Sabtu, 18 November 2017

Hidup Terbakar Kutuk



Oleh Rohyati Sofjan

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar  dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. (An Nahl: 598)
SAYA menemukannya di gerai toko buku diskon Ultimus Jalan Jakarta, Bandung. Tempat menginap saya (ditemani Wida Waridah/Widzar Al Ghifary), sehabis menjadi narasumber di Kampus Unpas Jalan Setiabudhi, Bandung, 4 Maret 2009, atas undangan Bu Senny Susan Alwasilah dosen Unpas, dan Pak Tendy K. Somantri pewarta senior H.U. Pikiran Rakyat yang mengajar di sana dan merupakan sahabat terbaik; untuk mengisi mata kuliah imajinative writing, penulisan imajinatif dan berbagi pengalaman proses kreatif dalam menulis.
Demikianlah, dalam keadaan hamil muda (7 mingguan), saya beroleh pengalaman baru: mengoptimalkan keterbatasan sebagai tunarungu agar berdaya guna dengan memotivasi anak-anak yang jumlahnya sekira 35-an. Meski itu bukan undangan pertama, sebelumnya pernah diundang Pak Tendy untuk jadi narasumber di Klub Kepenulisan HARDIM Bandung pada 4 September 2004.
Berbicara dan menuturkan pengalaman proses kreatif ibarat bumi dengan langit dibanding berbicara mengenai kekejaman hukum patriarkal kaum lelaki seperti yang dituturkan Souad dalam Burned Alive (Alvabet, 2006). Buku itu pernah saya baca resensinya beberapa tahun lalu, tetapi berhubung tinggal di sudut kampung suatu kecamatan kecil, saya kesulitan mengakses bacaan baru sebab tidak ada toko buku.
Souad betul-betul mengajak saya, sebagai pembaca subjektif, untuk menjelajahi pengalaman hidupnya sebagai perempuan yang tak lebih berharga dibanding binatang, sesuatu yang bahkan tak pernah terbayangkan oleh saya sebagai perempuan yang dibesarkan dalam kebebasan dan kesetaraan.
Beberapa waktu lalu saya risau menonton berita di televisi tentang kian maraknya praktik aborsi. Pedih sebagai calon ibu begitu mengetahui bahwa klinik itu telah memendam ribuan janin tak dikehendaki, seolah tak ada hak bagi janin itu untuk mengenal kehidupan selain dimatikan. Janin salah karena tak diinginkan, dan Souad salah karena ditakdirkan terlahir sebagai perempuan: sama-sama kutukan!
Dalam Al Quran, terdapat beberapa ayat (ada banyak!) yang melarang bahkan mencela praktik keji berupa membunuh anak-anak perempuan dan membiarkan yang lelaki hidup. Itu adat istiadat jahiliyah Arab sebelum Islam masuk. Dan memoar Souad mengenyakkan saya, betapa praktik keji pra-Islam itu masih berlangsung bahkan dalam keluarga yang konon muslim di berbagai belahan dunia, tetapi yang ini di Tepi Barat Palestina, Tanah yang diberkati dan sedang diamuk perang tak berkesudahan sampai sekarang.
   Di negeri itu, tutur Souad, jika seorang perempuan melahirkan bayi laki-laki dan bayi itu hidup, maka itu berarti kemuliaan besar bagi si ibu dan seluruh keluarga. Jika anak laki-laki meninggal, semua orang akan meratapinya dan itu dianggap sebagai kemalangan keluarga. Laki-laki sangat diperhitungkan, tetapi tidak perempuan.
Maka, sebagai perempuan, ia hidup dalam hukum yang menistakan harkat dan martabatnya. Menjadi budak kaum lelaki, dipaksa bekerja keras sampai dipukuli dengan keji jika dianggap telah melakukan kesalahan. Dan semua perlakuan buruk itu ironisnya dianggap sudah merupakan kewajaran karena terindoktrinasi adat istiadat jahiliyah Arab yang kuat mengakar.
Maka, akses pendidikan pun sengaja ditiadakan bagi kaum perempuan; agar mereka tetap berkubang dalam kebodohan, agar tetap menjadi budak lelaki paling abadi. Hanya segelintir kecil yang beruntung beroleh pendidikan. Itu pun diiringi olok-olok kaum perempuan lain yang bebal: bahwa anak gadis yang bersekolah akan sulit dapat jodoh.
