Senin, 21 Juli 2014

Perkenalan dengan Bebek



Perkenalan dengan Bebek


D
ARI kecil saya tak peduli pada makhluk itu. Suka sih baca komik Donal Bebek sampai menonton film kartunnya, namun tak pernah perhatiin jenis-jenis bebek dalam kehidupan nyata. Dulu juga ibu pernah piara bebek entok yang hobi cebar-cebur di balong rumah kami di Bandung sampai terpaksa “lenyap” sebagai hidangan keluarga, dan saya tak terlalu ingat bagaimana detailnya.
Namun perkenalan sesungguhnya dengan bebek terjadi selepas SMU, di rumah teman ada tetangga yang piara bebek jenis angsa dan saya menontonnya karena kagum saja. Tak tahunya bebek itu marah ditonton saya, padahal cuma sekilas lihat saat hendak ke warung. 4 ekor jalan beriringan, induknya dengan dua anak. Pak atau Bu Bebek malah mengejar saya dengan paruh panjang sembari meleter nyaring, lehernya menjulur ke depan dan sayap dikepak-kepak, disoraki keluarga besarnya. Lho, kok malah diusir dan dimarahi? Terpaksa kabur tungang-langgang karena seumur hidup belun pernah diserang bebek dan tak tahu bagaimana rasanya jika moncong itu malah mematuki atau terbang hinggap di kepala saya. Siapa yang tidak berdebar, coba?
Saya justru terpikir untuk miara bebek setelah dewasa, entah napa. Terjadi begitu saja ketika menulis surat untuk seorang kawan, Mazfans; bercita-cita piara ayam, bebek, kelinci, dan kambing di kampung halaman. Hanya ayam dan bebeklah yang bisa dipiara soalnya tak bisa ngarit rumput. Tinggal dikasi makan dedak sampai nasi sisa.
Bebek pertama kami dikasi seorang saudara dari Bandung. Sepasang jantan dan betina, entok putih. Cukup besar untuk kawin. Namun ibu jengkel karena si jantan malah sempat hilang setelah ajak betinanya ngeluyur sambil cebar-cebur di balong orang, Itu cukup jauh dari rumah, tak tahunya si jantan cuma ngumpet di kolong rumah panggung Bi Titi yang dekat balong. Jelang petang berhasil ditangkap dan diamankan dengan pemberontakan dan leteran nyaring; “Tidaaak, aku tak sudi diperlakukan tak adil! Jangan tangkap, jangan tangkap! Jangan perlakukan tubuh dan sayapku seolah aku binatang malang disewenang-wenangkan, argh...!”
Ibu terpaksa menyembelihnya karena sebal, dikurung ribut mulu pengen keluar, dibiarkan keluyuran takut hilang atau kabur sebagai bebek buronan paling dicari. Tinggal si betina yang dibiarkan tetap hidup sebagai piaraan karena dianggap berkelakuan cukup baik, tak doyan keluyuran, kita sebut saja Desi Bebek. Yang terpaksa dipulangkan ke alam baka sebagai santapan, sebut saja Donal Bebek. Yah apa boleh buat bebek pemberontak itu bisa memicu revolusi, mengajak Desi kabur juga, barangkali. Daripada kehilangan seekor atau sekaligus, dalam pemikiran ibu mending Donal dimanfaatkan dagingnya. Tak peduli Desi butuh pejantan unggul untuk kawin. Dasar ibu!
Butuh waktu cukup lama bagi Desi untuk kawin dan beranak. Dititip pada Bi Wati dan Mang Kosim yang juga piara bebek untuk sementara diurus mereka ternyata tak menghasilkan anak. Entah telurnya gagal tetas atau dikorupsi. Jadi Desi terpaksa dipulangkan. Dipiara di kolong rumah panggung kami. Sebelumnya harus adaptasi dulu, tidak begitu saja boleh keluar. Dibiarkan keluyuran di luar setelah terbiasa dengan habitat barunya.
