Ia mencintai warna merah!
Dan
kini warna itu membalutnya dengan cinta pula. Tubuh yang bersimbah darah.
Merah. Merembesi tanah tempat ia terkapar tanpa daya di antara rimbun belukar
tepi jalan entah. Ia meringkuk dengan punggung melingkar ke samping kanan dan
kedua tangan memegangi perutnya yang robek dihunjam senjata tajam; darah
mengucur deras tanpa bisa ia hentikan. Matanya yang panas dan menyisakan
tangis, terpejam. Erangnya tak lagi keluar. Meski nyeri itu amat memedihkan,
ditambah rajaman deras hujan di malam gelap tanpa panduan jam. Dengan sesekali
kilat dan guntur
menggelegar.
DALAM ketidakberdayaan di malam asing dan teramat dingin, ia
mencoba menghimpun segenap sisa akan hitungan jarak menuju maut yang samar.
Pukul berapa sekarang? Asin. Darah dari hidung dan kepalanya melewati garis
bibir, dihantarkan air hujan yang membekukan. Sisa darah dari dalam mulutnya
telah ia muntahkan; anyir. Ia menggigil dengan mata separuh terbuka ke samping.
Gelap! Nanar! Ia pening dan demam dan ketakutan.
Di mana sekarang?
Ia tidak tahu. Jauh dari permukiman apalagi kerlip cahaya listrik. Sekeliling
hanya belukar, di atasnya ada jalan beraspal, di bawahnya jurang kecil menuju
sungai yang siap melahap tubuhnya jika sedikit saja salah gerak dan
tergelincir. Tanah di sekelilingnya basah dan licin. Warna hitam campur merah
darah dari tubuhnya yang kian lemah.
“Allah...,”
hanya itu yang terucap dengan lirih dan perih.
Jilbabnya yang
merah basah oleh hujan, namun tetap erat melingkari kepalanya yang berdarah.
Dan blusnya, blus warna merah yang dibelikan ibunya dengan uang gaji yang ia
titipkan karena tak sempat belanja baju lagi sejak dihantam rutinitas pekerjaan
harian yang menyesakkan; blus itu cantik dengan kerah cina, menutupi
pinggulnya. Sedang bagian dadanya berlapis kain abu-abu berbentuk oval.
Seluruhnya dominan merah dengan bordiran bunga hitam di tengah, dan di bagian
bawah ada semacam belahan vertikal berlapis kain abu-abu yang senada dengan
bagian dada, dan bordiran cantik bunga merah di atas kain abu-abu pula.
Blus itu cantik.
Warna merah yang kini pahit. Ada
robek memanjang di tengah, di bagian perutnya. Percuma darah itu coba dibendung
dengan kedua tangannya; tetap saja deras mengucur. Barangkali ia akan segera mati karena kehilangan banyak darah.
Dan di sekitar tak ada orang selain deru kendaraaan yang sesekali terdengar
membelah malam. Kepada siapakah ia meminta pertolongan?
“Allah....”
Lirih ia asmakan Zat Agung dengan mata yang kini pejam dan tangis berlinang.
Adakah harap agar ia selamat karena Sang Maha Iradat? Ia tidak tahu apakah
layak berharap.
Malam yang
dingin. O, betapa ganjil. Ia tersesat di tempat yang sama sekali tak pernah
diingin. Dalam deras hujan. Kilat yang sesekali membelah langit, lalu gelegar guntur. Ia kian kuyup
dalam gigil. Celana panjangnya yang hitam tak mampu menahan rembesan air.
Segalanya basah dan mengalir. Begitu pun sepatu pantofel hitam dan kaus kaki Bubblegummers
merah jambu. Tubuhnya dirasa memar-memar dan membiru.
“Allah....”
Kali ini ia membuka matanya dengan menyipit, menahan tempias hujan dan sekian
rajam sakit. Mencoba melihat sekitar dalam jarak sejauh pandang yang ia bisa.
Mereka adakah malaikat maut dengan jubah hitam berkelebat, mengintai diam-diam
atau terang-terangan. Namun gelap semata. Cuma bayang belukar dan pohon-pohon
tua di atasnya. Ia sendirian.
