Dorama dalam bahasa Jepang artinya
drama. Pelafalan kata dengan dua huruf konsonan dari bahasa lain seperti
[d][r]ama akan ditaruh vokal (o) di sela konsonan tersebut sehingga menjadi dorama.
Mungkin sebelumnya ada yang tidak tahu
mengenai kebiasaan pelafalan bagi orang Jepang, semisal mengucap drama jadi
dorama, lantas sempat tak ngeh dengan
istilah dorama tersebut.
Sekarang sudah tahu karena paparan
singkat saya, ‘kan?
Kalau belum, yah, mungkin Anda harus
cari referensi kebahasaan lain, soalnya saya cuma hendak membahas drama atau
film Jepang, doang.
Dari kecil, minat saya pada film Jepang
sebatas yang bergenre laga, semacam film ninja atau samurai. Ada juga tambahan
tak penting lainnya, film pahlawan konyol macam “Gaban” -- karena cuma tampilan
kostum dan perangkat tambahan lain yang terlihat hebat bagi anak kecil padahal
untuk zaman sekarang terasa kacangan.
Saya suka teknik sinematografi film
Jepang tentang ninja atau samurai, itu terasa alami dan tak berlebihan
pengadegan laganya. Film kungfu China pada tahun ’90-an pakai teknik artifisial
yang terasa lebay saking super
saktinya. Efek khusus boleh saja ditambahkan, asal jangan terlihat seperti tak
masuk akal. Dan mata saya kewalahan mengikuti adegan laga supercepat antara
lakon pahlawan dan penjahat.
Sebagai contoh, baku hantam tangan dan
kaki atau adu senjata macam pedang, membuat saya bertanya apakah seni (silat)
seakan tempelan semata dibanding kecanggihan teknologi? Dan saya merasa sedang
dibodohi secara sukarela atau paksa.
Ada yang berbeda kala menonton film
ninja atau samurai, teknik perkelahiannya memang cepat namun itu terasa nyata.
Ninjanya menguasai ilmu ninjutsu, sih. Senjata utama mereka selain bom
asap untuk menghilangkan jejak diri, pedang shinobigatana
atau senjata bintang segiempat shurisen
benar-benar keren. Kostum ninja dalam balutan warna serba hitam atau serba
putih berkesaan misterius.
Sedang film samurai, pengadegan laganya
memakai pedang panjang dari logam yang disebut katana atau pedang kayu panjang, memukau. Satu gerakan cepat dapat
langsung melibas lawan! Kostum mereka yang memakai yukata atau kimono,
pakaian tradisional Jepang yang berlapis-lapis, membuat kita seakan terbawa ke
abad silam.
Saya tak pernah bisa melupakan film
favorit yang ditonton kala SMP, tentang dara samurai buta yang cantik namun
sebatang kara dalam “Watchout Crimson Bat”, 1 dan 2. Meski buta, gerakan
pedangnya memukau, hasil berlatih keras pada seorang samurai yang mengasuhnya.
Dan menonton dorama bagi saya adalah
pengalaman baru. Kebanyakan, sih,
mengenai cinta di kalangan anak muda. Itu juga dapat dari hasil sedot dari
laptop Ai Ghina, anak kuliahan yang sukarela berbagi koleksi filmnya.
Zaman awal SMU doi tergila-gila pada film Thailand dan anime, pertengahannya drakor alias drama Korea, lantas saat kuliah
kini koleksi filmnya merambah pada dorama. Dan bagi movielover macam saya, apa pun itu oke saja. yang penting dapat
tontonan gratis tanpa harus unduh sendiri, soalnya modem saya tak bisa
menangkap sinyal karena lokasi rumah.
Menonton dorama bagi saya serasa
menikmati jejak manga. Sampai saya
tak tahu, apakah teknik manga yang
membentuk dorama sekarang? Atau dorama memang penggambaran dari gaya keseharian
secara natural ala orang Jepang? Jadi, teknik sinematografi mereka yang
berkesan lamban dan close up atau wide out, merupakan filosofi orang
Jepang sendiri dalam menyikapi persona dan lingkungannya?
“Ookami Shouzo”, “Orange”, “Heroine
Shikkaku”, “LDK”, “Another”, “Death Note”, dan beberapa judul lainnya yang saya
lupa; tak bisa saya lupakan teknik pengadegannya.
Apa pun itu, saya bisa merasakan teknik
sinematografi mereka mengungkapkan kehalusan perasaan. Sungguh-sungguh dalam
membuat film dan pengadegan, peran pemain bukan sekadar tempelan melainkan
untuk menghidupkan film dengan karakter yang dibawakan.
