Menjadi pengacara Amara.” Kataku tenang. Mata Jannah membelalak tidak senang.
“Itu tidak lucu!” 
“Aku bukan pelawak, Jannah. Tapi aku butuh orang yang tepat untuk mewakili Amara agar ia lebih kuat dan bisa bertobat. Aku tak mau membayar pengacara yang bisa membuatnya bangkrut”
Jannah mengembus napas, berat. “Kau memberiku pilihan sulit.”
Kugenggam kedua tangan Jannah. “Aku akan membayarmu berapa saja, dan dengan apa saja. Tolonglah,” aku memohon.
“Mengapa?”
“Penebusan.” Kutatap mata itu dalam, mata yang mengambang basah. Aku menyadari Jannah masih mencintaiku, selalu, tapi aku saja yang bodoh tak sabar untuk menembus jantung pertahanannya. Aku tergoda kecantikan Amara. Amara yang begitu mudah takluk padaku, Amara yang sejinak merpati itu ternyata sarat siasat untuk menipu. Dan aku baru menyadarinya setelah setahun pernikahan kami. Aku telah bertahan selama tiga tahun untuk suatu alasan. Anak semata wayang kami, Allysa, yang ternyata bukan darah dagingku!
Aku merasa seperti Patrick Lannigan pada Trudy istrinya yang doyan selingkuh sana-sini dengan lelaki lain dalam novel The Partner John Grisham. Namun alurnya tentu berbeda. Aku bukan pengacara yang kabur membawa puluhan juta Dollar. Aku anak konglomerat yang bisa sukses dengan usaha sendiri.
“Aku akan memikirkannya,” kata Jannah lemah.
Aku kian menggenggam erat  kedua tangannya. “Aku akan menunggu, tapi aku tak bisa menunggu terlalu lama lagi, Jannah.”
“Salahku,” ia merunduk, bulir bening jatuh mengenai meja.
Aku mengusap matanya dan membantah. “Bukan salahmu, Jannah.”
“Kau pernah bertanya, berulang, ‘Maukah menikah?’. Dan aku selalu menanggapinya dengan ketidakpastian. Itu yang membuatmu lelah dan memilih Amara. Aku....” Jannah terisak pelan.
Aku selalu tidak tega membiarkan Jannah menangis. Aku tahu latar belakangnya membuat Jannah minder, ia merasa anak haram tak jelas asal-usul, sesuatu yang membuatnya berulang menolak pendekatanku. Padahal kedua orang tuaku menyukainya dan tak berpandangan ekstrim.
Aku mendorong kursiku ke sampingnya, lebih dekat dari tadi. Kupeluk bahunya, agar perempuan yang masih kukasihi, selalu, merasa tenteram. Bagaimanapun, aku mencintainya. Melebihi apa pun!
Jannah puas menangis di bahuku. Ia memandangku. “Kamu mampu menenangkan tangisku.” Ia merona malu. Aku hanya tersenyum. Waiter datang membawa pesanan kami.
Malam ini kami habiskan dengan keseriusan untuk membahas kasus perceraian dengan Amara. Jannah setuju mewakili Amara. Aku dan Jannah akan berperan sebagai orang yang seakan berseberangan namun memiliki satu tujuan. Tentu, sebagai orang yang sama-sama berlatar belakang hukum, aku tak membeberkan pengakuan bahwa akulah yang telah menyebabkan jatuhnya rekaman video itu pada pihak lain yang dengan suka cita menyebarkannya!
Harap diingat, aku master hukum dari universitas Harvard, dan Jannah adalah adik tingkatku di sana. Aku kuliah dengan biaya orang tuaku, Jannah beroleh beasiswa untuk melanjutkan gelar masternya.
Dan seperti Patrick Lannigan, aku menyewa orang untuk diam-diam mengintai dan memata-matai kegiatan Amara dan Dandy!  Allysa tentu akan kulindungi dengan bantuan Jannah agar beroleh perwalian dariku. Tak peduli ia bukan darah dagingku! Tak peduli ia darah daging lelaki mana dengan Amara!***
Loji, 22 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D