Dongeng Rohyati Sofjan
ADA seorang pemuda yang
dikenal dungu di desanya. Ia berniat membeli kuda ke pasar ternak di kota.
Pemuda itu merasa yakin akan bisa membeli kuda terbaik yang kuat dan cepat. Ia
ingin bisa bepergian ke mana saja dengan kudanya. Pemuda itu telah mengumpulkan
uang yang susah payah ditabung dari pekerjaannya sebagai petani.
“Dengan kuda,” gumam pemuda dungu, “aku bisa langsung menjual hasil
pertanianku ke kota. Tak perlu lagi menjual murah pada tengkulak karena tak ada
pilihan. Aku tak mau selamanya dianggap dungu oleh orang-orang!”
Dengan langkah mantap pemuda itu menyusuri jalan ke kota saat fajar baru
saja merekah. Jadi perjalanan panjang yang ditempuhya selama berkilo-kilo meter
menuruni bukit menuju kota tak dirasa melelahkan. Pemuda dungu membawa cukup
perbekalan untuk perjalanan panjangnya yang kali ini dilakoni dengan riang.
Setiba di kota, hari jelang siang, dengan uang yang ada pemuda dungu
berhasil membeli seekor kuda jantan yang sehat dan kuat. Si penjual bilang kuda
ini kuda yang terbaik. Perlakukan dengan baik sebagai hewan peliharaan agar
patuh dan setia, pesannya. Pemuda dungu mengiyakan. Si penjual lalu memberi cap
nama pemuda dungu pada bahu kanan kuda. Cap itu dari besi panas yang
ditempelkan agar meninggalkan tonjolan nama pada kulit kuda. Kata si penjual
untuk jaga-jaga agar tidak dicuri orang dan bisa sebagai bukti sah kepemilikan.
Karena belum bisa berkuda, si pemuda menuntun kudanya berjalan pulang
kembali ke desa. Sebelumnya, ia menyempatkan diri membeli perbekalan di pasar
kota. Bahan makanan dan bibit tanaman, berikut pupuk dan obat-obatan untuk
pertanian. Semuanya disampirkan di punggung kuda dengan tas khusus untuk
mengangkut perbekalan yang juga dibelinya. Pemuda dungu pulang dengan riang. Ia
menuntun kudanya dengan hati-hati karena belum terbiasa. Kuda itu menurut
dengan jinak. Sesekali pemuda dungu menepuk lembut badan kuda dan mengajaknya
bicara.
“Kamu akan kuperlakukan dengan baik di desa. Kamu akan beroleh cukup makan
dan minum, juga perawatan.”
Si kuda cuma meringkik saja.
Setelah berjalan cukup lama, si pemuda kelelahan dan mengajak kudanya
istirahat di dekat mata air. Si kuda merumput setelah minum air. Pemuda dungu
makan perbekalannya. Angin sepoi-sepoi membuat pemuda dungu mengantuk, ia tidur
di bawah rindang pohonan. Kuda ditambatkan di cabang pohon yang menjorok.
Saat pulas tidur itulah, ada seorang peternak sedang menyeret keledainya
dengan kasar. “Dasar binatang lamban!” umpatnya sambil terus mencambuki badan
keledai agar jalan cepat. Namun si keledai tidak terima dicambuki terus,
sesekali mogok karena ngambek dengan perlakuan kasar tuannya. Namun si peternak
seperti tidak peka pada perasaan binatang. Hanya menganggap binatang tak lebih
hewan peliharaan yang bisa diperlakukan sesukanya.
Ketika si peternak hendak beristirahat di tempat pemuda dungu. Ia iri pada
kuda yang dimiliki si pemuda. “Bagus sekali kuda itu,” pikirnya. “Berbeda
dengan keledaiku yang bodoh.” Ia mengaso sambil terus memerhatikan kuda yang
merumput dengan tenang. Ketika disadarinya siapa pemilik kuda itu, seorang
pemuda yang terkenal dungu di desanya! Niat jahat muncul di hati peternak.