Sendirian. Ya,
sendirian. Beginilah ia. Si periang yang hangat, ramah, supel, terbuka, tak sok
jaim, selalu welcome pada siapa saja meski sesekali bisa kaku,
galak, tegas, dan emosional; kini terdampar di jalanan tanpa daya. Tanpa kawan
apalagi keluarga. Hanya bayang-bayang Tuhan yang kian samar, juga aroma
kematian dan udara lembab; timbul tenggelam.
Pukul berapa
sekarang? Pasti sudah lewat tengah malam. Entah sudah berapa jam ia terkapar.
Arlojinya telah dirampas. Begitu pun tas Sophie Martin warna cokelat
yang isinya cuma buku-buku, alat tulis, dompet tisu berbahan batik motif
cokelat dari Hesti kawan sekomunitas penulis, serenceng kunci, dan pernik lain
khas perempuan. Tak ada barang berharga di tasnya.
Ia tak punya
ponsel, benda elektronik, atau semacamnya. Dompetnya hanya berisi uang tiga
puluh ribu rupiah lebih, ditambah KTP dan beberapa kartu nama. Dompet Bracini
warna cokelat itu merupakan hadiah milad dari seorang Nana, kawan SMP-nya; kini
hilang dirampas, sebagaimana terampasnya sebagian kenangan berupa foto
ayah-ibunya berikut beberapa kawan di dalamnya.
Apa yang terjadi
hingga ia bisa seperti ini? Takdirkah yang menggerakkan musibah itu? Atau semua
semata salahnya sendiri?
“Astagfirullah,”
ia beristigfar mengingat semua muasal yang melahirkan sesal.
Tadi ia dari GSPI,
Griya Seni Popo Iskandar, di daerah Ledeng dekat kampus UPI. Menghadiri acara launching
antologi puisi. Datang sendiri. Berkumpul dengan beberapa kawan dekatnya dengan
riang tanpa firasat tak mengenakkan. Acaranya mulai jam 19.30 WIB. Ia datang
sebelum magrib untuk salat di sana
sekalian mencermati keindahan lukisan Popo Iskandar yang terpajang di galeri.
Ia ingin mencerap keindahan garis dan warna Popo meski tak paham lukisan. Lalu
pukul 20.30, ia pamit.
Ada seorang kawan
lelaki yang menawarkan diri untuk mengantar, Keanan si seniman bohemian, namun
ia tolak dengan alasan tak ingin merepotkan. Lagi pula, Keanan tinggal di
Bandung Utara, daerah Lembang; ia di bagian selatan, lebih tepatnya Bandung
Tengah, Wilayah Kiaracondong yang panas dan padat dengan permukimam,
pabrik-pabrik, jalan layang, dan sekira satu jam perjalanan.
Tak ada kawan
sejurusan untuk pulang, apalagi berniat pulang di tengah hangat acara beberapa
penyair terkenal. Jadi ia pulang sendiri. Diantar Keanan yang khawatir, untuk
mencegat angkot Ledeng-Margahayu yang berwarna biru di jalan raya. Sayangnya
setelah ditunggu sekian lama, angkot tersebut tak kunjung muncul juga.
Kendaraan itu memang jarang jika sudah malam, kalaupun ada, biasanya selalu
penuh penumpang.
“Sebaiknya naik
angkot lain saja.” Ia melirik arloji di pergelangan tangan kanannya. Sudah
nyaris jam sembilan kurang lima
menit.
“Sebaiknya aku
antar saja.” Keanan mendesak. Mereka cukup akrab meski kadang kaku dan berjarak.
“Aku akan
baik-baik saja, Kean.” Ia berkilah. Lalu dicegatnya angkot hijau jurusan
Ledeng-Cicaheum yang kebetulan kosong. Cuma ada seorang penumpang lelaki di
samping sopir. Ia bisa ganti angkot di tempat lain.
“Assalammualaikum....”
Ia segera meloncat naik dengan bismillah dalam hati, lalu duduk di sudut
kanan bagian belakang.