Dan saya bengong ketika suatu pagi Desi malah bersahut-sahutan dengan sepasang bebek entok jantan dan betina punya tetangga sebelah atas. Ada apa? Berantem. Kata ibu cuma kenalan dan ngobrol. Busyet! Saya takut Desi dikeroyok dua bebek tetangga yang berbulu hitam putih. Memang sih sepintas gitu. Keduanya matuk Desi dan Desi membela diri sambi mundur, saya terpaksa turun tangan untuk membela Desi dengan mengusir sang pengacau. Aman. Namun beberapa waktu kemudian kejadian tersebut berulang. Saya bosan, toh Desi bisa kabur atau menjaga diri jika benar-benar “dianiaya”. Polah kaum binatang suka membingungkan.
Tambah bingung ketika pada akhirnya mereka malah jalan bareng. Perkenalan dah berlanjut membentuk geng bebek? Yah biar saja. Setidaknya Desi tak kesepian, syukur-syukur bisa kawin dengan jantan tetangganya. Dipoligami, ihik. Dan madunya pasti cemburu sebab galak pada Desi. Namun tak bisa apa-apa sebab harus mengerami telur dari pejantan tangguhnya yang selingkuh.
Pada akhirnya Desi beranak juga, telurnya banyak. Anak yang tersisa cuma 6 ekor dari selusin butir telur. Ibu yang mengambili telurnya, katanya kalau kebanyakan takut repot atau tak jadi dierami. Pertama diberi tahu ibu bahwa telurnya telah menetas, pada suatu pagi, saya kagum banget. Ih, culun pisan anak-anaknya. Mungil dengan bercak kuning dan hitam, ada juga yang kuning polos semua. Beda banget dengan Kwik-Kwak-Kwek di komik Donal Bebek. Pokoknya menggemaskan bagi saya, baru seumur hidup pada akhirnya punya bebek piaraan yang beranak banyak.
Ibu menaruh mereka di kolong dapur yang rendah dan berlantai bambu yang ada lubangnya. Dari lubang yang biasa dipakai untuk ngasi makan dan minum, saya tergoda untuk memegang seekor anak bebek. Tertangkap. Si anak karuan mewek, dan induknya ngamuk. Saya tak peduli, cuma ingin memegang dan mengelusnya saja. Desi masih ngamuk-ngamuk  sambil mondar-mandir di bawah kolong. Pada akhirnya saya kembalikan anaknya, Desi berhenti ngamuk. Mereka diam. Namun saya tak bisa menghentikan kebiasaan usil, kalau kumat kembali menangkap satu-dua untuk dipegang dan dielus-elus saja. Cuek Desi ngamuk, cuek anak-anak malang itu syok berat diangkat tiba-tiba lalu  badan mereka “digerayangi”. Buang bom yang mengotori tangan dan lantai bambu sebagai hadiah untuk kejailan saya. Argh!
Saya tak menangkap mereka lagi ketika dah besar dan boleh keluyuran di halaman. Punya hobi baru: jadi pengamat. Bisa bermenit-menit menonton polah mereka, dari makan, minum, tidur, sampai cara jalan yang superculun. Tiap saat menghitung jumlah mereka. Soalnya konyol banget, anak-anak selalu saja ada yang terjatuh ke bawah halaman rumah tetangga. Pasti rasanya sakit jika gitu. Dan saya repot mengawasinya karena batas halaman batu itu tak berpagar. Terpaksa turun ke bawah untuk mengambil budak bangor yang sulit ditangkap, mana harus melindungi diri dari amukan Desi. Ngerti gak saya cuma ingin nolong bukan culik! Desi emang selalu gitu pada siapa saja. Memandang curiga. Si anak kabur ke arah lain, saya ikuti, ia berkelit sambil mewek-mewek ditonton saudara-saudaranya yang entah napa seolah jadi backing vocal, dan saya atau siapa saja harus berhati-hati jangan sampai Desi  terbang  menyerang. Pokoknya untuk melakukan aksi penyelamatan itu kita harus siaga juga agar selamat dari amukannya.
