Perkenalan dengan Bebek
D
|
ARI kecil saya tak peduli pada makhluk itu. Suka sih baca komik Donal Bebek
sampai menonton film kartunnya, namun tak pernah perhatiin jenis-jenis bebek
dalam kehidupan nyata. Dulu juga ibu pernah piara bebek entok yang hobi cebar-cebur
di balong rumah kami di Bandung sampai terpaksa “lenyap” sebagai hidangan
keluarga, dan saya tak terlalu ingat bagaimana detailnya.
Namun perkenalan
sesungguhnya dengan bebek terjadi selepas SMU, di rumah teman ada tetangga yang
piara bebek jenis angsa dan saya menontonnya karena kagum saja. Tak tahunya
bebek itu marah ditonton saya, padahal cuma sekilas lihat saat hendak ke
warung. 4 ekor jalan beriringan, induknya dengan dua anak. Pak atau Bu Bebek
malah mengejar saya dengan paruh panjang sembari meleter nyaring, lehernya
menjulur ke depan dan sayap dikepak-kepak, disoraki keluarga besarnya. Lho, kok
malah diusir dan dimarahi? Terpaksa kabur tungang-langgang karena seumur hidup
belun pernah diserang bebek dan tak tahu bagaimana rasanya jika moncong itu
malah mematuki atau terbang hinggap di kepala saya. Siapa yang tidak berdebar,
coba?
Saya justru terpikir
untuk miara bebek setelah dewasa, entah napa. Terjadi begitu saja ketika
menulis surat untuk seorang kawan, Mazfans; bercita-cita piara ayam, bebek,
kelinci, dan kambing di kampung halaman. Hanya ayam dan bebeklah yang bisa
dipiara soalnya tak bisa ngarit rumput. Tinggal dikasi makan dedak sampai nasi
sisa.
Bebek pertama kami
dikasi seorang saudara dari Bandung. Sepasang jantan dan betina, entok putih.
Cukup besar untuk kawin. Namun ibu jengkel karena si jantan malah sempat hilang
setelah ajak betinanya ngeluyur sambil cebar-cebur di balong orang, Itu cukup
jauh dari rumah, tak tahunya si jantan cuma ngumpet di kolong rumah panggung Bi
Titi yang dekat balong. Jelang petang berhasil ditangkap dan diamankan dengan
pemberontakan dan leteran nyaring; “Tidaaak, aku tak sudi diperlakukan tak
adil! Jangan tangkap, jangan tangkap! Jangan perlakukan tubuh dan sayapku
seolah aku binatang malang disewenang-wenangkan, argh...!”
Ibu terpaksa
menyembelihnya karena sebal, dikurung ribut mulu pengen keluar, dibiarkan
keluyuran takut hilang atau kabur sebagai bebek buronan paling dicari. Tinggal
si betina yang dibiarkan tetap hidup sebagai piaraan karena dianggap berkelakuan
cukup baik, tak doyan keluyuran, kita sebut saja Desi Bebek. Yang terpaksa
dipulangkan ke alam baka sebagai santapan, sebut saja Donal Bebek. Yah apa
boleh buat bebek pemberontak itu bisa memicu revolusi, mengajak Desi kabur
juga, barangkali. Daripada kehilangan seekor atau sekaligus, dalam pemikiran
ibu mending Donal dimanfaatkan dagingnya. Tak peduli Desi butuh pejantan unggul
untuk kawin. Dasar ibu!
Butuh waktu cukup
lama bagi Desi untuk kawin dan beranak. Dititip pada Bi Wati dan Mang Kosim yang
juga piara bebek untuk sementara diurus mereka ternyata tak menghasilkan anak.
Entah telurnya gagal tetas atau dikorupsi. Jadi Desi terpaksa dipulangkan.
Dipiara di kolong rumah panggung kami. Sebelumnya harus adaptasi dulu, tidak
begitu saja boleh keluar. Dibiarkan keluyuran di luar setelah terbiasa dengan
habitat barunya.