“Wa alaikum
salam. Hati-hati!” seru Keanan sambil melambai. Ada nada cemas di suaranya. Namun ia cuma
tersenyum, balas melambai. Lalu angkot melaju. Meninggalkan bayang-bayang Keanan
yang mengecil di malam lengang sampai sosoknya menghilang. Tak ada firasat
apa-apa. Ia tenang-tenang saja. Lalu di setengah perjalanan, angkot dihentikan
empat orang penumpang. Semuanya lelaki. Penampilan mereka sangar dan
acak-acakan, tipikal preman jalanan. Ada
aroma sengak menguar. Ia cemas. Firasat tak enak menyergap.
***
APAKAH hidup manusia harus berakhir dengan
tragis setelah sepanjang usia menelan sekian tragedi campur parodi.
“Jangan suka
keluyuran dan pulang malam,” demikianlah ibunya selalu bilang. Dasar bandel ia
abai. Terbiasa kerja sampai malam membuatnya tak peduli akan siang dan malam.
Apalagi cuaca. Tiap hari sama saja: kerja 12 jam lebih minus libur, alias 7
hari seminggunya! Itu dulu sebelum ia memutuskan memilih jalan lain untuk jadi
penganggur terselubung. Kembali bergabung dengan kawan-kawan komunitas penulis
di kota
kelahirannya.
Hidup adalah
semacam pilihan, demikian ia yakin untuk memutuskan kehendak akan masa depan.
Maka bergeraklah ia mengikuti alur takdir.
Takdir?
Takdir itukah
yang membuatnya terkapar di tepi jalan entah pada malam jahanam. Menunggu
Izrail yang membuatnya seakan dalam lakon Menunggu Godot Samuel Beckett
yang membuatnya mual. Namun siapkah ia menyambut Izrail? Seperti apakah Tuan
Malaikat yang telah merenggut nyawa ayahnya, 9 tahun silam kala ia masih 3 SMU?
Ia ingin bertemu.
Bagian mana dari
rohnya yang akan lebih dulu ditarik? Kaki, kepala, ubun-ubun, tangan, dada,
atau perutnya? Ia tidak tahu. Semuanya nyeri. Tubuhnya lunglai. Tak ada tenaga
tersisa. Cuma lafal doa. Tobat dan mohon ampun pada Zat Penggenggam kehidupan
dan kematian; dalam dada. Ia ingin berjumpa dengan-Nya.
Lalu
bayang-bayang itu berpantulan. Bayang-bayang kenangan. Kamar yang hangat dan
nyaman. Sajadah merah. Lampu belajar warna merah. Tumpukan buku, koran, kertas,
jurnal, dan majalah. Sebagian buku bersampul merah.
Mengapa merah?
Seperti genangan darah. Ingatan lain menyerbu dari berbagai arah. Minta diurai,
minta diberi makna. Akan ingatan yang pada akhirnya lekang karena pemilik
kenang meregang untuk menghuni makam.
Satu nama, satu
sosok mendadak berkelebat. Ia memanggil nama itu dengan kesadaran mengawang.
Lelaki tempat ia merasa dekat sekaligus berjarak. Nama yang bersikeras menolak
perpisahan apalagi ucapan selamat tinggal karena masih membutuhkannya: sebagai
sahabat dan guru, bukan perempuan! Ia menelan impian. Asin. Seperti darah
campur ingus yang masih saja melewati garis bibir.
Ia melihat
tangannya; merah. Mengapa merah selalu mewarnai hidupnya. Lambang keberanian
atau kesombongan? Seberani apakah ia yang disebut strong woman oleh
seorang kawan perempuannya sebab dianggap tegar? Atau sesombong apa ia yang
disebut “Nona Gramatika binti Cerewet” oleh pencinta kebebasan linguis?
Tiba-tiba ia ingin tertawa. Menertawakan sekian kebodohan akan hasrat dan
ambisi. Menertawakan polah orang-orang di sekitarnya. Menertawakan kehidupan.
Menertawakan dirinya sendiri yang “berpesta” bersama hujan, darah, dan malam.
Tut... tut...
tuuut....
Naik kereta
api kelas ekonomi
bareng Wida
Waridah, “adik” perempuan tersayang.
Siapa hendak
turut
ke Yogya
nanti?
Yogya. Pertemuan
bulanan Forum Bahasa Media Massa 9 Juli. Ia tertawa lirih dan getir. Ia tak
akan bisa ke sana.