“Akan kutukar keledaiku dengan kudamya.” Pikirnya. Lalu dengan hati-hati
menurunkan tas perbekalan yang bertengger di punggung kuda. Menurunkan beban di
punggung keledainya dengan tas perbekalan si pemuda. Menaikkan tas perbekalan
peternak di punggung kuda. Tentu saja si keledai kaget karena bebannya lebih
berat dari tadi. Masih dengan gerakan hati-hati agar tak menimbulkan kegaduhan,
Si peternak menuntun keledainya ke tempat kuda tadi ditambatkan. Lalu mengendap-endap
menuntun kuda si pemuda ke tempat yang agak jauh. Setelah itu si peternak
menaikinya dan menghela kuda agar segera melesat meninggalkan tempat semula.
Ketika si pemuda bangun dari tidur siangnya yang nyaman. Matahari tak
seterik tadi. Ia beranjak menuju kudanya. Namun alangkah terkejutnya si pemuda
karena kudanya telah berubah bentuk lebih kecil dari semula. Pemuda dungu
mencubit pipinya sekadar memastikan tidak sedang bermimpi. Namun hewan yang
baru dibelinya tetap berubah jauh lebih kecil daripada semula.
Dengan bingung si pemuda berjalan mengelilingi “kudanya”, mengusap-usapnya
sekadar memastikan nyata. Lalu tibalah si pemuda pada kesimpulan sembarangan,
barangkali kudanya berubah kecil karena kelelahan menempuh beban berat dalam
jarak yang sangat jauh.
Pemuda dungu mengusap-usap bahu keledai. “Akan kurawat kamu dengan baik,
cukup makan dan minum agar badanmu pulih seperti semula,” katanya lembut. Si
keledai hanya meringkik.
Begitulah, pemuda dungu menuntun “kuda”-nya pulang tanpa menyadari bahwa
binatang yang dituntunnya adalah keledai. Dan menepati janji untuk merawat
hewan peliharaannya dengan baik. Tidak mempermasalahkan bahwa “kuda”-nya tak
sebesar semula, berpikir barangkali ia telah membuatnya sakit dan kelelahan
sehingga berubah wujud.
Perlakuan semacam itulah yang membuat keledai setia dan tetap sehat sampai
sekarang. Membantu pemuda dungu membawa hasil pertaniannya untuk dijual ke
kota. Tidak rewel sebagaimana pada majikannya semula yang kasar dalam
memperlakukan binatang.
Dengan bantuan keledai itulah, hidup pemuda dungu jadi lebih makmur. Ketika
ia telah memiliki cukup uang untuk membeli kuda lagi agar bisa meringankan
beban keledai, bersama keledainya pemuda dungu pergi ke pasar ternak di kota.
Kali ini pemuda dungu bisa tiba lebih pagi karena menaiki punggung keledai. Ia
berangkat sebelum fajar merekah seperti bertahun-tahun lalu.
Pemuda dungu menemui penjual kuda yang dulu. Membeli seekor kuda betina
yang kuat dan sehat. Setelah usai jual beli dan si penjual melakukan apa yang
biasa dilakukan pada pembeli; wanti-wanti agar memperlakukan kuda dengan baik,
lalu memberi cap pada badan kuda.
“Bagaimana kabar kudamu yang dulu?”
tanya si penjual ramah.
“Kudaku baik-baik saja,” kata si pemuda dungu sambil menunjuk “kuda”-nya
yang ditambatkan tak jauh dari mereka.
Demi melihat bentuk yang ditunjuk, si penjual garuk-garuk kepala
kebingungan. Ia yakin telinganya tak salah dengar, tadi pembeli setianya bilang
‘kudaku’.
“Yakin itu kuda yang dulu kamu beli di sini?” si penjual memastikan. Pemuda
dungu mengangguk mantap.
“Lihatlah, sampai sekarang tetap sehat dan kuat.” Katanya bangga. Ia
baik-baik saja memperlakukan hewan sampai hidupnya jauh lebih makmur daripada
dulu, dan bisa membeli kuda lagi.
“Boleh kulihat?” Tanpa menunggu persetujuan, si penjual gegas menghampiri
makhluk yang diyakininya adalah keledai. Si pemuda mengekorinya sambil menuntun
kuda. Si penjual memeriksa keledai, jelas ini memang keledai dan tak ada cap
nama pemuda dungu yang pernah ia terakan di atas kulitnya.
“Ini keledai!” Seru si penjual prihatin.
“Keledai?” pemuda dungu kebigungan, seumur hidupnya baru kali ini ia
mendengar kata itu. “Apakah itu?”