Dan saya bengong
ketika suatu pagi Desi malah bersahut-sahutan dengan sepasang bebek entok
jantan dan betina punya tetangga sebelah atas. Ada apa? Berantem. Kata ibu cuma
kenalan dan ngobrol. Busyet! Saya takut Desi dikeroyok dua bebek tetangga yang
berbulu hitam putih. Memang sih sepintas gitu. Keduanya matuk Desi dan Desi membela
diri sambi mundur, saya terpaksa turun tangan untuk membela Desi dengan
mengusir sang pengacau. Aman. Namun beberapa waktu kemudian kejadian tersebut
berulang. Saya bosan, toh Desi bisa kabur atau menjaga diri jika benar-benar
“dianiaya”. Polah kaum binatang suka membingungkan.
Tambah bingung
ketika pada akhirnya mereka malah jalan bareng. Perkenalan dah berlanjut
membentuk geng bebek? Yah biar saja. Setidaknya Desi tak kesepian,
syukur-syukur bisa kawin dengan jantan tetangganya. Dipoligami, ihik. Dan
madunya pasti cemburu sebab galak pada Desi. Namun tak bisa apa-apa sebab harus
mengerami telur dari pejantan tangguhnya yang selingkuh.
Pada akhirnya Desi
beranak juga, telurnya banyak. Anak yang tersisa cuma 6 ekor dari selusin butir
telur. Ibu yang mengambili telurnya, katanya kalau kebanyakan takut repot atau
tak jadi dierami. Pertama diberi tahu ibu bahwa telurnya telah menetas, pada
suatu pagi, saya kagum banget. Ih, culun pisan anak-anaknya. Mungil dengan
bercak kuning dan hitam, ada juga yang kuning polos semua. Beda banget dengan
Kwik-Kwak-Kwek di komik Donal Bebek. Pokoknya menggemaskan bagi saya, baru
seumur hidup pada akhirnya punya bebek piaraan yang beranak banyak.
Ibu menaruh mereka
di kolong dapur yang rendah dan berlantai bambu yang ada lubangnya. Dari lubang
yang biasa dipakai untuk ngasi makan dan minum, saya tergoda untuk memegang
seekor anak bebek. Tertangkap. Si anak karuan mewek, dan induknya ngamuk. Saya
tak peduli, cuma ingin memegang dan mengelusnya saja. Desi masih ngamuk-ngamuk sambil mondar-mandir di bawah kolong. Pada
akhirnya saya kembalikan anaknya, Desi berhenti ngamuk. Mereka diam. Namun saya
tak bisa menghentikan kebiasaan usil, kalau kumat kembali menangkap satu-dua
untuk dipegang dan dielus-elus saja. Cuek Desi ngamuk, cuek anak-anak malang
itu syok berat diangkat tiba-tiba lalu
badan mereka “digerayangi”. Buang bom yang mengotori tangan dan lantai
bambu sebagai hadiah untuk kejailan saya. Argh!
Saya tak menangkap
mereka lagi ketika dah besar dan boleh keluyuran di halaman. Punya hobi baru:
jadi pengamat. Bisa bermenit-menit menonton polah mereka, dari makan, minum,
tidur, sampai cara jalan yang superculun. Tiap saat menghitung jumlah mereka.
Soalnya konyol banget, anak-anak selalu saja ada yang terjatuh ke bawah halaman
rumah tetangga. Pasti rasanya sakit jika gitu. Dan saya repot mengawasinya
karena batas halaman batu itu tak berpagar. Terpaksa turun ke bawah untuk
mengambil budak bangor yang sulit ditangkap, mana harus melindungi diri
dari amukan Desi. Ngerti gak saya cuma ingin nolong bukan culik! Desi emang
selalu gitu pada siapa saja. Memandang curiga. Si anak kabur ke arah lain, saya
ikuti, ia berkelit sambil mewek-mewek ditonton saudara-saudaranya yang entah
napa seolah jadi backing vocal, dan saya atau siapa saja harus
berhati-hati jangan sampai Desi
terbang menyerang. Pokoknya untuk
melakukan aksi penyelamatan itu kita harus siaga juga agar selamat dari
amukannya.