Si anak tertangkap. Dengan hati-hati saya taruh di tempat aman dan cukup jauh dari Desi.  Bocah itu segera lari menghampiri induknya yang masih meleter nyaring. “Sompret!” Namun tidak lama, setelah dirasa aman mereka akan diam dan kembali melakukan aktivitas harian. Begitu tenang. Namun kejadian tersebut terus berulang. Jatuh. Aksi penyelamatan. Koor leter super bebek mania. Begitu terus, sampai mereka cukup besar untuk tak jatuh ke bawah lagi, atau setidaknya bisa memastikan tempat mana yang aman.
Menikmati polah lucu para bebek adalah hal menyenangkan. Kalau tidur siang mereka akan berbaring di sekitar Desi sambil merapatkan sayap dan meringkuk. Begitu damai dan nyaman. Bahkan ada saja yang naik ke atas punggung sampai leher Desi. Tidur di sana dengam mata mengantuk dan kepala terangguk-angguk yang sontak bisa tegak waspada begitu terdengar suara mencurigakan. Seperti langkah orang lewat. Mereka akan kembali melanjutkan acara tidurnya kalau dirasa dah aman. Begitu seterusnya. Dan saya betul-betul menikmati polah mereka, sangat berbeda dengan ayam yang lincah dan sulit ditangkap. Gaya jalan bebek yang megal-megol lenggang-lenggok dan mudah ditangkap itu serasa hiburan. Betapa Tuhan penuh selera humor. Menciptakan makhluk lucu yang proporsional. Ya, lihat saja anatomi tubuhnya, seimbang dan tak sia-sia. Pendek montok (mungkin karena itu disebut entok?), dengan bagian belakang yang kalau jalan lenggang-lenggok. Jadi, entok itu = pendek montok atau pendek montok lenggang-lenggok? Hehe....
Sebelum beranak, Desi itu sulit makan dan pemilih banget. Cuma doyan kangkung bukan dedak apalagi nasi. Padahal tak tiap hari kami makan kangkung. Itu masalah kebiasaan, barangkali di tempat asalnya ia tak kenal dedak karena mahal dan daerah perkotaan. Jadilah Desi bebek kota yang tak kampungan. Bikin bingung karena meskipun sudah usaha dibiasakan dengan dedak dari hasil menggiling padi di pabrik huller campur kangkung dan sayuran hujau lainnya, Desi cuma asal cicip. Ia akan icip-icip dikit lalu menggelengkan kepalanya kuat-kuat seolah ogah pada dedak itu. Dan cuma akan menyantap kangkung atau sayuran hijau lainnya saja jika dicampur. Desi pun kurus dengan sukses. Bebek veggie yang tak montok dibanding madunya. Itu mencemaskan kami. Namun pada akhirnya Desi terpaksa (atau dipaksa?) mengubah pola makannya setelah beranak banyak. Barangkali karena kelaparan. Itu pun sedikit saja icip-icip pada dedak. Masih disertai gelengan kepalanya kuat-kuat. Sampai anak-anaknya yang besar sebagai barudak kampung pun ikut-ikutan gaya Desi. Tidak terlalu pemilih memang dengan alasan lapar. Malah menjelang gede mereka rakus pisan. Terpaksa menambah porsi jatah makan mereka. Ibu negur karena saya keseringan kasi jatahnya banyak-banyak, katanya harus menghemat dedak karena tak setiap saat kami menggiling padi, dan kadang beli dedak di pabrik kampung. Alasan saya biar cepat gede semua. Dan beranak banyak. Belakangan setelah dewasa, hanya 5 ekor yang tersisa. 3 jantan dan 2 betina. Yang satunya lagi (entah jantan atau betina)? Saya lupa ke mana. Yang dua ekor pada akhirnya dibeli tetangga, sepasang jantan dan betina ABG. Cuma 10 ribu per ekor.
Kata ibu berat ngasi makan karena mereka pada rakus semua. Bagaimana tidak rakus, saya kasi makan 3 kali sehari. Pagi, siang, dan jelang sore. Ya, agar malamnya mereka tidur kenyang sebagai bebek yang diperlakukan adil dan kelak bisa melapor pada Tuhan, bahwa mereka bahagia dipiara saya. Amin.
