KATAKAN saya kuper dan ketinggalan zaman, atau apa saja.
Karena banyak bahasa yang tidak saya pahami maksudnya; bahasa percakapan maupun
tulisan di kalangan masyarakat Indonesia yang kebanyakan ajaib punya. Terutama
kawula muda, namun tak menisbikan yang tua juga.
Katakan
bagaimana rasanya berada di dunia sunyi yang steril dan hanya mengenal bahasa
dari apa yang dibaca, bukan didengar? Entah, ya. Yang jelas saya sering bingung
dan merasa tak gaul ketika harus berhadapan dengan kata atau kalimat ajaib. Barangkali
saya kaku, terbawa bacaan yang kebanyakan nyastra sampai bergabung di
milis guyubbahasa Forum Bahasa Media Massa (FBMM) yang anggotanya
kebanyakan pencinta bahasa Indonesia (yang barangkali fanatik) sejak tahun 2003.
Pengalaman
belajar di milis guyubbahasa membuat wawasan saya terbuka. Kagum, heran,
sadar, sampai ngeri dengan kemampuan rekan-rekan yang kebanyakan pakar dalam
membahas suatu topik sampai berargumen. Namun saya menikmatinya. Sekaligus
khawatir karena sepertinya kami merupakan komunitas minoritas jika dibanding
masyarakat pengguna bahasa Indonesia sebangsa dan setanah air.
Saya
mencintai bahasa Indonesia, sebab hanya dengan bahasa itulah saya merasa hidup
dalam wewenang yang dikuasai. Namun pengalaman mengajarkan bahwa dunia luar
saya yang ingar ternyata ruwet, banyak banget bahasa awur-awuran yang
bikin saya terkaget-kaget.
Mungkin
yang sangat sering dan susah diubah kebiasaannya dalam masyarakat adalah
penggunaan kata kami dan kita yang bertukar tempat mulu. Akibatnya, saya
sering merasa terganggu.
Saya
pernah membahas itu dalam surat untuk seorang kawan ketika mengomentari
cerpennya yang secara gramatika masih awur-awuran. Surat itu saya pajang di
blog pribadi, http://rohyatisofjan.blogspot.co.id, ya mudah-mudahan bermanfaat
bagi yang mengunjunginya.
Dan saya
heran karena kejadian awur-awurannya merambah sampai sudut kampung di lereng
gunung. Ah, seorang gadis Madrasah Aliyah (setara SMA) kelas XII yang
masih belia dan tentu saja ceria, berbakat menulis sejak 6 SD, sudah
menerbitkan novelnya dan beredar di lingkungan terbatas, sekolahnya; membuat
kejutan. Cara bertuturnya mengagumkan dan tak membosankan (katanya ia suka
karya Rachmania Arunita), namun yang mengkhawatirkan adalah banyak sekali
penggunaan bahasa yang tak sesuai kaidah kebahasaan. Seperti virus menyebar ke
mana-mana, bahasa awur-awuran itu, ternyata.
Saya
bingung dengan penggunaan “secara”, karena ada paragraf di awal novel itu yang
dirasa janggal: “Bukan gitu Miss Mirrel, gue juga bisa pake
Bahasa Inggris, pake Bahasa Jerman pun gue bisa. Tapi secara gue tinggal di
Indonesia gitu loh, nimba ilmu di Indonesia juga, cari duit juga di Indonesia
jadi gue musti pake bahasa sini. Ya kalo lo udah mampu dan bisa pake Bahasa
Indonesia meskipun dikit, kenapa gak digunain buat bahasa ngobrol lo....? Biar
lo gampang bisanya.” Mirrel menatap gue dengan sinisnya, tatapannya tatapan
permusuhan, mungkinkah dia dendam sama gue?
Itu
karya Rafi Alawiyah Rais. Remaja berbakat yang sebenarnya kritis. Dan saya
terangsang untuk membimbing dan mengkritisinya. Ya, semacam pelengkap setelah
guru-guru dan orang terdekatnya yang telah mengajarkan banyak hal.
Ayahnya
ternyata kepala sekolah dan guru di MTs. YPI Ciwangi, Limbangan, Garut yang
pernah memberi kesempatan bagi saya untuk bersekolah di sana, bercampur dengan
anak lain yang berpendengaran normal. Itu baru saya tahu ketika kami pertama
kali bertemu dan kenalan untuk membahas karyanya,
Saya
mengerti kalau Rafi hanya terbawa virus bahasa pergaulan dari medium mana saja.
Yang saya khawatirkan virus tersebut tiada obat penawarnya. Telanjur menyebar
dan berurat akar. Itukah cermin kehidupan bahasa kita yang sungguh sangat
mengejutkan bagi seorang tunarungu macam saya yang telah kehilangan fungsi
pendengaran sejak usia 6 tahun?
Dan
petualangan bahasa awurnya ternyata seperti sedang tracking di karang
terjal. Saya sering merasa sesak disodok kejutan yang melemotkan. Ya,
saya merasa lemot atau tulalit. Mengernyitkan kening dan bertanya dalam
hati, ini maksudnya apa? Frase “utas” di KBBI kok berbeda dengan apa yang
dimaksud Rafi. Bagi saya yang terbiasa dengan maksud: kata, cetus, dan yang
bersinonim dengan itu; kebingungan!
Rafi
dapat kesimpulan tentang “utas” dari mana? Utas di buku Babi Ngesot
Raditya Dika saja merupakan kebalikan dari “satu”. Sayang saya tak tahu
jawabannya karena kala membahas itu secara langsung sambil menunjuk KBBI pada
Rafi, ia tak menjelaskan penemuan diksi ajaibnya selain mengangguk malu dan agak
bingung.
Sekarang
saya bingung, andai bukan penyandang tunarungu apakah saya akan peduli pada
betapa awurnya dunia bahasa di negeri Indonesia tercinta. Atau malah
jangan-jangan termasuk kategori orang yang sama awurnya juga dan tak ambil
pusing karena sudah terbiasa. Ah.
Banyak
sekali contoh bahasa awur yang membuat saya serasa jungkir balik coba
memahaminya. Dan itu seolah berada di dunia hiperbolik. Dunia surealis tulisan
karya Seno Gumira Ajidarma dan Agus Noor masih asyik, namun apakah saya berada
di dunia surealis juga ketika orang-orang menulis sampai bicara dalam bahasa
Indonesia yang membingungkan?
Namun saya
tak ingin menyerah. Biarlah berbahagia dalam dunia sunyinya, karena sunyi
mengajarkan saya untuk merenung dan mengambil jarak. Betapa logika berbahasa
sudah kehilangan wibawa. Barangkali hanya segelintir kecil saja yang peduli dan
ingin melakukan reformasi kebahasaan dalam artian positif. Mungkin seorang Rafi
bisa saya bimbing untuk masuk komunitas kecil saya, dan siapa tahu kelak ia
akan bisa membimbing yang lainnya juga untuk paham dan peduli.***
Cipeujeuh, 21 September 2010
Banyak sekali bahasa baru yang di ambil dari film atau yang lagi trend untuk tujuan becanda tapi kalo yang gak paham suka bingung, hehe
BalasHapusBenar, Mas. Ini berkaitan dengan perluasan ruang lingkup pergaulan juga.
Hapus