Ada kereta lain
yang akan menjemput menuju tujuan lain. Lagi pula, ia tak ingin ke Yogya. Untuk
apa? Bertemu lelaki yang cuma dikenalnya lewat jalur maya selama tiga tahun,
namun telah menemani hari-harinya sekaligus meninggalkan noda di hati: bahwa ia
ingin memiliki.
Barangkali di
Stasiun Tugu ada loket dengan tiket menuju Negeri Senja yang didongengkan Seno
Gumira Ajidarma. Akan ia naiki kereta itu jika memang ada; sebagai bagian dari
kembara. Namun ia di sini dan tak bisa ke mana-mana. Menunggu kereta khusus
yang akan mengantarkannya menuju Negeri Barzah. Dan ia menunggu dengan gelisah.
Tubuhnya gemetar.
Gigil oleh dingin dan gentar. Dalam sekarat, adakah harap? Angin, hujan, kepala
bocor, wajah dan tubuh memar, juga perut yang berlubang. Harapan kehidupan apa
yang bisa ia genggam?
Merah. Adakah
semerah itu harapan. Semangat yang berkobar. Ia ingat lelaki itu. Lelaki yang
memberi kaligrafi dengan khat Allah besar warna merah, selain warna biru
kesukaan lelaki itu. Sialan! Kemarin lelaki itu balas menitipkan rok batik
warna merah untuknya, kala Wida mampir di Yogya untuk menyerahkan buku
titipannya.
Ia tak suka rok,
dan tak berpikir akan oleh-oleh, sebab buku itu merupakan janjinya agar lelaki
itu tak terlalu kecewa karena sajaknya telah gagal masuk antologi Dian
Sastro for President, End of Trilogy. Namun toh ia terima juga
dengan malu-malu campur lucu. Baru kali ini ia diberi rok oleh seorang lelaki.
Widzar yang menyarankan, dan lelaki itu memilihkan dengan pemikiran ia suka
merah. Ironisnya, ia tak akan pernah memakainya. Rok itu teronggok di sudut
diam, menjadi monumen persahabatan.
Apakah kelak ia
akan tetap teronggok di sela belukar, tak ditemukan sesiapa, menjadi santapan
anjing liar. Lalu hilang sebagai cabikan dari mayat tak dikenal. Meninggalkan
kepanikan bagi keluarga dan kawan-kawan, lantas nama dan fotonya terpampang di
koran-koran. Ia menggigil.
“Allah!”
raungnya lemah.
Di mana Tuhannya?
Salat malam telah ia lupakan doanya. Al Quran sudah lama tak dijamah.
Ibadah-ibadahnya hambar. Ia sungguh butuh seorang qowwam agar tak
menyimpang. Ia muak dan lelah dalam kesendirian. Mencemaskan rahim yang tak
segar. Mencemaskan anak-anak yang tak pernah akan ia lahirkan. Mencemaskan usia
yang mengejar. Mencemaskan kenyataan bahwa ia tak utuh sebagai perempuan.
Selemah itukah
ia?
Merah. Ia kian
lemah. tidak tahu sampai kapan bisa bertahan. Tidak tahu apa akan menemani
lelaki itu untuk menjadi sahabat sekaligus guru dan murid dengan sekian
perdebatan kala chat di YM! ataupun surat dan surel panjang. Tidak tahu apakah
sepeninggalnya nanti, lelaki itu akan dapat perempuan pengganti sepertinya.
Dulu, sebagai
“barter” buku, lelaki itu pernah memberi buku bersampul merah; Aku Bertanya,
Maka Aku Ada, seolah ingin berapologi soal kesukaannya untuk selalu
menjawab pertanyaan dengan pertanyaan yang membuat mereka kerap berdebat
panjang-pendek sampai bosan atau kecapaian. Dan ia mencoba paham.
Apakah ia masih
yakin akan paham?
Ia demam. Curahan
kubik air dari langit yang terkuak seperti jarum merajam pori-pori kulitnya. Ada cekat di
kerongkongan. Ia kian tersiksa dan ingin mati rasa. Apakah Tuhan sangat murka?
Ia terisak dengan dahsyat. Merasa sia-sia dan terbuang. Sekaligus layak dihukum
sebagai pesakitan.