Bagi kaum perempuan sana, perkawinan adalah jalan keluar agar beroleh “kebebasan dan derajat”, meski itu berarti dipukuli dan dinistakan suami, tak ada bedanya dengan di rumah sendiri.
Ayah, abang, paman, sampai suami adalah pembuat hukum yang harus ditaati. Maka pembunuhan atas nama kehormatan keluarga pun dianggap sebagai kewajaran, bahkan kewajiban! Jika seorang perempuan di sebuah keluarga telah melakukan atau dianggap melakukan perbuatan charmuta (pelacur) maka, pihak lelaki dalam keluarga itu wajib membunuhnya, dengan cara setimpal.
Seperti seorang ibu yang dianggap telah berzina hanya berdasarkan dugaan dan desas-desus antar kaum perempuan sana sehingga saudara-saudara lelakinya memenggal kepala ibu malang itu dan memamerkannya pada seluruh penduduk desa, sedang suaminya menyambut dengan gembira. Padahal belum tentu istrinya bersalah, namun nyawa harus melayang demi alasan fitnah sampai kepicikan kaum lelaki sana. Jika tidak, sendi-sendi kekuasaan kaum lelaki akan guncang!
Dan Souad, dengan kebodohannya menjadi korban pembakaran yang dilakukan oleh abang iparnya karena telah hamil akibat perzinaan. Sesuatu yang tak diinginkan, tetapi ia menyerah karena menginginkan perkawinan dan menyerahkan keperawanannya pada seorang lelaki yang pernah melamarnya namun ditolak ayah Souad yang kejam dan tak pedulian pada kaum perempuan dengan alasan Kainat, kakak perempuan, belum dinikahkan karena tak kunjung jua dilamar.
Akan halnya lelaki itu, Faiez, yang masih bertetangga begitu diberi tahu Souad bahwa ia hamil, malah bertindak pengecut: kabur tanpa jejak!
Maka, demi kehormatan keluarga agar tak dikucilkan penduduk desa dan diusir mereka, si pembuat aib diputuskan oleh ayah-ibunya untuk dibunuh dengan cara dibakar abang ipar. Akan tetapi, pembunuhan itu tak berlangsung mulus. Souad selamat meski harus sekarat.
Bisakah dibayangkan, seorang gadis muda dalam keadaan hamil dibakar layaknya obor? Dan gadis itu harus mati agar pihak keluarga terbebas dari aib. Ajaibnya, Souad seolah ditakdirkan untuk tetap hidup, tinggal di negeri baru atas bantuan Jacqueline sang pekerja sosial asal Eropa yang telah menyelamatkan dan menolongnya agar memiliki kehidupan kedua di negeri baru.
Menikah, meski penuh liku karena harus meninggalkan bayinya untuk diadopsi keluarga lain, memiliki pekerjaan yang baik, membesarkan anak-anaknya, dan menjadi pembeber kekejian yang pernah dialaminya. Dan segala kepedihannya tak cuma dipaparkan lewat wawancara atau konvensi, tetapi dibukukan agar menjadi saksi abadi. Meski untuk itu harus mengupas nyeri jiwaninya,  mega dukkha terdalam: menguak ingatan kolektif yang telah coba dipendam; ingatan acak campur-balau yang hilang timbul.
Dibutuhkan simpati dan empati dari sesama perempuan, bahkan dari lelaki, agar korban bisa bangkit dan membangun kehidupan baru. Tidak banyak yang seberuntung Souad, kebanyakan mereka tetap tertindas dan berkubang dalam ketiadaan pilihan, menjadi korban dari kebrutalan pemeran.
Apakah tradisi macam itu memang dilegalkan agama, bahkan dalam Islam? Atau si pembuat tradisi sendiri sangat tidak memahami agama dan memutarbalikkannya sesuai selera demi kepentingan kelompok (kaum lelaki). Bahkan di belahan bumi Indonesia pun hal tersebut kerap dijumpai, terselubung atau terang-terangan. Lalu bagaimanakah perempuan memosisikan dirinya di antara ketertindasan?***
Cipeujeuh, 7 Januari 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D