Tidak heran, saya selalu merasa baper kala menonton film bergenre drama
atau dorama seri. Shoot mereka
berbeda dengan drakor. Berbicara dengan gaya lambat atau sedang mendengarkan
lawan bicara secara sabar dan perhatian namun responsif dalam menanggapi,
membuat saya terempas pada dunia nyata yang didiami.
Orang sini di kampung saya, terutama kaum
perempuan, ternyata kerap bicara dengan nada cepat dan kegiatan sabar
mendengarkan dengan terkonsentrasi sekaligus responsif positif seakan barang
langka, yang ada hanya upaya untuk segera menyela atau kualitas percakapan tak
berujung pangkal untuk mencapai makna.
Kita bisa berpikir bahwa shoot dorama dengan tampilan close up atau wide
out yang menyasar pada persona pelakon atau latar pengadegan, merupakan upaya
sadar agar penonton benar-benar merasa terlibat dalam peran tersebut sehingga
terbawa perasaan alias baper untuk
bahasa gaulnya sekarang.
Silakan menonton untuk membandingkan. ***
~ Rohyati Sofjan adalah pencinta film dari
zaman TV hitam putih dengan serial “Hunter” dan “Friday the 13 Th.”, TV swasta
dengan serial “Mac Gyver”, sampai aneka film unduhan hasil sedot sana-sini dari
komputer siapa saja yang mau jadi bandar film gratisan pada zaman sekarang
#Dorama #Samurai
Saya juga pecinta film mba, cuma film kartun atau action, hehe
BalasHapusSaya juga suka kartun dan eksen namun butuh dorama atau drama untuk memuaskan hasrat baper, haha.
HapusSaya setuju kalau sinematrogafi dorama jepang itu lebih kelihatan alami, apalagi kalau udah menyangkut pemandangan alamnya.
BalasHapusKayaknya sineas sana punya sense yang tak dimiliki bangsa lain. Entah apa. Ada kaitannya dengan akr budaya mereka 'kali jadi bisa ambil pemandangan alam yang berasa beda. Salam kenal, Mas. Makasih dah berkunjung.
HapusKalau drama jepang aku suka yang sedih-sedih. Kayak "i meet yesterday you". Itu serius bikin baper banget habis nonton
BalasHapusWah, belum nonton itu. Jadi penasaran, haha. Iya, ternyata ada banyak dorama yang baperin kita.
Hapusyes! membahas tentang Jepang, salah satu negara kesukaanku :)
BalasHapusKalo Dorama Jepang aku sendiri kurang suka, aku lebih suka aneme kartunya.
Ga tau kenapa orang jepang kalo akting kayak kurang menjiwai, jadi berasa ada yang kurang.
Tapi kalo boleh memilih antara film jepang dan Thailand aku lebih suka Thailand, hehe ribet ya :v
Kalo saya sih biasanya nonton dorama itu jadinya bukan baper, tapi laper. Maklum, di dorama yang saya tonton itu biasanya ada banyak makanan-makanan Jepang yang bikin ngiler. Sebut aja Kekkon Dekinai Otoko atau Shinzanmono. Hehehe, ketauan nih saya seleranya masih selera jadul. Makin sini makin sibuk soalnya sampai gak ada waktu buat nonton.
BalasHapusWadawwww Mac Gyver, ketauan tuanya kak. heuheu..
BalasHapusDorama ya namanya, drama jepang emang sedikit berbeda dengan kdrama, kalo jepang gak cuma drama tapi kadang bikin bingung. Eh belum pernah nonton dorama sih, kalo anime sering hahah. Pengen coba nonton tapi belum tertarik sama genrenya, jadi lebih sering nonton serial tv amerika.
baru tau, ternyata ada lingkungan yang lebih seneng ngomong cepet'' ketimbang dengerin aja gitu ya? padahal lebih enak denger deh. kayaknya sih.
BalasHapussampai sekarang belom pernah nonton dorama ini. paling adek yang suka nonton ginian. akibat kesukaannya nonton anime, kemudian berlanjut dengan dorama. gue cukup dengan drakor aja. iya, badan gede gini malah doyan drakor. yah, selama jalan ceritanya seru dan tersedia di laptop, ya tonton aja. hahaha
tapi kayaknya sesekali harus nyoba nonton dorama yang bergenre action/laga. soalnya cuman pernah nnton samurai x sama yang tentang ninja itu, film apa ya namanya? pokoknya banyak adegan berdarah-darahnya gitu
dan kenapa ya, di indonesia enggak bikin film kayak gitu. yg 12/30an episode?
ampuunnn dah -, makroh suka drama ugaaak
BalasHapusjangan sering sering yaa makrohhh nanti baperan kebawa muluk wkwkwkw
mangat lagi ya makroh ngeblognya biar bisa bewek lagiiii :)