Ia mencintai
hujan. Namun ia tak pernah mengira bahwa hujan akan membalas cintanya dengan
cara begitu “mesra”. Apakah hujan hendak membasuh dosa-dosanya, memandikan jiwa
dan raganya menuju penyucian khudi?
Langit gelap dan
pekat. Mengirim serpih-serpih tajam. Kali ini tak ada angin. Daun-daun hening.
Barangkali hanyut dalam zikir, menyaksikan seonggok raga terbaring tanpa daya.
Ia mencoba agar jiwa dan lisannya berzikir, sebagaimana petir. Ia ingin mati khusnul
khatimah meski sangsi sebab ingat akan sekian dosa yang berjela-jela.
Akankah hujan menyucikan?
Ia mencintai
hujan. Ia mencintai merah. Namun merah itu kian deras mengalir dari perut dan
kepalanya. Akankah hujan menguras merah dari tubuhnya? Ia meraung. Ia berzikir.
Ia menangis tersedu-sedu. Ia meraung. Ia berzikir. Kembali tersedu-sedu....
***
MALAM pucat. Sepucat itulah wajahnya ketika
empat orang lelaki naik dan duduk di samping kanan, dua lagi di depannya. Aroma
sengak tambah meruap. Ada
firasat tak mengenakkan. Angkot melaju. Empat lelaki itu saling berpandangan.
Tatapan mereka kurang ajar, seolah melihat mangsa terjebak. Spontan ia
berteriak, “Kiri!”
Namun angkot
terus melaju, malah kian kencang. Menuju arah sepi. Ia tegang. Mengulang
ucapan, “Kiri!” Kali ini lebih keras dan tegas. Empat lelaki itu cengengesan.
“Kiri! Stop,
Bang! Kiri! Hei, hei, kiri...!”
“Mau turun di
mana, Neng?” Salah seorang lelaki berambut gondrong ikal yang duduk di
sampingnya bertanya dengan nada kurang ajar.
“Di surga,”
celutuk seorang kawannya yang berambut cepak dan duduk tepat di depannya.
“Maaf, Mas, saya
mau turun di sini. Tolong, kiri!” Ia mencoba tenang namun tegas, meski cemas.
“Ah, nanti
saja turunnya, Neng.” Sahut seorang lelaki dengan hidung ditindik yang duduk di
baris kiri dekat pintu, ia lebih kurus dan muda daripada yang lainnya.
“Iya, jalan-jalan
dulu, hehe...” kawannya yang duduk di baris kanan dekat sopir ikut menyela. Ada tato macan menyembul
di lengan kirinya yang hitam-kekar.
“Hahaha...” sopir
dan lelaki di sampingnya ikut tertawa. Suara gaduh bersahutan.
Ia mengendus
aroma bahaya. Jilbab yang ia kenakan tak ada artinya lagi, meski penampilannya
cukup sopan dan bersahaja. Wajah manisnya memias. Ia punya kecantikan samar
tanpa polesan yang kerap mengundang orang untuk memandang; sekaligus
membahayakan dalam kesendirian! Mereka seperti dalam pengaruh alkohol, obat
bius, atau semacamnya. Ada
panik menyeruak. Ia bisa bela diri karate, namun tak yakin akan bisa membela
diri dalam situasi seperti ini. Ia berdoa.
Dengan gerakan
tak terduga, si tato macan menutup pintu. Bunyinya berdebam. Ia tersentak.
Mereka tertawa. Ia siaga. Tiba-tiba si gondrong mengapitnya. Ia memekik.
“Neng....”
Sebelum tangan itu menyentuhnya, refleks ia gunakan gerakan kihon untuk
mengunci lengan lelaki itu ke belakang, tepat di bagian jempol. Ia yang mungil
dan ringkih bisakah adu kekuatan melawan enam orang?
“Jangan
main-main!” ia membentak. Si gondrong-ikal memekik. Dalam adu kekuatan tak
seimbang, jempol adalah titik rawan untuk dilumpuhkan.
Namun
kawan-kawannya cuma tertawa.
“Hentikan angkot
dan buka pintu!” Ia memperkeras kuncian pada jempol si gondrong-ikal. Ada pekik bercampur
umpatan karena jempol itu nyaris dipatahkan.