Kegalakan Desi tetap berlanjut sepanjang hayatnya, kalau lagi meleter ngomel-ngomel pada orang lewat, anak-anaknya akan ikut menyahuti. Namun yang menyedihkan, Desi sering mengejar anak-anaknya tanpa alasan yang saya pahami. Bocah bangor yang dikejar induknya langsung lari terbirit-birit sekencang-kencangnya sebab kalau tertangkap akan habis dipatuki nyokapnya yang kumat. Saya kasihan melihatnya, pernah coba memisahkan mereka namun lebih sering tak berdaya melihatnya karena berada di luar jangkauan saya. Apakah Desi berlaku sebagaimana mestinya sebagai ibu yang sedang memarahi (baca: mematuki) anaknya yang badung dan tak mau menurut atau kurang ajar dalam pandangan kaum bebek? Wallahu a’lam. Apakah yang dilakukan Desi lumrah adanya dalam kehidupan kaum bebek sebagaimana ibu-ibu kaum manusia yang memarahi anaknya dengan cara menghajar atau memukul atau mencubit atau menjewer? Bagi Desi, ia hanya punya paruh maka digunakannya, kadang kakinya mendarat telak di tubuh sang bocah malang. Saya bingung karena baru kali ini melihat ibu bebek yang super galak. Baik dan melindungi pada anak-anaknya, namun di lain waktu bisa ngamuk-ngamuk sambil mengejar mereka. Dan bocah sial adalah yang paling berhasil menarik perhatiannya atau telah membuatnya sewot.
Ketika anak-anaknya besar dan melebihi ukuran tubuh Desi, kegalakan Desi tak berkurang dan anak-anaknya tetap patuh untuk takut lantas lari terbirit-birit jika dikejar induknya yang sedang ngamuk. Desi adalah induk yang super menakutkan bagi anak-anaknya, namun tidak bagi madunya. Desi tetap takut pada si betina bebek tetangga yang cemburuan dan suka mengejar Desi untuk “dihajar” dengan paruh dan kakinya. Pejantan hanya melihat tak berdaya. Cuma bisa melihat sambil meleter-leter, barangkali coba melerai namun tentu saja tak diindahkan bininya yang cembokatan.
Desi, ketika sedang dihajar madunya malang sekali, seolah pasrah, posisi tubuh ditindih, sayap terkulai, dan kepala dihajari aneka jab mematikan. Namun dalam kehidupan kaum bebek, Desi tak sampai terbunuh karenanya sebab bebek dewasa, beda dengan bebek kanak yang rentan terluka lantas mati karena hajaran seniorennya.


4 komentar:

  1. itulah keras nya hidup yah mbak :)
    gambaran yang bagus

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, Sopyan. Maaf baru jawab sekarang setelah 3 tahun lebih vakum ngeblog. Makasih dah apresiasi. :)

      Hapus
  2. Cerita kehidupan bebek yang super lengkap dan pencitraan-pencitraannya dalam kehidupan manusia nih. Yah, seperti bebek yang bisa 'dihilangkan' ke perut, manusia pun seharusnya bisa menjadi bermanfaat bagi orang lainnya ya, Mbak.
    Oh iya, itu apa benar bebek bisa mengerami telurnya? Aku baru tahu deh. Soalnya bebek kan suka bertelur di mana-mana, dan yang mengerami telurnya itu biasanya ayam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang bertelur ke mana-mana biasanya meri alias bebek warna cokelat yang biasa digiring peternak ke sawah yang baru dituai padinya alias panen agar makan sisa ceceran padi.
      Kalau jenis entog biasa rumahan dan bertelur pada tempatnya seperti ayam. :)

      Hapus

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D