Si anak tertangkap.
Dengan hati-hati saya taruh di tempat aman dan cukup jauh dari Desi. Bocah itu segera lari menghampiri induknya
yang masih meleter nyaring. “Sompret!” Namun tidak lama, setelah dirasa aman
mereka akan diam dan kembali melakukan aktivitas harian. Begitu tenang. Namun
kejadian tersebut terus berulang. Jatuh. Aksi penyelamatan. Koor leter super
bebek mania. Begitu terus, sampai mereka cukup besar untuk tak jatuh ke bawah
lagi, atau setidaknya bisa memastikan tempat mana yang aman.
Menikmati polah lucu
para bebek adalah hal menyenangkan. Kalau tidur siang mereka akan berbaring di
sekitar Desi sambil merapatkan sayap dan meringkuk. Begitu damai dan nyaman.
Bahkan ada saja yang naik ke atas punggung sampai leher Desi. Tidur di sana
dengam mata mengantuk dan kepala terangguk-angguk yang sontak bisa tegak
waspada begitu terdengar suara mencurigakan. Seperti langkah orang lewat.
Mereka akan kembali melanjutkan acara tidurnya kalau dirasa dah aman. Begitu
seterusnya. Dan saya betul-betul menikmati polah mereka, sangat berbeda dengan
ayam yang lincah dan sulit ditangkap. Gaya jalan bebek yang megal-megol
lenggang-lenggok dan mudah ditangkap itu serasa hiburan. Betapa Tuhan penuh
selera humor. Menciptakan makhluk lucu yang proporsional. Ya, lihat saja
anatomi tubuhnya, seimbang dan tak sia-sia. Pendek montok (mungkin karena itu
disebut entok?), dengan bagian belakang yang kalau jalan lenggang-lenggok.
Jadi, entok itu = pendek montok atau pendek montok lenggang-lenggok? Hehe....
Sebelum beranak,
Desi itu sulit makan dan pemilih banget. Cuma doyan kangkung bukan dedak
apalagi nasi. Padahal tak tiap hari kami makan kangkung. Itu masalah kebiasaan,
barangkali di tempat asalnya ia tak kenal dedak karena mahal dan daerah
perkotaan. Jadilah Desi bebek kota yang tak kampungan. Bikin bingung karena
meskipun sudah usaha dibiasakan dengan dedak dari hasil menggiling padi di
pabrik huller campur kangkung dan sayuran hujau lainnya, Desi cuma asal
cicip. Ia akan icip-icip dikit lalu menggelengkan kepalanya kuat-kuat seolah
ogah pada dedak itu. Dan cuma akan menyantap kangkung atau sayuran hijau
lainnya saja jika dicampur. Desi pun kurus dengan sukses. Bebek veggie
yang tak montok dibanding madunya. Itu mencemaskan kami. Namun pada akhirnya
Desi terpaksa (atau dipaksa?) mengubah pola makannya setelah beranak banyak.
Barangkali karena kelaparan. Itu pun sedikit saja icip-icip pada dedak. Masih
disertai gelengan kepalanya kuat-kuat. Sampai anak-anaknya yang besar sebagai
barudak kampung pun ikut-ikutan gaya Desi. Tidak terlalu pemilih memang dengan
alasan lapar. Malah menjelang gede mereka rakus pisan. Terpaksa menambah porsi
jatah makan mereka. Ibu negur karena saya keseringan kasi jatahnya banyak-banyak,
katanya harus menghemat dedak karena tak setiap saat kami menggiling padi, dan
kadang beli dedak di pabrik kampung. Alasan saya biar cepat gede semua. Dan
beranak banyak. Belakangan setelah dewasa, hanya 5 ekor yang tersisa. 3 jantan
dan 2 betina. Yang satunya lagi (entah jantan atau betina)? Saya lupa ke mana.
Yang dua ekor pada akhirnya dibeli tetangga, sepasang jantan dan betina ABG.
Cuma 10 ribu per ekor.