“Aku tidak
main-main!”
Lelaki di
depannya, si cepak, tiba-tiba beraksi hendak menubruknya. Namun kali ini ia
gunakan gohon untuk menendang selangkangan lalu kepalanya, dengan telak.
Si cepak meraung dan terpental ke belakang, kepalanya membentur jendela kaca.
Sialan, aksinya membuat
si gondrong seolah mendapat celah untuk menggampar dengan tangan sebelah yang
bebas. Namun ia coba bertahan dan balas melawan meski kerepotan. Ditonjoknya
leher si gondrong, tepat di bagian jakun, lalu menjambak rambutnya untuk
dibenturkan ke jendela, lantas mendorongnya ke arah si tato macan yang hendak
membantu hingga mereka terguling dari bangku. Mengagetkan lelaki-lelaki itu,
termasuk yang duduk di depan.
“Hentikan
angkot!” bentaknya pada sopir yang melongo bareng rekan di sampingnya. Mereka
saling berpandangan.
“Hentikan!”
Sekali lagi ia menegaskan.
Angkot berhenti
tiba-tiba, di tempat yang sepi, daerah Lebak Siliwangi.
Ia membentak si
hidung-tindik, yang wajahnya seketika pucat sebab kejadian itu begitu cepat,
untuk membuka pintu. Tegang mengambang. Masing-masing menaksir kekuatan lawan.
Di bagian depan,
lelaki yang duduk di samping sopir tiba-tiba keluar. Ditendangnya pintu
belakang tempat ketegangan berderak, dengan kasar. Ada kilat parang mengancam di tangan berwajah
gelap dan sangar. Ia beristigfar.
“Diam, cerewet!”
***
DAN beginilah ia. Setelah pertempuran tak
seimbang di dalam angkot. Setelah bangku kecil menghantam kepalanya tanpa
sempat ia elak. Setelah parang itu menebas perutnya karena terus berontak.
Meninggalkan luka memanjang setelah ia melawan habis-habisan demi
mempertahankan kehormatan; tak memedulikan kepala dan perutnya yang luka.
Sampai pada akhirnya ia roboh tak berdaya.
Seperti apa tadi?
Slide adegan mengerikan itu terekam samar. Gemuruh serapah dan ludah dan
pukulan dan tendangan; menghajarnya berulang. Salah seorang mengumpati si
pemegang parang bahwa mestinya jangan dulu main tebas sebab pada akhirnya jadi
kacau balau.
“Sayang perempuan
cantik ini....”
“Percuma! Terus
melawan, bikin ribut!” Mereka berdebat. Menceracau dalam mabuk. Saling
menyalahkan. Terutama si sopir karena darah menggenang di lantai dan bangku dan jendela. Termasuk percikannya
mengenai sebagian dari mereka.
Seperti apa tadi?
Ia dilempar begitu saja ke luar seperti bangkai binatang; setelah entah berapa
lama angkot berputar-putar dengan ia dalam separuh kesadaran. Terdampar di
belukar tepi jalan. Lalu hujan deras tiba-tiba menyambutnya seolah meratapi
sepenuh kesedihan.
Seperti apa tadi?
Ia tak ingat lagi.
Bibirnya beku.
Sepasang kelopak matanya diusahakan untuk tetap terbuka meski pandangannya
mengabur. Ia ingin menyambut malaikat kematian dengan senyuman. Namun bibirnya
beku. Hujan tetap saja menderu.***
Bandung, 13 Juni 2005
(Kado milad
Muhammad Zainal Fanani ke 29, 18 Juni 2005)
Wooohhhhhh... terus perempuannya mati apa gimana? Kok ngegantung banget?
BalasHapusDari pertama pengen cari tau, apakah yg menemukan si perempuan ini adalah si Keanan? Kalo sad ending, jadi gimana gitu. :(
Yah, sengaja dibikin menggantung agar yang baca penasaran lalu melanjutkan kisah dalam alur imajinasi masing-masing.
HapusAkhir yang menggantung itu kadang dibutuhkan dalam suatu cerita untuk memberi efek dramatis juga, he he.
Dika mau mencoba cara pengisahan demikian? :)