Kamis, 13 Maret 2014

Malam yang Hangat di Bakmi Jogja

Malam yang Hangat

(Semacam Oleh-oleh Cerita)


            Suatu hari di bulan Maret, saya terima surel dari Pak Tendy di japri (jalur pribadi), isinya tentang pertemuan dengan Pak Thahir D. Asmadi (TDA) yang berkunjung ke Bandung. Beliau ingin bertemu saya. Tentu saja saya heran namun segera menjawab surel tersebut untuk mengiyakan pertemuannya karena berpikir barangkali soal pembentukan cabang FBMM di Bandung.
Begitulah, kami sempat berbalas surel tentang konfirmasi acara sampai saya terima  surel dari Pak TDA yang mengonfirmasikan pertemuan di Hotel Santika, belakang BIP, tempatnya menginap bareng Sang Nyonya (Bu Aisyah). Namun Pak Tendy punya rencana lain dalam surel berikutnya.
Maka demikianlah, saya segera balas surel beliau berdua (Kamis, 31 Maret 2005), sekira jam sebelas malam sambil chat di YM bareng tiga kawan sekaligus (Wida, Meli, dan Fans; Meli off, lalu digantikan Hari). Sempat tak fokus juga mengetiknya, namun intinya setelah tiap hari terpaksa ke warnet, saya sepakat dengan Plan A Pak Tendy untuk “kabur” dari tempat kerja jam 19.00 WIB, lebih awal dari jadwal toko yang tutup jam 20.30. Biar tak terlalu malam dan tak kehabisan mienya. Syukurnya bos mengizinkan, dan dua rekan saya yang lain tak ribut ditinggal “kabur” salah seorang personelnya -- meski sempat bersitegang dengan seorang rekan yang berubah pikiran dan depresinya kumat, jelang magrib. Biasa, anak itu memang moody banget dan tak tahu saya sudah minta izin pada bos. Pernah menyarankan saya agar keluar dari toko untuk berbagai alasan yang membuatnya depresi karena belum bisa buka toko sendiri seperti rekan lain yang join dengan bos. Pas saya benar-benar hendak mewujudkan sarannya, pertengahan Mei nanti, ia malah keberatan sebab bakal kekurangan orang (padahal masih ada rekan lain di cabang Yogya yang bisa diover); apalagi perempuan macam saya yang tak malu atau sungkan mengerjakan pekerjaan lelaki selain urusan pembukuan, sampai melayani pembeli dengan cara “unik”: meminta pesanan ditulis karena telinga saya tak berfungsi, hehe…
Baiklah, mari lupakan pekerjaan, hidup memang harus penuh tekanan sebab segala sesuatu tak selalu konstan.
Bandung masih juga hujan, selepas zuhur sampai malam. Pak Tendy benar-benar menjemput saya di toko. Waktu itu saya ke toko buku Suci dulu untuk beli notes sebagai “lahan” mengobrol nanti. Dan saat menyeberang jalan untuk kembali ke toko, Pak Tendy melintas dengan motornya, wajahnya basah oleh tempias hujan. “Hayu!” sapanya mengejutkan. Lalu dengan diiringi tatap heran sekian “tetangga sekitar” melihat saya dibonceng “orang asing”, akhirnya jadi juga kami menembus malam berhujan. Tidak deras, memang, namun saya sempat jet lag karena harus “ngumpet” di balik jas hujan tanpa tahu arah, hehe… Itu pengalaman pertama saya dibonceng Pak Tendy. (Abah dan Fans, kapan kalian bonceng saya untuk keliling Yogya? Santai, saya bisa menjaga jarak. :p)
Malam yang dingin mengantarkan  kami dengan selamat di restoran Bakmi Jogja, Jalan Bengawan. Itu kunjungan pertama bagi saya, dan keempat bagi Pak Tendy setelah dua kali dengan keluarganya berikut sekali dengan temannya.
Kami duduk di meja luar sembari menunggu Pak TDA dan Nyonya. Sedikit berbincang pakai tulisan, ditemani teh hangat yang langsung dituang dari poci tanah liat dan kacang tanah berrsalut tepung. Harum bakmi godok, salah satu makanan favorit saya, menggugah selera. Hujan membingkai atmosfer tradisional restoran. Saya teringat pada malam-malam berhujan yang pernah singgah dalam sejarah kala menjelajahi acara seni di Kota Bandung sebelum terjebak pada ritme kerja yang padat. Dari CCF de Bandung, sampai Goethe Institute untuk menonton pembacaan puisi Rainer Maria Rilke. Bagi saya, hujan selalu menakjubkan. Suasana muram yang mengundang kehangatan bagi sesiapa yang sedang bercengkerama dalam kebersamaan.
Begitulah, akhirnya mobil Pak TDA melintasi Jalan Bengawan. Parkir di luar halaman restoran. Pak Tendy dan saya bangkit dari kursi, menyalami Pak TDA dan Nyonya, serta seorang perempuan muda yang ternyata keponakan beliau berdua yang masih kuliah di Unpad untuk jurusan ekonomi (Lia).
Kami memilih pindah ke ruang dalam. Berlima menyantap bakmi godok yang terasa baru bagi lidah saya. (Lian dan Ical, jangan ngiler baca adegan makan, hehe…)
Pak Tendy benar, itu bakmi paling enak yang pernah saya cicipi, setelah mie tek-tek keliling.
Lalu, apakah tujuan kami bersilaturahmi cuma untuk makan saja atau ada yang lainnya? Ada yang bilang bahwa makan bersama bisa mempererat persaudaraan. Itulah yang saya rasakan. Dari Pak TDA yang spontan meledek “kumis tipis” saya (huu, pengaruh hormonal dan tak perlu bercukur kayak Pak Tendy yang jenggoter -- eh, jangan dicukur, ya? Hehe…), sampai usia pernikahannya dengan Bu Aisyah yang sudah 37 tahun (salut!). Ada beberapa hal yang terekam dalam benak saya dari pertemuan singkat itu. Tidak banyak percakapan yang saya lakukan karena tak tahu harus bagaimana di antara riuh kehangatan. Namun Pak TDA mengejutkan saya dengan memberi special gift berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga yang masih baru, sebagai tanda mata darinya dan Nyonya.
Jujur, saya memang sangat membutuhkan KBBI, namun jika ada yang memberi itu sebagai tanda mata, saya tak tahu harus bereaksi bagaimana. Ada rasa sungkan, boleh dikata tak nyaman, sebagaimana tak nyamannya saya kalau ada yang baik pada saya dengan memberi atau melakukan sesuatu. Seperti Sheila dalam novel karya Torey Hayden pinjaman Rusi;
Kok kamu lakukan itu?”
“Lakukan apa?”
Kok kamu mau baik padaku?”