Kata ibu berat ngasi
makan karena mereka pada rakus semua. Bagaimana tidak rakus, saya kasi makan 3
kali sehari. Pagi, siang, dan jelang sore. Ya, agar malamnya mereka tidur
kenyang sebagai bebek yang diperlakukan adil dan kelak bisa melapor pada Tuhan,
bahwa mereka bahagia dipiara saya. Amin.
Kegalakan Desi tetap
berlanjut sepanjang hayatnya, kalau lagi meleter ngomel-ngomel pada orang lewat,
anak-anaknya akan ikut menyahuti. Namun yang menyedihkan, Desi sering mengejar
anak-anaknya tanpa alasan yang saya pahami. Bocah bangor yang dikejar induknya
langsung lari terbirit-birit sekencang-kencangnya sebab kalau tertangkap akan
habis dipatuki nyokapnya yang kumat. Saya kasihan melihatnya, pernah coba
memisahkan mereka namun lebih sering tak berdaya melihatnya karena berada di
luar jangkauan saya. Apakah Desi berlaku sebagaimana mestinya sebagai ibu yang
sedang memarahi (baca: mematuki) anaknya yang badung dan tak mau menurut atau
kurang ajar dalam pandangan kaum bebek? Wallahu a’lam. Apakah yang
dilakukan Desi lumrah adanya dalam kehidupan kaum bebek sebagaimana ibu-ibu
kaum manusia yang memarahi anaknya dengan cara menghajar atau memukul atau
mencubit atau menjewer? Bagi Desi, ia hanya punya paruh maka digunakannya,
kadang kakinya mendarat telak di tubuh sang bocah malang. Saya bingung karena
baru kali ini melihat ibu bebek yang super galak. Baik dan melindungi pada
anak-anaknya, namun di lain waktu bisa ngamuk-ngamuk sambil mengejar mereka.
Dan bocah sial adalah yang paling berhasil menarik perhatiannya atau telah
membuatnya sewot.
Ketika anak-anaknya
besar dan melebihi ukuran tubuh Desi, kegalakan Desi tak berkurang dan anak-anaknya
tetap patuh untuk takut lantas lari terbirit-birit jika dikejar induknya yang
sedang ngamuk. Desi adalah induk yang super menakutkan bagi anak-anaknya, namun
tidak bagi madunya. Desi tetap takut pada si betina bebek tetangga yang
cemburuan dan suka mengejar Desi untuk “dihajar” dengan paruh dan kakinya.
Pejantan hanya melihat tak berdaya. Cuma bisa melihat sambil meleter-leter,
barangkali coba melerai namun tentu saja tak diindahkan bininya yang
cembokatan.
Desi, ketika sedang
dihajar madunya malang sekali, seolah pasrah, posisi tubuh ditindih, sayap
terkulai, dan kepala dihajari aneka jab mematikan. Namun dalam kehidupan
kaum bebek, Desi tak sampai terbunuh karenanya sebab bebek dewasa, beda dengan
bebek kanak yang rentan terluka lantas mati karena hajaran seniorennya.
itulah keras nya hidup yah mbak :)
BalasHapusgambaran yang bagus
Ya, Sopyan. Maaf baru jawab sekarang setelah 3 tahun lebih vakum ngeblog. Makasih dah apresiasi. :)
HapusCerita kehidupan bebek yang super lengkap dan pencitraan-pencitraannya dalam kehidupan manusia nih. Yah, seperti bebek yang bisa 'dihilangkan' ke perut, manusia pun seharusnya bisa menjadi bermanfaat bagi orang lainnya ya, Mbak.
BalasHapusOh iya, itu apa benar bebek bisa mengerami telurnya? Aku baru tahu deh. Soalnya bebek kan suka bertelur di mana-mana, dan yang mengerami telurnya itu biasanya ayam.
Yang bertelur ke mana-mana biasanya meri alias bebek warna cokelat yang biasa digiring peternak ke sawah yang baru dituai padinya alias panen agar makan sisa ceceran padi.
HapusKalau jenis entog biasa rumahan dan bertelur pada tempatnya seperti ayam. :)