Bukannya menjawab, si penjual memandang pemuda dungu sambil menilai bahwa
pembeli setianya barangkali telah ditipu. “Bagaimana bisa berubah seperti ini?”
tanya si penjual iba.
“Aku tidak tahu,” pemuda dungu kini kebingungan memandang keledainya. Apa
beda kuda dengan keledai? Jika ini memang keledai yang lebih kecil daripada
kuda, bagaimana caranya hingga bisa berubah?
“Bagaimana bisa tidak tahu?” Si penjual mencoba sabar. “Tidakkah seseorang
menipumu?”
“Menipuku?!” Pemuda dungu tersentak. Kali ini wajahnya berubah muram. Ia
seseorang yang terkenal dungu di desanya, sudah seberapa sering dirinya ditipu?
“Coba ingat,” kata si penjual masih dengan sabar. “Barangkali kamu bertemu
seseorang yang menukar kudamu diam-diam atau terang-terangan?”
“Sama sekali tidak,” geleng pemuda dungu. “Ah, aku tidak yakin betul.” Ia
mulai berpikir. “Dalam perjalanan pulang usai membeli kuda, aku tertidur di
bawah pohon tepi jalan. Lalu saat bangun kulihat kudaku telah berubah wujud.
Aku tidak tahu mengapa.” Ia menunduk sedih sambil mengelus-elus punggung
binatang yang kini diketahuinya adalah keledai. Namun si pemuda dungu telanjur
sayang pada keledainya.
“Pasti seseorang telah menukar kudamu dengan keledai itu!” kesal si
penjual, ia tidak tahu haruskah kesal pada pemuda dungu atau pencuri kudanya.
“Biarlah,” kata si pemuda dungu. “Aku ikhlaskan saja. Toh, aku telah dapat ganti lagi berkat keledai ini.”
“Biar kusuruh orang untuk ikut mengawal kudamu sampai tiba dengan selamat
di desa!” Kata si penjual tegas. Memanggil pekerjanya untuk mengawal pemuda
dungu berikut kuda dan keledainya ke desa agar kejadian yang dulu tak terulang
lagi.
“Berhati-hatilah,” kata si penjual sambil menyalami pemuda dungu yang
mengangguk mantap.
Syahdan, setelah lima
tahun lewat. Pemuda dungu kian makmur saja dalam usahanya. Ia telah menikah dan
baru punya anak. Tanah pertaniannya kian luas, pemuda dungu selain bertani juga
mengelola peternakan kecil-kecilan. Ia telah mampu menggaji orang untuk
membantu pekerjaannya agar berkembang lebih baik.
Pemuda dungu belajar dari kehidupan agar tidak lagi dungu. Perempuan yang
dinikahinya selain cantik dan baik budi, juga terpelajar. Jadi pemuda dungu
bisa belajar banyak dari istrinya. Namun pemuda dungu tetap memperlakukan
dengan baik hewan-hewan peliharaannya. Termasuk keledai yang telah banyak
membantunya sampai sekarang. Pemuda dungu tak menyesal punya keledai.
Sedang peternak licik yang serakah telah menukar keledai miliknya dengan
kuda pemuda dungu itu, malah beroleh kesialan. Tangan dan kakinya patah hingga
ia pincang selamanya gara-gara jatuh dari punggung kuda. Kuda pemuda dungu
sudah bosan dengan perlakuan semena-mena si peternak yang kasar dan kejam. Jadi
kuda sengaja menjatuhkan si peternak yang mencambukinya. Saking marahnya si
peternak mengusir kuda itu dari peternakannya. Sekarang kuda pemuda dungu
adalah kuda liar yang bebas.
Suatu hari kuda pemuda dungu berjalan mendekati tanah pertanian pemuda
dungu. Ia tertarik pada kuda betina yang ada di sana. Dan pada saat itu pemuda
dungu keluar untuk menuntun kembali kudanya masuk kandang, terheran-heran
melihat ada kuda lain di dekat kudanya.
Pemuda dungu menghampiri mereka. Kuda liar itu tampak jinak. Pemuda dungu
mengelus punggungnya, dan pada saat itulah tampak cap namanya tertera pada bahu
kanan kuda. Pemuda dungu gembira kala menyadari kudanya yang telah lama hilang
kembali. Ia menuntun mereka berdua masuk kandang dengan bahagia.***
Cipeujeuh, 3 Maret 2012