(Rusi, punya edisi lanjutan Sheila II?)
Saya tak tahu banyak tentang Pak TDA, butuh waktu lama untuk mengenalnya luar-dalam. Namun ia mengingatkan saya akan figur ayah. Dari kacamata sampai karakter tulisan tangannya dalam hal tekanan yang mirip dengan almarhum bapak saya -- yang  berkacamata pada usia sekira 40-an dan akan mengejek saya jika harus berkacamata lebih awal soalnya punya kebiasaan membaca “gaya bebas”, kecuali jungkir balik, hehe…
Jika Mishbahul Munir (Abah) merasa Pak TDA sebagai ayahnya, saya hanya berharap Pak TDA bisa mengayomi sesiapa selain keluarganya. Terutama Keluarga Besar FBMM. Bahwa apa yang dilakukannya pada saya adalah semacam “berbagi peran” secara adil bagi siapa saja. Semoga Pak TDA dan Bu Aisyah benar-benar ikhlas berbagi malam di Bakmi Jogja. Juga pada Pak Tendy yang jadi sponsornya..
Itu special gift yang sangat berarti bagi saya kala membukanya di rumah. Bukan soal nilai nominal yang saya ukur melainkan daya gunanya. Di sana saya bisa lebih mengenal dunia kata sebagai makna kala segala sesuatu di sekitar saya serba “steril”.
Terima kasih banyak Pak TDA dan Nyonya.
Hanya Allah-lah yang bisa membalas kebaikan Anda berdua dengan cara-Nya. Dengan rasa tawadu dan haru, saya terima tanda mata itu sebagai sesuatu yang sulit dijabarkan bagi bekal saya dalam mengarungi dunia kepenulisan.
Ya, seperti Pak Tendy di Bakmi Jogja tentang jalan hidupnya; “Saya tidak berencana untuk meneliti bahasa, tapi hidup saya membawanya ke sana.”
Semoga kepemimpinan Anda di FBMM makin membuat Anda bijaksana dengan cara yang tawadu, juga menyatukan rasa persaudaraan bagi yang merasa seperti Pak Tendy.
Saya di sini untuk sesuatu. Mengenal Pak Tendy, Anda dan Nyonya, Lia, juga sekian kawan-kawan lain -- berikut lawan. Demi pendewasaan peran yang saya yakini.
Terima kasih.
Saya akan berjuang untuk FBMM dengan cara yang saya bisa.
Salam hangat di malam yang kembali berhujan sepulang dari Bakmi Jogja setelah diantar Pak Tendy lagi dengan tak kurang suatu apa. (Anda tak kehujanan lagi, ‘kan?)

Bandung, 1 April 2005
Yang berbahagia,
Rohyati Sofjan/penulis lepas dan karyawati toko elektro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D