Jumat, 23 Februari 2018

Bahasa Awur-awuran




KATAKAN saya kuper dan ketinggalan zaman, atau apa saja. Karena banyak bahasa yang tidak saya pahami maksudnya; bahasa percakapan maupun tulisan di kalangan masyarakat Indonesia yang kebanyakan ajaib punya. Terutama kawula muda, namun tak menisbikan yang tua juga.
Katakan bagaimana rasanya berada di dunia sunyi yang steril dan hanya mengenal bahasa dari apa yang dibaca, bukan didengar? Entah, ya. Yang jelas saya sering bingung dan merasa tak gaul ketika harus berhadapan dengan kata atau kalimat ajaib. Barangkali saya kaku, terbawa bacaan yang kebanyakan nyastra sampai bergabung di milis guyubbahasa Forum Bahasa Media Massa (FBMM) yang anggotanya kebanyakan pencinta bahasa Indonesia (yang barangkali fanatik) sejak tahun 2003.
Pengalaman belajar di milis guyubbahasa membuat wawasan saya terbuka. Kagum, heran, sadar, sampai ngeri dengan kemampuan rekan-rekan yang kebanyakan pakar dalam membahas suatu topik sampai berargumen. Namun saya menikmatinya. Sekaligus khawatir karena sepertinya kami merupakan komunitas minoritas jika dibanding masyarakat pengguna bahasa Indonesia sebangsa dan setanah air.
Saya mencintai bahasa Indonesia, sebab hanya dengan bahasa itulah saya merasa hidup dalam wewenang yang dikuasai. Namun pengalaman mengajarkan bahwa dunia luar saya yang ingar ternyata ruwet, banyak banget bahasa awur-awuran yang bikin saya terkaget-kaget.
Mungkin yang sangat sering dan susah diubah kebiasaannya dalam masyarakat adalah penggunaan kata kami dan kita yang bertukar tempat mulu. Akibatnya, saya sering merasa terganggu.
Saya pernah membahas itu dalam surat untuk seorang kawan ketika mengomentari cerpennya yang secara gramatika masih awur-awuran. Surat itu saya pajang di blog pribadi, http://rohyatisofjan.blogspot.co.id, ya mudah-mudahan bermanfaat bagi yang mengunjunginya.
Dan saya heran karena kejadian awur-awurannya merambah sampai sudut kampung di lereng gunung. Ah, seorang gadis Madrasah Aliyah (setara SMA) kelas XII yang masih belia dan tentu saja ceria, berbakat menulis sejak 6 SD, sudah menerbitkan novelnya dan beredar di lingkungan terbatas, sekolahnya; membuat kejutan. Cara bertuturnya mengagumkan dan tak membosankan (katanya ia suka karya Rachmania Arunita), namun yang mengkhawatirkan adalah banyak sekali penggunaan bahasa yang tak sesuai kaidah kebahasaan. Seperti virus menyebar ke mana-mana, bahasa awur-awuran itu, ternyata.
Saya bingung dengan penggunaan “secara”, karena ada paragraf di awal novel itu yang dirasa janggal: “Bukan gitu Miss Mirrel, gue juga bisa pake Bahasa Inggris, pake Bahasa Jerman pun gue bisa. Tapi secara gue tinggal di Indonesia gitu loh, nimba ilmu di Indonesia juga, cari duit juga di Indonesia jadi gue musti pake bahasa sini. Ya kalo lo udah mampu dan bisa pake Bahasa Indonesia meskipun dikit, kenapa gak digunain buat bahasa ngobrol lo....? Biar lo gampang bisanya.” Mirrel menatap gue dengan sinisnya, tatapannya tatapan permusuhan, mungkinkah dia dendam sama gue? 
Itu karya Rafi Alawiyah Rais. Remaja berbakat yang sebenarnya kritis. Dan saya terangsang untuk membimbing dan mengkritisinya. Ya, semacam pelengkap setelah guru-guru dan orang terdekatnya yang telah mengajarkan banyak hal.
Ayahnya ternyata kepala sekolah dan guru di MTs. YPI Ciwangi, Limbangan, Garut yang pernah memberi kesempatan bagi saya untuk bersekolah di sana, bercampur dengan anak lain yang berpendengaran normal. Itu baru saya tahu ketika kami pertama kali bertemu dan kenalan untuk membahas karyanya,
Saya mengerti kalau Rafi hanya terbawa virus bahasa pergaulan dari medium mana saja. Yang saya khawatirkan virus tersebut tiada obat penawarnya. Telanjur menyebar dan berurat akar. Itukah cermin kehidupan bahasa kita yang sungguh sangat mengejutkan bagi seorang tunarungu macam saya yang telah kehilangan fungsi pendengaran sejak usia 6 tahun?
Dan petualangan bahasa awurnya ternyata seperti sedang tracking di karang terjal. Saya sering merasa sesak disodok kejutan yang melemotkan. Ya, saya merasa lemot atau tulalit. Mengernyitkan kening dan bertanya dalam hati, ini maksudnya apa? Frase “utas” di KBBI kok berbeda dengan apa yang dimaksud Rafi. Bagi saya yang terbiasa dengan maksud: kata, cetus, dan yang bersinonim dengan itu; kebingungan!
Rafi dapat kesimpulan tentang “utas” dari mana? Utas di buku Babi Ngesot Raditya Dika saja merupakan kebalikan dari “satu”. Sayang saya tak tahu jawabannya karena kala membahas itu secara langsung sambil menunjuk KBBI pada Rafi, ia tak menjelaskan penemuan diksi ajaibnya selain mengangguk malu dan agak bingung.
Sekarang saya bingung, andai bukan penyandang tunarungu apakah saya akan peduli pada betapa awurnya dunia bahasa di negeri Indonesia tercinta. Atau malah jangan-jangan termasuk kategori orang yang sama awurnya juga dan tak ambil pusing karena sudah terbiasa. Ah.
Banyak sekali contoh bahasa awur yang membuat saya serasa jungkir balik coba memahaminya. Dan itu seolah berada di dunia hiperbolik. Dunia surealis tulisan karya Seno Gumira Ajidarma dan Agus Noor masih asyik, namun apakah saya berada di dunia surealis juga ketika orang-orang menulis sampai bicara dalam bahasa Indonesia yang membingungkan?
Namun saya tak ingin menyerah. Biarlah berbahagia dalam dunia sunyinya, karena sunyi mengajarkan saya untuk merenung dan mengambil jarak. Betapa logika berbahasa sudah kehilangan wibawa. Barangkali hanya segelintir kecil saja yang peduli dan ingin melakukan reformasi kebahasaan dalam artian positif. Mungkin seorang Rafi bisa saya bimbing untuk masuk komunitas kecil saya, dan siapa tahu kelak ia akan bisa membimbing yang lainnya juga untuk paham dan peduli.***
Cipeujeuh, 21 September 2010

2 komentar:

  1. Banyak sekali bahasa baru yang di ambil dari film atau yang lagi trend untuk tujuan becanda tapi kalo yang gak paham suka bingung, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, Mas. Ini berkaitan dengan perluasan ruang lingkup pergaulan juga.

      Hapus

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D